Tiap tanggal 15 Oktober, teman-teman di layanan kesehatan maupun masyarakat pada umumnya pasti tahu jika tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Cuci Tangan Sedunia. Sebuah peringatan akan pentingnya menjaga kebersihan diri agar terhindari dari bahaya kuman dan bakteri yang senantiasa mengintai tangan juga tubuh kita.Â
Pelaksanaan kegiatan seperti sosialisasi ke sekolah-sekolah prihal cara mencuci tangan yang baik dan prosedur cuci tangan menggunakan sabun dengan air mengalir menjadi agenda penting yang dilaksanakan.
Pada dasarnya, prinsip cuci tangan lebih ditekankan kepada anak-anak, namun orang dewasa maupun lansia juga harus membudayakan cuci tangan agar pendidikan kesehatan bisa menjadi kebiasaan yang dapat ditiru oleh anak-anak, baik dalam lingkup keluarga, lingkungan maupun masyarakat.
Penekanan cuci tangan yang baik sebelum makan dan setelah buang air besar (BAB) sangat diprioritaskan untuk mencegah gangguan diare yang kerap kali menjadi masalah utama yang menimpa anak-anak juga orang dewasa.
Meski angka kejadian diare menurun namun kewaspadaan terhadap penyakit tersebut perlu dilakukan. Data Riset Kesehatan Dasar (Rikesda) Kementrian Kesehatan tahun 2018 menemukan setidaknya masih ada 18,5 persen angka kejadian diare di Indonesia.
Angka ini menurun pada tahun 2018 menjadi 13,3 persen.
Penurunan angka kejadian diare patut diapresiasi karena masyarakat mulai sadar tentang pentingnya menjaga kebersihan diri baik di sektor formal seperti sekolah dan layanan kesehatan maupun dilingkup kehidupan keluarga dan masyarakat.
Dampak penurunan ini sejatinya bisa terus berlanjut agar angka kejadian diare bisa berkurang.
Data Pokok Pendidikan (Dapodik) Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendikbud) mencatat bahwa sejumlah sekolah dasar (SD) di Indonesia sudah memenuhi kriteria sebagai sekolah yang memiliki sarana dan prasarana cuci tangan yang baik.
Persentase sekolah yang memenuhi sarana cuci tangan dengan kriteria adanya ketersediaan air dan sabun sebanyak 42 persen sedangkan sekolah yang memiliki sarana cuci tangan dan belum dilengkapi dengan ketersediaan sabun dan air mengalir sebanyak 24 persen. Adapun sekolah yang belum memiliki fasilitas tempat cuci tangan dan ketersediaan sabun maupun air mengalir masih dikisaran 33 persen.
Fakta dan data diatas jika dianalisa dengan baik maka persentase sekolah yang belum memiliki sarana dan prasarana tempat cuci tangan juga ketersediaan sabun untuk mencuci tangan masih cukup tinggi.
Ini bisa menjadi api dalam sekam, karena minimnya fasilitas bisa berdampak pada tingginya angka diare dan penyakit typoid yang bisa dialami oleh anak-anak sekolah.