Uang memang bukan segalanya, ia hanya kebutuhan paling akhir dari apa yang manusia perlukan, namun tanpa uang, kita juga akan merasa kehilangan hidup, karena untuk membeli segala keperluan, uang menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan.
Dengan bekerja, kita bisa memperoleh gaji dalam bentuk uang yang bisa kita gunakan untuk keperluan pribadi dan keluarga. Jika ada kelebihan, maka kita bisa berdonasi untuk kemanusiaan.Â
Begitulah alur kehidupan uang, ini akan terus berlanjut meski sebagian kecil tidak juga membutuhkan uang untuk kegiatan-kegiatan sosial kemanusiaan.
Uang dalam bahasa agama memiliki makna melembutkan. Oleh karena itu, ketika ada seorang mualaf yang baru masuk Islam, maka hati dan pribadinya perlu dilembut-lembutkan bahwa dalam islam ada kebaikan-kebaikan yang tidak ditemukan dalam ajaran agama lain.Â
Fungsi "takhlif" uang bisa digunakan untuk kesejahteraan juga mengentaskan kemiskinan melalui donasi misalnya zakat, infak dan shodaqoh.
Melihat realita yang ada saat ini, kita mengalami masa dimana wabah mengancam kehidupan individu dan masyarakat. Wabah Covid 19 yang penyebarannya kian meluas membuat sebagian tenaga kesehatan saling bahu-membahu bekerja untuk menuntaskan tugas kemanusiaan yang mereka pikul.Â
Memang ini bukan menjadi pekerjaan mereka semata namun pekerjaan kita semua, akan tetapi, kerja-kerja senyap di layanan kesehatan sudah pasti menjadi bagian yang mereka jalani dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti yang dituturkan rekan sejawat saya yang bekerja di salah satu rumah sakit di bawah naungan Kementrian Kesehatan (Kemenkes). Dirinya harus berjuang tiap waktu, meninggalkan waktu bersama anak-anaknya untuk membantu perawatan pasien covid 19.Â
Saya terharu mendengar cerita-ceritanya. Meski tidur di hotel dengan fasilitas makan yang sehat, namun hati dan nuraninya tidak bisa dibohongi bahwa dirinya juga ingin kebahagiaan dengan berkumpul bersama keluarga.
Jika Aparatur Sipil Negara (ASN) bisa bekerja dari rumah, namun bagi tenaga kesehatan, istilah itu tidak berlaku. Work From Home (WFH) mungkin bisa membebaskan dari wabah jua berkumpul bersama keluarga namun Work From Hospital (WFH) adalah kebalikannya. Kita akan sangat rentang terkena wabah juga punya kesempatan untuk dirawat sebagaimana pasien yang lainnya.
Diantara kesedihan dari apa yang dituturkan kepada saya, ada hal yang sangat mengejutkan dimana insentif covid 19 yang sedianya diberikan setiap bulan malah belum terbayarkan hingga sekarang.
Hak tenaga kesehatan atas jerih payah yang mereka lakukan sejatinya diberikan tepat waktu karena mereka juga butuh dana untuk melanjutkan kehidupannya. Kita tidak tahu jika diantara mereka ada yang memiliki orang tua dan saudara yang harus membayar biaya kuliah dan kebutuhan lainnya.
Saya kemudian melanjutkan pertanyaan lain tentang lambatnya pembayaran insentif, lagi-lagi, soal administrasi, birokrasi dan sederet hal-hal lain yang semestinya bisa dilakukan dengan segera. Apakah para aparatur di Kementrian tidak memahami nurani perawat? Bukankah uang tersebut dari Rakyat?
Kita mungkin lupa dan alpa tentang ini, hanya sederet masalah bansos ke masyarakat yang menjadi berita utama media masa namun persoalan mendasar yang dialami teman sejawat ini patut diperjuangkan kepada pemangku kepentingan yang bekerja dengan uang rakyat.Â
Mereka tidak mungkin bersuara, karena sanksi akan siap-siap menanti. Inilah kerja-kerja kaum kolonial yang seharusnya sudah hilang dari tubuh bangsa ini.
Kepada Pak Menkes Terawan, saya kabarkan ini kepada bapak agar bapak bisa membaca kisah ini di tengah kesibukan bapak bekerja bersama tim dalam penanganan Covid 19.Â
Bukankah pimpinan bapak, Presiden Joko Widodo selalu berpesan agar segala sesuatu yang terlalu birokratif dan bertele-tele mesti dilabrak? Jika mungkin dilakukan dengan segera, maka secepatnya untuk dilakukan pembayaran insentif perawat covid.
Pak Menkes, baru saja kita melihat dan mendengar aturan baru yang diedarkan tentang besaran gaji dan juga uang kematian bagi tenaga kesehatan yang bekerja di fasilitas kesehatan Covid 19.Â
Jika berkenan, laksanakan segera Pak, aturan itu tidak akan jalan jika tidak dilaksanakan. Apa yang harus di tunggu lagi, teman-teman perawat bekerja siang dan malam demi Indonesia sehat, namun upah mereka tertahan. Ini miris sekali pak.
Saya bisa merasakan bagaimana batin rekan sejawat saya tadi, insentif yang selakyaknya diterima tepat waktu harus ditunggu hingga waktu yang belum bisa ditentukan.Â
Segala administrasi, absensi dan juga dokumen lain sudah lama diberikan sebagai tambahan atas keluarnya insentif. Ini terlalu birokratif jika dibandingkan dengan harga nyawa yang setiap hari mengancam.
Semoga harapan yang tertulis dalam kepingan diskusi saya bersama rekan sejawat dapat membuka hati para pejabat. Bapak ibu yang punya jabatan merenunglah, ada masa dimana pekerjaan, kehidupan dan jabatan akan hilang, maka selagi hidup, tepatilah dan berikanlah hak-hak para tenaga kesehatan yang berjuang menjadi garda terdepan pelayanan kesehatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H