Setiap hari Selasa pelajaran terakhir di kelas 2 Ipa 2 adalah pelajaran olahraga, di kelas abigel ini, terdapat anak yang super jail bernama Gilang. Selain sering mengganggu siswa perempuan, Gilang juga sering memperalat siswa laki-laki yang cupu. Namun, bukan abigel namanya jika takut membela yang benar dan diam saja melihat yang salah. Saat Gilang masuk toilet untuk ganti baju olahraga, sengaja Igra mengikutinya untuk mengambil seragam dan baju olahraga miliknya. Disusul oleh Abel dan Eliana dari belakang.
Tak lama kemudian, terdengar teriakan heboh dari dalam toilet.
“Kabuuuur!”
"Lagi-lagi kalian! Hei, jangan kabur! Kembalikan!" teriak Gilang sambil memegangi bagian bawah tubuhnya yang hanya tertutup boxer berwarna merah muda, sesekali menutup muka dengan tangan kirinya. Orang-orang di sekitarnya mulai tertawa geli, bahkan sampai terpingkal-pingkal.
“Abigel! Awas kalian!"
***
"Huahaha. Tos dulu dong!"
Eliana memijat dadanya yang terengah, "Sebentar, aku masih pengen ketawa! lucu banget si Gilang mukanya tadi, eh boxernya juga wahaha,"
"Iya, udah warnanya pink, bergambar Tweety pula. Ya ampun... Haha”
"Iya, bener banget. Biar tahu rasa dia!"
"Udah udah, kita tos dulu dong!" seru Abel.
Ketiga anak yang sama-sama berseragam putih abu-abu itu menyatukan tangan mereka, tersenyum dengan bangga dan menyentakkannya bersama.
"ABIGEL... Yiaay!"
Sebuah kata yang dikelilingi simbol love dan tersusun dari enam huruf itu terukir indah di sebuah pohon akasia rindang di belakang sekolah. Ya, abigel merupakan singkatan dari Abel, Igra dan Eliana. Mereka dipertemukan saat masa orientasi sekolah satu tahun silam. Kebetulan mereka mendapat kelas yang sama, dengan filosofi tripod(1) abigel berdiri. Kita itu ibarat sebuah tripod, selalu ingin melangkah bersama dan saling mejaga, dan jika abigel kehilangan salah satu penyangganya maka abigel tidak dapat lagi berjalan beriringan. Persahabatan yang sungguh manis bukan?
“Ayo cepat pulang, udah mendung nih,” ajak Eliana sedikit cemas.
“Sekali-kali hujan-hujanan bareng seru tuh kayaknya?” usul Abel bersemangat. Igra mengangguk pelan seraya menyetujui saran Abel.
Kaki-kaki kecil melangkah dengan lincah, bahkan saat di atas sana langit tak lagi cerah. Gemuruh mendung terdengar dimana-mana, rinai hujan mulai turun membasahi muka bumi. Kaki-kaki kecil itu kini tak lagi melangkah, mereka melompati kubangan air di sepanjang jalan, lalu melompat ke bidang yang lebih tinggi. Masing-masing menyibakkan seragamnya yang basah terkena tumpahan air hujan.
“Eh, kita neduh disini dulu ya? Handycame aku kehujanan nih.” Abel mengelus-elus handycame kesayangannya, sesekali mengelap permukaannya yang basah terkena air. Sejurus kemudian Abel tersenyum, lalu mengangkat kembali handycamenya, menekan tombol on.