Kedua, dalam hal sistem registrasi perawat, hanya perawat vokasional dan profesi yang dapat memiliki STR sehingga lulusan sarjana keperawatan yang memiliki kualifikasi diatas pendidikan vokasi dan satu tingkat dibawah pendidikan profesi tidak memiliki kejelasan dan hanya dianggap sebagai lulusan akademik yang memiliki pengetahuan namun dibatasi secara praktikal. Dampak signifikan selain tidak memiliki STR, juga terkendala dalam penerimaan mahasiswa pada jenjang studi magister (S2) linier keperawatan yang mengharuskan lulusannya berijazah profesi.Â
Ini tidak memberikan keadilan bagi lulusan sarjana keperawatan yang ingin melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi meski telah dianggap memiliki kualifikasi yang layak secara akademik.
Setidaknya putusan MK memberi keadilan bagi lulusan keperawatan non-profesi meski pada penjelasan amar putusan selanjutnya tetap mengharuskan perawat melalui pendidikan profesi untuk mendapatkan SIP terkhusus lulusan sebelum tahun 2023.Â
Semoga kedepan Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) dapat melaksanakan putusan MK dengan mengatur mekanisme pembuatan STR bagi lulusan sarjana keperawatan.Â
Selain itu, diharapkan kepada akademisi, organisasi profesi atau mahasiswa untuk melakukan uji materi kembali agar batasan dan hambatan dalam amar putusan yang menerima sebagian dari uji materi dapat diterima seluruhnya agar ketimpangan aturan dapat diperbaiki dan asas keadilan dapat dinikmati secara bersama.
Penulis adalah Occupational Health Nurse (OHN) di Saudi ArabiaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H