Doa-doa terus menggema di seantero rumah meski ibadah di masjid kini dibatasi. Harapan agar pandemi segera berlalu dan aktivitas kembali normal seperti biasa adalah munajat tertinggi setiap diri untuk menghilangkan segala duka dan musibah yang terjadi.
Itulah gambaran ibadah yang dilakukan masyarakat kampung dan kota dalam menyikapi ujian selama Ramadan 2020. Â Hal yang tidak diduga sebelumnya akan terjadi membuat kaget individu dan masyarakat. Kita dibuat takut, cemas, gelisah dan susah akan berita-berita yang setiap hari menggambarkan peningkatan jumlah pasien dan angka kematian akibat covid-19.
Selain itu, pelabelan terhadap individu yang diduga terindikasi atau tertular virus corona juga membuat kita paranoid. Istilah ODP (orang dalam pengawasan) dan PDP (pasien dalam pemantauan) seolah membuat rekatan sosial menjadi pupus dan luntur. Ada sebagian dari kita yang menolaknya untuk tidak berdekatan dalam satu pemukiman, tetapi ada juga yang menggunakan cara persuasif dengan menjauhi bahkan mengusir warga yang positif Covid 19.
Pemerintah sebagai tameng masyarakat memilih cara preventif dan promotif kepada masyarakat untuk diberikan pendidikan tentang masalah yang terjadi, bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberi panduan agar ibadah untuk sementara waktu tidak dilakukan di masjid melainkan hanya di rumah. Akan tetapi himbauan itu tidak sepenuhnya diterima, ada sebagian yang tidak mentaati dengan tetap melaksanakan taraweh di masjid, begitu juga dengan ketidaktaatan penggunaan masker selama pandemi.
Bagaimana Menyikapinya ?
Ramadan yang merupakan madrasah dan tarbiyah bagi kaum muslimin sejatinya harus berkorelasi pada perbaikan akhlak sosial di tengah masyarakat. Kita diajarkan disiplin dan patuh dalam menjalani ibadah puasa dengan tujuan melatih kesabaran, keikhlasan dan kekuatan dalam menjalani proses kehidupan. Harusnya kebaikan-kebaikan yang ada dalam pendidikan Ramadan bisa menjelma dalam kehidupan individu dan sosial bukan sebaliknya apatis atau tidak adanya peningkatan kualitas akhlak pasca Ramadan.
Untuk menjauhi kegersangan sosial tersebut, kita butuh imunitas dalam menjaga diri agar terhindar dari keburukan akhlak yang dapat membawa mudarat. Imunitas tidak hanya diperlukan oleh tubuh untuk kebal terhadap gangguan yang masuk tetapi bisa menjadi pelindung dari marabahaya yang setiap saat datang dan pergi. Imunitas itu adalah konsekuensi dari ibadah-ibadah yang kita lakukan selama Ramadan dan setelah Ramadan berakhir. Inilah harapan utama kaum muslimin agar diakhir Ramadan dapat meraih gelar takwa layaknya bayi yang baru dilahirkan.
Ada 3 imunitas diri yang bisa menjadi penguat selama Ramadan 2020 untuk bisa diraih oleh kaum muslimin ;
Pertama, mempertebal keimanan. Cara ini bisa dilakukan dengan merasakan kedekatan antara hamba dan Rabb selama ibadah Ramadan dengan ibadah-ibadah yang kita lakukan. Kita harus merasakan bahwa pengawasan Allah SWT senantiasa ada dan menjadi pelindung sebelum kita melakukan kegiatan munkar. Iman itu kata Nabi Muhammad SAW kadang naik juga turun, kita bisa mensiasati dengan tetap melakukan kebaikan meski tidak bisa dipungkiri bahwa kita juga kadang terjerumus dalam ketidakbaikan. Maka konsep muraqabatullah (selalu diawasi Allah SWT) menjadi cara kita untuk mempertebal keimanan selama Ramadan dan pasca Ramadan.
Imunitas kedua yaitu merasakan kebersamaan dengan Allah SWT (ma'iyatullah). Cara ini bisa kita lakukan dengan melaksanakan ibadah selain berpuasa di bulan Ramadan seperti shodaqoh dan saling membantu antar sesama. Tanpa kita sadari, ketika kita berpuasa, maka kita dilatih untuk merasakan bagaimana kehidupan kaum faqir yang setiap hari kelaparan dan berusaha mencari sesuap nasi untuk diri dan keluarga.
Ada pelajaran, bahwa kesenangan yang melekat pada kita saat ini bukan sesuatu yang absolut, ada kehidupan lain yang menjadi tanggung jawab kita di dunia. Ketika kita menolong mereka maka secara otomatis Allah SWT akan menolong kita. Harta yang kita keluarkan untuk menolong sesama tidak akan berkurang melainkan bertambah berkat pertolongan Allah SWT. Â
Imunitas ketiga yaitu perbaikan akhlak. Cara ini kita lakukan dengan meningkatkan interaksi yang baik antar sesama. Interaksi dapat kita tunjukkan dengan mengedepankan akhak yang baik terhadap manusia. Kita diajarkan oleh bulan Ramadan untuk jujur meskipun peluang untuk bisa makan dan minum tanpa diketahui manusia bisa kita lakukan. Setidaknya ada 5 akhlak yang bisa kita warisi dari Ramadan kali ini dan menjadi harapan untuk bisa dibumikan pasca Ramadan yaitu sabar, jujur, taat aturan dan gemar introspeksi diri.
Harapan selama dan pasca Ramadan
Dengan mengetahui dan melaksanakan imunitas diatas, maka setidaknya kita bisa berbenah untuk meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah SWT. Takwa dalam artian melaksanakan segala yang ma'ruf dan menghindari segala yang munkar dengan tetap melakukan ekternalisasi nilai-nilai ibadah diluar masa ibadah.
Ketika kita puasa dengan menahan lapar dan dahaga dari terbit fajar sampai terbenam matahari maka diluar itu kita harus mampu merasakan bahwa kelaparan, ketiadaan dan kehausan merupakan keseharian yang dirasakan para fakir dan miskin. Ini bisa menjadi teladan diri untuk mau dan mampu menerapkan nilai tolong menolong, memberi makan pada yang lapar juga menginfaqkan sebagian harta yang kita miliki untuk kemaslahatan.
Semoga imunitas diri bisa kita laksanakan tidak hanya selama Ramadan tetapi juga setelah kita keluar dari tarbiyah Ramadan itu sendiri. Madrasah Ramadan memang setiap tahun kita laksanakan namun belum tentu membuat kita lulus dengan predikat yang memuaskan. Biarkan Allah SWT yang menilai segala prilaku yang kita lakukan selama dan pasca Ramadan, mudah-mudahan harapan menjadi insan yang berkemajuan dapat kita raih sebagai perwujudan hablum minallah dan hablum minannas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H