Mohon tunggu...
Akhir Fahruddin
Akhir Fahruddin Mohon Tunggu... Perawat - Occupational Health Nurse

Alumni FK-KMK Universitas Gadjah Mada || Live in Saudi Arabia 🇸🇦

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengapa Pengobatan Komplementer Masa Kini Jadi Polemik?

5 Agustus 2020   10:25 Diperbarui: 6 Agustus 2020   02:32 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai warga negara yang baik dan ingin berkontribusi bagi masyarakat, Hadi Pranoto mencoba mengolah akal sehat menjadi sesuatu yang diyakini dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. 

Konsep pengobatan tradisional atau komplementer yang diklaim olehnya bisa menyembuhkan Covid-19 diragukan banyak pihak. Ada yang menuding bohong, latar belakang akademis yang lemah serta hasil olahan produk tanpa izin dan melanggar aturan. 

Hal ini membuatnya harus berhadapan dengan hukum dan seabrek aturan di negeri ini yang sangat birokratif. Bayangkan, untuk menciptakan suatu hasil pengobatan, kita harus melalui riset-riset yang membutuhkan waktu lama dan tidak mudah.

Terlepas dari itu semua, saya ingin mengajak pembaca untuk melihat dari perspektif lain atas fenomena Hadi Pranoto. Masalah ini bukanlah sesuatu yang baru melainkan ada hal positif dari hasil olahan yang sudah mulai diperjualbelikan. Apa itu ?

Produk Hadi bukanlah sesuatu yang ghaib melainkan produk olahan tradisional yang sejak dahulu para peramu obat sudah menggunakan rempah-rempah tersebut sebagai media untuk mempertahankan kehidupan dan mencegah kesakitan.

Coba bandingkan dengan fenomena Ningsih Tinampi atau Ponari di Jawa Timur, pasti kita berpikir bahwa pengobatan keduanya tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan produk Hadi. Tidak ada unsur ghaib yang membuat kita heran karena hasil olahannya memang sudah sering dikonsumsi masyarakat.

Bayangkan, jika hasil olahan kunyit, kencur atau hasil rempah-rempah lainnya harus diperdebatkan sampai para ahli turun tangan. Lalu mereka yang meneliti selama ini kemana saja. 

Coba ajak Hadi Pranoto bicara dan bantu dia untuk melanjutkan hasil olahannya agar kemudian bisa dipertanggungjawabkan bukan sebaliknya menghujat dan menghina.

Penulis tidak dalam posisi membela Hadi Pranoto melainkan membuka akal pikiran kita tentang olahan produk komplementer yang sejatinya jauh lebih baik bila dibandingkan dengan pengobatan tradisional batu Ponari dan pengobatan ghaib lainnya.

Jika saya menelaah setiap hal yang berkaitan dengan pengobatan komplementer, maka jarang ada yang meliriknya, padahal hal yang berkomposisi kimiawi tidak selamanya bisa dikonsumsi oleh masyarakat. 

Sudah banyak penelitian komplementer orang Indonesia yang berhasil namun terhalang oleh aturan dan birokrasi yang menyulitkan, bahkan kebanyakan dari peneliti kita harus berpindah negara untuk memproduksi hasil penelitiannya.

Kita bisa membandingkan kalung anti Covid dengan Jamu anti Covid, mana yang lebih masuk akal? Kementrian Pertanian sebagai sentral informasi kalung anti Covid dibuat tak berdaya, karena tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Lalu apakah Kementan dihujat? Dilain sisi ada warga negara yang mencoba mengolah sendiri produknya dengan dalih imunitas malah dihujat.

Barangkali kita harus menelaah sebelum menghujat. Kita harus bisa menempatkan hasil olahan rempah-rempah tradisional sebagai upaya pencegahan bukan sebagai pengobatan murni sebuah penyakit. 

Peningkatan imunitas bagi tubuh dengan konsumsi hasil olahan tradisional sudah dirasakan manfaatnya sejak dahulu, berbeda dengan produk batu Ponari atau pengobatan Nengsih yang jauh dari akal sehat.

Saya rasa kita akan memilih jamu, karena penggunaannya merakyat bila dibandingkan dengan kalung yang tidak masuk akal. Modernisasi mungkin bisa mengubah alam pikiran kita namun bukan berarti melakukan benturan terhadap hal-hal yang bersifat tradisional.

Gerakan masyarakat mencintai produk tradisional dan herbal harus senantiasa kita lakukan sebagai upaya untuk mengurangi kesakitan yang terjadi ditengah mahalnya obat kimia dan meningkatnya harga rawat inap di rumah sakit. 

Rata-rata masyarakat kalangan bawah mempercayai akan hal ini sebagai refleksi ketidakmampuan mereka untuk berobat ke pusat layanan kesehatan.

Bagi kalangan menengah dan atas, mereka pasti ragu dan kadang tidak mempercayainya sebelum bukti empiris berupa hasil penelitian telah diterbitkan. 

Semua memang pilihan, karena sehat dan sakit merupakan proses alamiah yang dialami manusia. Tidak perlu saling menghujat dan apalagi berprasangkat buruk, ada baiknya saling mencerdaskan.

Kita tidak bisa menolak kalangan bawah untuk memilih pengobatan yang mereka yakini sebagai obat terbaik dan murah melainkan memberi perhatian kepada mereka bahwa olahan tradisional memang baik untuk dikonsumsi sebagai upaya menjaga imunitas dan mencegah kesakitan.

Sebagai penutup, saya teringat akan kunjungan Menteri Kesehatan dr Terawan Agus ketika pertama kali dilantik ke sebuah desa yang terkenal akan pengobatan tradisional untuk vitalitas yaitu "Emak Erot". Menkes Terawan berpesan agar masyarakat senantiasa mengembangkan dan mempertahankan model pengobatan tradisional sebagai upaya mengurangi tingkat kesakitan.

Sudah selayaknya jajaran Kemenkes melirik pengobatan tradisonal, entah herbal atau pengobatan tradisonal lainnya untuk dikembangkan sebagai produk olahan tradisional yang mengglobal dan melibatkan masyarakat sekitar.

Upaya pengembangan tidak hanya sebatas pada produk "Tolak Angin" yang terkenal atau "Kuku Bima" yang melegenda melainkan produk lain yang lebih baik dan tentunya tradisional seperti jamu "Tolak Covid". Semoga ke depan akan muncul produk ini selain vaksin yang sudah mulai dikembangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun