Bagaimana dengan perawat yang tidak melanjutkan pendidikan profesi ?
Ini masalah ketiga yang dihadapi perawat Indonesia. Mahalnya biaya pendidikan profesi membuat mereka berfikir lebih keras untuk melanjutkan study.
Pada kenyataannya, kita tidak bisa mengelak jika biaya kuliah profesi perawat sangat mahal. Dalam satu tahun ada 2 semester yang dialui mahasiswa keperawatan dengan kegiatan praktikum di tiap stase yang ditentukan institusi pendidikan.
Jika ditotal secara keseluruhan, perawat menghabiskan masa study 5 tahun dengan pembagian pendidikan akademik 4 tahun dan pendidikan profesi 1 tahun.
Ini masa belajar terlama yang dihadapi perawat jika dibandingkan dengan sistem pendidikan di Philipina, India dan Malaysia.
Pada kenyataannya, ada perawat yang bisa melanjutkan pendidikan profesi dan diakui kompetensinya namun juga ada beberapa perawat yang hanya melanjutkan pendidikan akademik namun tidak diakui eksistensinya.
Mereka-mereka yang memilih pendidikan akademik dan tidak melanjutkan pendidikan profesi rata-rata banting stir dalam bekerja. Ada yang memilih perbankan, perhotelan, salon kecantikan hingga distributor barang.
Tentu keilmuan mereka akan hilang secara perlahan karena menggeluti bidang keilmuan yang tidak pernah didapatkan selama masa pendidikan.
Tetapi karena keadaan, mereka rela melakukan apapun untuk mempertahankan kehidupan. Kira-kira apa yang dipikirkan pakar pendidikan jika melihat realita di lapangan ? penting untuk direnungi.
Melihat keadaan yang ada, sudah saatnya Kementrian Kesehatan, Pakar Pendidikan dan Organisasi Profesi memikirkan masa depan mereka-mereka yang menjadi korban sistem. Jika disaat pandemi tenaga dan jasa mereka dibutuhkan, mengapa untuk sekadar diakui saja mereka harus melewati berbagai ketentuan yang sejatinya bisa disederhanakan.
Kepada pakar pendidikan, apakah karena perawat adalah profesi lantas mereka harus ditambahkan pendidikan profesi? Bukankah inti dari profesi adalah panggilan jiwa?