OLIMPIADE 2016 di Rio de Janeiro baru saja berlalu. Cerita tentang para pemenang sudah berseliweran di mana-mana. Anda mungkin sudah bosan membacanya karena sudah diulang-ulang di banyak media. Jadi kali ini saya ingin menuliskan beberapa kisah para atlet Olimpiade yang tidak begitu menarik perhatian media. Mereka tidak memiliki paras rupawan, atau latar belakang yang mengagumkan, bahkan mereka juga tidak berhasil memecahkan rekor dunia, apalagi membawa pulang seabrek medali. Tapi mereka juga terlalu baik untuk menarik perhatian publik dengan perilaku semena-mena sebagaimana perbuatan para perenang dari negara adidaya. Mereka adalah para ‘pecundang’ yang terkubur dalam sorotan perhatian media yang diskriminatif dan terlalu sibuk.
Jika negara Anda sebesar dan seindah Indonesia atau memiliki kedigdayaan dalam banyak hal seperti Jerman, atau AS, atau China, lebih mudah untuk menarik perhatian dunia. Namun, tidak demikian dengan Kiribati, sebuah negara kecil mungil di kawasan Pasifik. Wilayahnya yang hanya terdiri dari 33 pulau atol dan karang itu terancam sirna dalam beberapa dekade mendatang karena permukaan air laut naik akibat perubahan iklim. Salah satu atlet Kiribati, David Katoatau, menjadikan Olimpiade Rio sebagai ajang untuk berkampanye agar masyarakat dunia lebih peduli pada isu lingkungan itu. Tiap kali berhasil mengangkat beban di panggung, ia menari untuk negerinya dan sebagai cara berdiplomasi untuk menarik sokongan dunia pada penyelamatan Kiribati. Ia bahkan sudah menulis surat terbuka dengan bantuan pelatihnya, yang kemudian dimasukkan dalam laman climate.gov.ki. Di situ ia mengimbau kita semua agar lebih peduli pada pencegahan perubahan iklim. Begini kalimat dalam suratnya itu:
Jika Anda tidak menitikkan air mata membaca suratnya, mungkin hati Anda sudah mengeras karena ketidakpedulian.
Lain lagi dengan kisah Al-Rashidi (53) dari Kuwait. Sebagaimana kita ketahui, Kuwait tidak diperkenankan ikut serta dalam ajang Olimpiade kali ini. Namun, Al-Rashidi yang berlaga di cabang olahraga menembak itu tidak putus asa. Ia mengikuti pertandingan sebagai atlet independen, layaknya seorang calon pejabat publik yang melaju dengan dukungan sendiri tanpa ada dukungan partai atau otoritas yang mapan. Karena tak menjadi seorang pembela negara tertentu, ia diperkenankan mengenakan pakaian apa saja saat berlaga. Dan meski melaju sendirian di usia yang tak muda lagi, Al-Rashidi mampu membawa pulang medali perunggu. Entah apa motivasinya untuk tetap bertanding solo seperti itu. Tapi mungkin untuk memuaskan kecintaannya pada olahraga tersebut.
Cerita para atlet Zimbabwe lebih tragis lagi. Setelah membela mati-matian negaranya di Olimpiade Rio, mereka malah harus pulang dengan dihantui ancaman pidana oleh presidennya. Mereka dianggap sudah memboroskan anggaran negara untuk sesuatu yang tidak jelas dan gagal membawa pulang medali. “Saya akan pastikan kami akan menagih biaya selama di Rio pada mereka tak peduli meskipun harus memakan 10 tahun untuk berkuasa kembali. Ternyata biaya ini malah menjadi pinjaman lunak bagi mereka, dan mereka berkunjung ke Brazil sebagai turis. Mereka tak berguna,” kritik presiden secara terbuka. Bayangkan jika itu terjadi pada Anda. Anda sudah berjuang keras dan setelah itu jerih payah Anda tak dihargai sama sekali oleh orang-orang yang Anda pikir akan berterima kasih untuk segala daya upaya Anda. Sungguh menyedihkan bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H