Mohon tunggu...
Ahmad Fiqhi Fadli
Ahmad Fiqhi Fadli Mohon Tunggu... -

An effort to study

Selanjutnya

Tutup

Politik

Analisis Faktor-faktor Krisis Imigran di Eropa

29 Maret 2017   11:08 Diperbarui: 29 Maret 2017   11:24 3116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perpindahan atau migrasi pengungsi menjadi penentu dan perhatian utama kebijakan di wilayah eropa pada akhir abad 20. Hal ini di pengaruhi oleh peningkatan jumlah pengungsi yang datang ke Eropa dari berbagai negara. Jebolnya perbatasan di negara-negara eropa yang mengakibatkan kemerosotan ekonomi dan banyaknya pengangguran, serta tingkat xenophobia yang tinggi yang disebarkan media dan masyarakat.

Permasalahan pengungsi di negara-negara Eropa sampai saat ini masih menjadi masalah yang sangat kompleks bagi negara yang bersangkutan. Pasalnya tsunami pengungsi atau krisis pengungsi yang masih berlanjut seperti yang dikabarkan oleh yang diberitakan oleh Tempo.com bahwa gelombang pengungsi akan terus bertambah. Hal ini diperkirakan oleh Perdana Menteri Malta Joseph Muscat, seperti yang dilansir oleh The Associated Press, akan terus bertambah setelan melihat kehangatan yang terjadi di laut mediterania. Hal ini merupakan kelanjutan dari krisis pengungsi yang diderita oleh negara-negara Uni Eropa yang puncaknya terjadi pada tahun akhir 2015 lalu (Mashuri, 2015).

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah penulis ingin menganaliskebijakan Uni Eropa terhadap pengungsi dari Mediternia untuk mengontrol dan mengatasi permasalahan penduduk yang terjadi akibat krisis pengungsi yang datang dari berbagai negara timur tengah. Pasalnya Uni Eropa juga sempat merasa kewalahan menangani pengungsi ke Eropa sehingga harus mengambil kebijakan yang akhirnya menentang para pengungsi. Seperti yang dilansir dari CCN Indonesia diberitakan bahwa. Hungaria mengancam akan mengusir pengungsi yang datang menerobos. Pasalnya pada tahun tersebut Hungaria mencatat rekor seb negara dengan jumlah pengungsi paling besar dengan 190.000 pengungsi (Sari, 2015).

Di lihat dari sejarahnya, Bixby (1993: xi-xiii) terjadi krisis di wilayah mediterania selatan, yang letak geografisnya berada di Afrika Utara, pada tahun 2010 (Sari, 2015, pg. 547). Hal ini kemudian berdampak pada pengungsian secara besar-besaran yang dilakukan warga mediteranian selatan ke negara-negara yang berdekatan yakni eropa khususnya wilayah uni eropa. Dikutip dari European Union Inside, konflik di mediterania selatan diakibatkan dari krisis pemerintahan otoriter yang berkuasa selama 23 tahun yang dijalankan oleh Ben Ali di Tunisia dan Bashar Al-Assad di Suriah. Akibat pemerintahan ini masyarakat Tunisia menginginkan kemakmuran ekonomi serta kebebasan sehingga menyulut api untuk merobohkan pemerintahan. Hal ini juga yang kemudian mempengaruhi negara mediterania selatan lain seperti, Mesir, Libya, dan Suriah, menginginkan pemerintahan yang sama dan berakibat perang (Sari, 2015, pg. 547). Yang kemudian hal ini menjadikan gejolak di mediterania.

Para pengungsi mengambil jalur Uni Eropa sebagai tempat pengungsian disebabkan oleh dua hal. Yang pertama adalah letak geografis timur tengah yang berdekatan dengan Uni Eropa dengan hanya dibatasi oleh oleh laut mediterania. Hal ini memudahkan para pengungsi untuk ke Eropa dengan hanya menyeberangi laut tersebut dengan dalih bahwa ekonomi negara Eropa dan keadaannya lebih stabil. Yang kedua seperti yang dikatakan Zuhairi Misrawi, pengamat Timur Tengah dari The Middle East Institute, bahwa alasan dari para pengungsi tidak mengungsi ke negara Timur Tengah lain adalah karena konflik geopolitik sejak lama berlangsung. Dia juga menambahkan bahwa konflik teersebut merupakan konflik paradigma antara sunni dan syiah. Negara di Timur Tengah takut dengan adanya infiltrasi paham antara Sunni dengan Syiah (CNN Indonesia, 2015).

Arti pengungsi seperti yang dikatakan oleh Bauman (2004) bahwa pengungsi adalah orang yang kehidupannya terbuang (wasted live) dari dunia global, serta mereka dilucuti dari suatu identitas yang pada akhirnya membuat mereka menjadi tidak mempunyai negara (stateless), tidak mempunyai status (statusless), dan tidak mempunyai fungsi bernegara (Morrice, 2011)

Sedangkan pengertian pengungsi menurut Konvensi Jenewa pada tahun 1951, yang bersangkutan dengan pengungsi dan pencari suaka pada pasca perang, adalah pengungsi sebagai orang yang berada di luar negara diakibatkan oleh rasa takut yang timbul dari penganiayaan dari kelompok ras, agama, kebangsaan, keanggotan terhadap suatu kelompok tertentu atau opini politik (Bloch&Levy, 1999).

Adapun penerimaan dari berbagai negara di Uni Eropa sangat beragam. Tindakan yang sangat keras ditunjukkan oleh Hungaria terhadap pengungsi yang melewati negara tersebut. Hungaria dikritik oleh perancis karena memasang pagar kawat berduri untuk mencegah para pengungsi dari timur tengah masuk ke negara tersebut (Mashuri, 2015).

Kritikan serupa juga dilontarkan kepada Slovakia yang dinilai melakukan tindakan diskriminasi. Dalam hal ini, Slovakia ingin menolong pengungsi dari Suriah sebanyak 200 orang dengan syarat mereka hanya menerima pengungsi yang beragama muslim. Hal ini tentu saja dikecam oleh berbagai pihak, salah satunya adalah kanselir Jerman Angela Merkel yang mengingatkan bahaya dari sikap Slovakia yang menaruh sentimen dan mendiskriminasi sebuah agama (Mashuri, 2015).

Sedangkan Polandia menyatakan dengan tegas bahwa mereka menolak kedatangan pengungsi dari kawasan Mediterania ke negara mereka. Hal tersebut diungkapkan oleh Jaroslaw Kaczynski yakni pemimpin partai yang berkuasa di Polandia, seperti diberitakan oleh The Independent, bahwa mereka menolak menampung dan memberikan penghidupan terhadap pengungsi karena faktor keamanan (Armandhanu, 2016).

Banyaknya gelombang penolakan dikarenakan dampak negatif dari krisis pengungsi yang dialami negara-negara Uni Eropa dalam berbagai bidang. Di bidang ekonomi misalnya, Yunani mengalami dampak negatif kemerosotan ekonomi dari krisis pengungsi ini. Yunani merupakan negara yang paling banyak menampung banyaknya pengungsi serta harus menanggung seluruh kebutuhan pengungsi di negara tersebut. Pemerintah Yunani merasa kewalahan menangani hal tersebut, terlebih lagi pada 2011 Yunani mengalami krisis ekonomi sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan mendasar pengungsi (Sari, 2015, pg. 548).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun