Mohon tunggu...
Adi Arwan Alimin
Adi Arwan Alimin Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku

Aktif mengampanyekan urgensi keterampilan menulis bagi anak-anak dan generasi muda. Penggagas Sekolah Menulis Sulawesi Barat. Kini bekerja sebagai editor dan menulis buku.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Doa Seorang Jawara

12 Mei 2014   16:23 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:36 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bukan karena tanah di kampung halaman mereka tak subur untuk memberi makan. Bukan karena sulur air dari huma-huma mengering. Bukan. Tetapi itu semacam syarat kelakian. Salah satu tanda kesuksesan, haruslah bisa kembali dari rantau. Sebab banyak yang telah pergi, tak lagi pernah kembali.

Dan, laki-laki yang sedang memberi petuah ke Badar, tak lain pemuda seperti Badar puluhan tahun silam. Yang dahulu pergi, dan hilang seperti ditelan bumi. Belasan tahun kemudian ia telah kembali dengan banyak sepuhan emas, dan uang untuk membangun rumah, memperluas tanah, atau menikah dengan perawan paling cantik.

"Dahulu paman ke utara, melewati Donggala. Terserah Badar akan kemana, paman dengar besok pagi akan ada kapal di Palipi yang akan ke Kota Baru. Atau, mungkin kau hendak ke Parepare, di sana juga banyak kapal yang bertolak ke banyak banua," ujar laki-laki bernama Paramisi itu.

Beberapa malam sebelumnya. Paramisi telah melempangkan kisahnya di hadapan Badar. Bahwa laki-laki itu pernah menjejak Donggala, Gorontalo, lalu ke Balikpapan hingga ke Serawak. Sampai ia pulang sepuluh tahun lalu.

"Baik paman. Telah ada rencana seperti nasehat paman..." Badar mencium tangan laki-laki itu, menyusul tetua yang lain.

Tak ada air mata setiap lelaki akan pergi. Menangislah ketika ia telah datang menenteng sisa hidupnya di kampung hingga mati. Jangan menangis di punggung laki-laki ketika ia akan melarung hidupnya di kaki langit terjauh.
***
Di kampung, tak cukup mudah untuk meraih predikat jawara atau jagoan. Kisah turun-temurun tak menempatkan luas tanah yang setiap hari menjadi batas pemandangan mata sebagai ruang untuk mengisahkan pengalaman terhebat sekali pun.

Terlalu sempit untuk titel pendekar. Maka, tak ada pilihan selain merantau. Melewati hidup dengan cara apapun diseberang telah mendudukkan beberapa tetua di kampungnya menjadi disegani. Dengan cara itu tempat duduk mereka selalu paling ujung atas bila ada kenduri kampung.

Mereka yang pulang terlalu cepat, akan dinilai tak heroik. Berbeda dengan mereka yang dinanti pulang untuk sekedar berkisah, tetapi belum juga pasti kapan akan datang. Selalu ada tutur pembanding antara setiap perantau.

Badar memilih itu. Sebab ayahnya dahulu demikian. Tak elok rasanya bila ilmu kottau-nya, tak pernah dipapar dengan lawan. Meski aturannya ketat, tak boleh menyerang siapapun lebih dahulu. Badar telah mendalami itu bertahun-tahun. Dan ia jawara yang belum pernah melewati batas kampungnya.

Sejenak Badar memandang pohon yang baru saja ditanamnya. Bila pohon itu tumbuh dengan ranting dan dahan yang terus mengejar matahari, akan mengisyaratkan hidupnya akan makmur dirantau. Namun, bila kelak pohon itu tak mampu melawan udara dan musim yang berganti-ganti, keluarganya patut kecemasan.

"Kami akan menjaga pohonmu ini, dirantau jagalah dirimu. Baik-baiklah mengurai kata, sikap dan tindakanmu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun