Lelaki yang menjadi sokoguru perjuangan Sulbar ini tampak berdiri, khidmat dan kemudian melakukan sujud syukur di jembatan Paku. Cukup lama ia membenamkan wajahnya dalam tangis di sajadah. Sementara orang-orang mulai melewati tempat itu walau keadaan masih cukup gelap. Mereka melihat adegan itu hati-hati, tapi tanpa bertanya.
"Saya memang menazarkan itu, akan melakukan sujud syukur di sini," ujarnya dalam wajah sembab berlinang air mata. Ia menggenggam setir menegasi rasa sedih bercampur gembira. Baru kali itu penulis melihatnya menitikkan air mata. Kami yang menemaninya juga diliputi keharuan.
Lalu Sulbar 10 tahun kemudian. Tangis itu masih tersisa di kelopak matanya. Lelaki yang telah mewakafkan dirinya saat perjuangan pembentukan Sulawesi Barat itu rupanya tak diberi undangan, untuk merayakan momentum penting yang pernah dibelanya habis-habisan. Logika apa yang bisa menerimanya demikian? Syahrir Hamdani itu masih hidup.
Tapi tak cukup sekadar memuji bagaimana heroiknya seorang Syahrir Hamdani belasan tahun lalu. Lelaki dengan karakter khas itu tak pernah menyesali jalan hidup yang telah dipilihnya. Syahrir hanya menggarisbawahi pesan utama tentang sifat dasar To Mandar yang Malaqbiq: dalam sikap, tindakan, dan tutur kata.
"Yang harus dibangun saya kira sikap saling menghargai. Saya tidak menyalahkan siapa-siapa, tetapi mungkin ada di sistem penyelenggara yang lalai. Tak mungkin pak Gubernur akan mengatakan, undang Si Ini, jangan undang Si Itu, saya yakin itu," sebutnya via telepon Rabu pagi kemarin.
"Cita-cita kita membangun sebuah Rumah Sulbar Malaqbiq, tetapi rupanya yang muncul hanyalah Hotel Sulbar. Bila saya dipahami secara keliru, sama kelirunya meminta saya mengubahnya. Karakter inilah yang menyebabkan saya menerima tanggung jawab dari KAPP Sulbar, hingga mengabaikan kepentingan pribadi, para senior paham itu," paparnya melalui pesan singkat.
Syahrir yang mendapat surat penugasan dari Rektor Unhas tanggal 2 September 2002 untuk melanjutkan studi ke pasca sarjana, lebih memilih berkonsentrasi di Jakarta untuk mengawal pembentukan Sulawesi Barat.
"Yang kini sulit bagi saya adalah bagaimana menjelaskan itu kepada anak-anak, dengan melihat situasi yang terjadi," paparnya, ada tekanan haru dari balik teleponnya kemarin.
Dalam deret tokoh perjuangan Sulbar, Syahrir Hamdani merupa akar tunggang, yang mengerek daerah ini susah-payah. Bak sebuah drama atau film, karakteristik perannya ikut menentukan alur utama perjuangan. Ini harus diapresiasi setinggi mungkin. Seting waktu telah menempatkannya secara tepat. Ia terlibat sejak dari Deklarasi Galung Lombok hingga Senayan. Tidak ada pemeran lain yang tampil dalam durasi seimbang dengan Syahrir.
Tokoh seperti Rahmat Hasanuddin, Makmun Hasanudddin, Naharuddin, Aruchul Tahir, Andi Maksum Dai, KH Sahabuddin, Mujirin Yamin, Zikir Sewai, Kalman Bora, Nurdin Hamma, Syahruddin Rasyid, Andi Nuraini Pasilong, Arifin Nurdin, Harun, Rusbi Hamid, Jamil Barambangi, dan tokoh lainnya masing-masing memiliki peran penting, berbeda, dan menguatkan. Mereka memiliki wilayah, tupoksi, dan tanggung jawab perjuangan yang saling mengisi.
Atau, posisi jajaran muda kala itu dalam sejumlah organ seperti Junaedi Latif, Hamzah Ismail, Tammalele, Sabri Maulana, Abdul Rahim, Imran Kaljubi Keza, Azikin Noer, Rahman Bande, Farid Wadji, Watif Waris, Bahrun Sahibuddin, Syamsuddin Idris, Ajbar Kadir, Chaidir Jamal, Ismail Mahmud, Rahmat Azis, Nurdin Pasokkori, Marigun, M. Dalif, Adi Ahsan, Muhammad Hamzih serta daftar nama-nama lainnya yang sungguh tanpa pamrih.