Mohon tunggu...
Akhir Fahruddin
Akhir Fahruddin Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

Live in Saudi Arabia πŸ‡ΈπŸ‡¦

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Superioritas Dokter di Indonesia

11 Februari 2023   13:40 Diperbarui: 11 Februari 2023   13:45 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendapat Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pada akhir bulan Januari dalam sebuah rapat tentang dilema praktik tenaga kesehatan di Indonesia menjadi menarik untuk di diskusikan dalam konteks pengalaman yang disajikan secara naratif. Kenyataan yang dialami oleh Menkes saat berada di lapangan maupun hasil diskusi dengan organisasi profesi menyiratkan adanya tumpang tindih atau disharmoni antara tugas dokter dan perawat sebagai tim kerja.

Istilah kasta muncul sebagai gambaran bahwa ada yang harus diperbaiki dalam cara kerja tenaga kesehatan di Indonesia terutama dokter dan perawat. Pernyataan lengkap Menkes dapat dimaknai berdasarkan perspektif masing-masing profesi. Sebagai seorang perawat, saya kemudian melakukan analisa berdasarkan pengalaman selama bekerja sebagai perawat di Indonesia.

Bekerja pada layanan kesehatan memberikan banyak makna dan hikmah dengan keyakinan bahwa saya banyak belajar tentang hubungan antar profesi maupun realita yang dihadapi untuk menjadi manusia yang memberi banyak manfaat bagi sesama. Sejujurnya, saya merasakan bagaimana bekerja di Puskesmas, Klinik, Rumah Sakit maupun sebagai Occupational Health Nurse di perusahaan. Rotasi pengalaman itu telah memberi banyak hikmah sehingga secara pribadi saya menyimpulkan bahwa relasi dokter dan perawat memang perlu perbaikan.

Agar tidak terlalu subyektif, maka saya ingin membagi pengalaman ini kedalam 2 hal yang perlu mendapat perhatian bersama agar kerja tim ini mampu melahirkan kerja yang solid dan saling menghormati. Meskipun, dalam kenyataannya tidak ada manusia yang mampu menjadi objektif, pertentangan dan naluri ilahiah akan mendorong jiwa untuk selalu memilih atau bersikap tidak adil dalam memandang sesuatu. Wallahu'alam.

Pertama, masyarakat kita cenderung melihat pendidikan kepada hal-hal yang bersifat populer dan mahal daripada kemanfaatan dari pembelajaran yang ditekuni. Istilah kuliah mahal mendorong masyarakat untuk memposisikan profesi tertentu diatas profesi lain, pun demikian dengan kuliah yang murah akan cenderung di konotasikan sebagai pendidikan biasa yang akan melahirkan masyarakat pekerja kelas menengah.

Pengalaman saya tinggal di wilayah timur Indonesia, Jawa, maupun metropolitan Jakarta menyimpulkan bahwa anggapan itu benar adanya. Ketika saya di NTB, para orang tua berlomba untuk menyekolahkan anaknya di Fakultas Kedokteran dengan harapan mereka bisa menjadi dokter dengan pendapatan besar, dapat segera bekerja dan dipandang sukses dengan predikat menjadi dokter. Ketika di Jawa, para mahasiswa kedokteran terlihat berbeda dengan mahasiswa lainnya, anggapan bahwa menjadi dokter akan dapat mendirikan klinik dan tentunya bergaji besar menjadi sangat fenomenal. Di Jakarta, praktikum bersama mahasiswa kedokteran akan terasa bedanya. Kelas dan kasta kemudian menjadi bincang menarik mahasiswa hingga menjadi sugesti setelah lulus kuliah dan bekerja.

Padahal dalam kenyataanya, baik dokter maupun profesi lain seperti perawat yang dalam kehidupan kampus berbeda kelas pembelajaran dan biaya sekolah, akan dapat memberikan manfaat bagi sesama. Tugas dokter dengan diganosis dan pengobatan (Cure), juga tugas perawat dengan asuhan keperawatan (Care) dalam layanan kesehatan dapat bersinergi menghasilkan pasien yang sehat jiwa dan raganya. Sinergi ini penting untuk diketahui, karena pada dasarnya bukan jasa dari satu profesi saja melainkan profesi lain yang turut serta membantu.

Kedua, dalam kerja kolaborasi antar profesi, dokter cenderung dilabelkan sebagai pimpinan yang mengerti keseluruhan disiplin ilmu. Hal ini memunculkan streotipe dan menjadi legal abstrak dengan memposisikan seseorang serba tahu untuk menjadi manusia yang di agungkan. Boleh jadi, hal ini dikarenakan profesi lain cenderung lemah dalam eksistensi untuk memiliki dan menjadi atau citra diri dokter yang selalu menempatkan profesinya sebagai yang terdepan atau diatas segalanya.

Jika dihubungkan dalam praktik kehidupan profesi di semua level layanan kesehatan, kita akan menemukan fakta bahwa posisi strategis akan banyak diberikan kepada dokter, baik kepala unit, bidang maupun kepala instansi yang berkaitan dengan kesehatan meskipun banyak profesi lain yang secara manajerial memiliki kemampuan berada dalam posisi itu. Saya mengambil contoh lulusan kesehatan masyarakat yang secara keilmuan mampu, namun faktor internal tidak menjamin lulusan itu berada di top manager.

Ini masih level instansi daerah, namun jika kita berkaca di level Kementrian yang sekarang dipimpin Budi Gunadi Sadikin, kita akan menemukan fakta bahwa hampir keseluruhan posisi manajerial dipimpin seorang dokter. Mulai Wamenkes, Inspektur Jenderal, Dirjen Yankes, Dirjen Kesmas, Dirjen Tenakes dan Dirjen P2PM. Ini masih level Direktur, di level bawah atau sub bidang, kita menemukan banyak sekali dokter di lembaga struktural. Dulu ada Direktur Keperawatan, namun seiring waktu berjalan, posisi ini dibubarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun