Mohon tunggu...
Adi Arwan Alimin
Adi Arwan Alimin Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku

Aktif mengampanyekan urgensi keterampilan menulis bagi anak-anak dan generasi muda. Penggagas Sekolah Menulis Sulawesi Barat. Kini bekerja sebagai editor dan menulis buku.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Lelaki di Tepi Sungai Mandar

16 Maret 2015   15:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:34 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1426504880951300128

Ilustrasi/Kompasiana (kfk.kompas.com)

Sungai ini pernah jernih. Ketika orang-orang masih bisa melihat kelebat betis atau punggung memutih perempuan yang memanggul ember ke pinggir bantarannya. Buat mencuci pakaian, atau mandi pada setiap pagi, atau bersiram tubuh saat senja yang membuat aliran batang air ini menghitam. Meski begitu tak ada mata lelaki berani mencuri pandang dari sudut tersempit sekalipun.

Sungai ini pernah seperti teh susu, atau mungkin serupa kopi susu yang laris di warung-warung. Dalam berbilang abad, sungai ini memamerkan wajahnya sesuai waktu yang diburai langit setiap kali menitip hujan di sela-sela pasir, dan bebatuan.Jangan sebut itu warna yang abadi bagi setiap lekuk daerah aliran sungai, bila sungaimu sewarna itu. Bacalah dengan baik, di hulunya sedang menggurita bakal bencana. Warna serupa itu makian yang menghardikmu.

Sungai ini pernah serupa darah keabu-abuan, ketika kampung Soreang yang kini ramai bernama Kandeapi Tinambung pada senjakala Balanipa diamuk api. Itu kabar yang mengusik kelakian di masa lalu. Saat seluruh bantaran sungai ini dibakar musuh, dipapar jago merah, bengawan yang mengalir teduh itu pun berubah sebagai kesumat.

Sungai ini pernah dilintasi amis darah bila sepasang jambia saling berjanji di tepiannya. Wai ini juga selalu menjadi penawar bagi tabiat yang hendak mengubah nasib dengan cara berbeda. Lalu... Dari tepi sungai Mandar, kisah ini akan dibisikkan pada kalian.

Tentang kisah seorang lelaki yang tak pernah mampu menjejak rembulan setiap kali datang. Cerita mengenai gores luka yang tak pernah sembuh. Sebutlah ia seseorang yang jatuh hati pada pujaannya. Juga mengenai lakon cara menguji mantera...

***

“Kamu membawa segala keperluanmu?” Percakapan antara dua orang itu langsung dimulai.

Suara bergetar itu menggema dalam udara malam. Di langit bulan sedang menuju empatbelas, suasana di bantaran dengan banyak gerombol rumput gajah itu meremangkan setiap wajah yang hadir. Beberapa lengking binatang terdengar dari pinggir kampung.

Dupa kecil sejak tadi telah mengirim asap yang menggiring pikiran bercampur-baur legamnya sungai Mandar. Malam baru saja beranjak, bunyi shalawatan menuju shalat Isya terdengar parau dari langgar. Ini waktu-waktu yang amat magis. Hanya beberapa pasang mata yang hadir di situ, tak lebih dari lima orang.

Iye Puang...” ujar lelaki itu memperlihatkan bungkusan kecil yang disorongnya pelan-pelan.

Seketika mantera dipilin dalam doa penuh bisik. Sebuah energi seperti disedot untuk menggumpalkan pertemuan itu. Perasapan mewangi dari bara bercampur dalam undung, setiap kali asap itu berkurang beberapa jentik wewangian itu disembur bersama remas jemari. Komat-kamit yang tak terdengar jelas, disulur bersama gerak tubuh yang bergoyang ke kiri dan kanan mengikuti angin.

Tak berapa lama lelaki setengah umur itu menggamit pundak lelaki yang duduk bersila di depannya. Tangannya bergetar pelan, lalu membuat tubuh lelaki itu menggelinjang. Seperti ada sesuatu yang merasuk berpindah dari sosok tua di depannya. Dalam pada itu, keduanya tetap memejamkan mata. Sebuah kekuatan tak terlihat telah mengalami proses kebatinan, pori-porinya seketika basah dilewati bulir keringat. Nadinya menunjukkan tekanan bergelembung.

Tangan lelaki pemilik dupa itu masih melakukan ritualnya. Ia menarik sebilah keris yang disorong pelan-pelan ke langit. Di antara perasapan itu...

“Hapalkan mantera ini... hanya akan aku sebut tiga kali...”

Lelaki yang masih duduk bersila di tepi sungai Mandar itu mengangguk dalam kesenyapan. Memasang telinganya lekat-lekat. Kuatir mantera itu direbut makhluk lain.

Tambusi allo...,” bisik tetua dengan songkok yang kian legam.

Laki-laki itu mengulang-ulang bait pertama itu dalam-dalam.

Tambusi nyawamu...”

“Siapa nama perempuan idamanmu itu?” tanyanya usai mengulang mantera manjur itu.

Secarik kertas berisi nama perempuan yang diangsurkan ikut menjadi debu dalam wadah berkaki dari tanah liat. Udara berubah wangi ketika undungan itu lamat-lamat padam.Pedupaan itu lalu dibuat mengitar di atas kepala anak muda di depannya, tak terhitung berapa kali dalam suasana seperti itu.

“Ia akan menghirup dupa ini melalui mimpinya...,” kalimat terdengar melindap di antara keheningan malam.

Deret kalimat magis lainya telah menelusup di rongga kepalanya. Kini tersungging senyum dari wajah pria muda itu. Walau malam hanya bersinar rembulan di bantaran sungai itu, namun kegelapan yang tersisa ibarat kanvas yang mampu menghadirkan seorang perempuan gemulai berparas aduhai. Mata bagus dan hidung bangir itu terasa membayang di pelupuknya. Sebentar lagi engkau akan menjadi kekasihku, pikir pria durjanah ini.

Abu dari perasapan itu dilarung bersama bunga tujuh rupa. Dibiarkannya mengalir mengikuti arus menuju laut. Menjelajahi setiap kelok bantaran hingga tak lagi tersisa. Bila ritual itu manjur, perempuan yang ditujunya akan rindu setengah mati pada pengirimnya.

“Bila ia mandi besok pagi di sungai, ia akan masih dapat menghirup wanginya,” papar lelaki tua itu ketika membasuh tangannya.

Sebelum berlalu dari tempat itu, orang tua itu mengambil sebatang tembakau lalu dibakar hingga menyisakan bunyi. Upacara singkat itu terasa berbeda dari biasanya. Sambil menghembuskan asap dari tenggorokannya, ia memandangi gugus bintang yang jauh.

“Mantera ini hanya untuk satu tujuanmu saja. Tak bisa kamu pakai sekehendakmu, bila engkau melanggarnya doa-doa itu tak lagi mujarab. Engkau harus tetap berusaha merebut hatinya, sebab mantera ini hanya akan membantumu menguasai pikirannya...,” katanya kemudian.

Orang tua yang dipanggil Puang itu menepuk pundak lelaki yang kini makin terasa menginjak bumi.

“Jangan lupa itu,” ulangnya.

Sambil membungkukkan rasa hormat pada lelaki yang seumuran bapaknya, wajahnya bertabur senyum. Ia seperti sedang memegang bendera kemenangan dari peperangan yang tak sanggup dihadapi langsung. Malam itu seribu harapannya telah ditautkan pada takdirnya. Meski ia mungkin melupakan sesuatu yang terselip dari tepi bantaran sungai itu. Ia tak lupa mengulang-ulang bait-bait manteranya.

***

Seorang perempuan di seberang bantaran sungai malam itu gelisah. Tak bisa memejamkan matanya. Entah mengapa setiap kisi-kisi malam yang dilewatinya terasa amat cepat memburu pagi. Telah berulangkali ia membolak-balik badannya di tempat tidur, tetapi matanya terasa kering. Kini ia hanya merasa dibetot untuk mengingat-ingat sesuatu. Perihal yang amat berat di benaknya.

Setelah berhari-hari perempuan ini penuh igauan yang tak jelas. Ia selalu ingin berlari menuju sungai. Orang-orang di rumahnya lalu memutuskan mencari orang pintar. Telah banyak sando bergantian hendak mengobati, namun perempuan yang baru beranjak dewasa itu makin keras menolak setiap orang yang muncul di pintu kamarnya.

“Anak ini dikena pansanre anging...,” sebut seorang lelaki bersarung ketika masih duduk di ruang tamu.

Hingga akhirnya sebuah perapian kecil berkaki dari tanah liat dibalur bara di sisi tempat tidur sang gadis. Dalam komat-kamit lelaki berkopiah hitam itu mengusapkan kedua tangannya. Membaca doa-doa tak terdengar di bawah pandangan orang-orang yang kali ini merasa berbeda dengan kehadiran orang pintar ini di rumah itu. Ini jelas dukun yang pas.

Di suatu pagi ketika matahari baru saja menghangatkan aliran sungai Mandar, perempuan itu direndam setinggi dada. Orang-orang ramai menonton ritual untuk menolak bala. Ada wangi yang aneh setiap kali orang tua itu mengguyurkan air.

Mangkok putih dijadikan gayung untuk membasahi seluruh renik kulit bersih itu. Setelah bersalin, sarung dan baju yang dipakai kemudian dihanyutkan ke tengah sungai. Orangtua itu yang melemparkannya ke arus deras. Banyak yang tercenung melihat pemandangan itu.

Semburat yang mengirim wangi dupa makin hilang bersama kian jauhnya lemparan ke muara. Perempuan itu telah memamerkan senyumnya. Ia tak lagi berontak. Ia bahkan malu-malu begitu melihat banyak manusia yang mengelilinginya.

“Sungai Mandar itu bisa jadi obat...,” kata lelaki tua itu sedikit parau di tepi bantaran sungai Mandar. Orang-orang mengangguk takzim. Ia hanya tersenyum dalam rahasia. (*)

Padang Bulan, 13 Maret 2015

Catatan:

Jambia: Badik

Puang sapaan bagi orang tua di Mandar

Pansanre anging istilah ilmu guna-guna

Sando: Dukun

Undung semacam tempat pedupaan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun