Memasuki Juni 2023, WHO mengakhiri status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia-Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) Covid-19. Langkah berikutnya di banyak negara, tentu saja bagaimana bangkit dan bertransisi ekonomi dengan cepat.
Apalagi  sebelumnya studi Bank Dunia, "Apakah Resesi Global Sudah Dekat?", mengingatkan kita berhati-hati dari resesi 2023 yang penuh volatilitas dan ketidakpastian.
Ancaman deselerasi atau perlambatan kecepatan penerimaan pajak menjadi gangguan yang harus diwaspadai. Tantangan menjaga stabilitas ekonomi terasa kian berat, apalagi isyarat perlambatan pendapatan negara memang sudah mencuat sejak awal tahun 2023.
Sejak transisi ekonomi dari pandemi ke endemi, kebijakan pajak sebagai bagian dari kebijakan fiskal secara keseluruhan semakin kritis. Deselerasi pajak 2023, masih dibawah tren pajak di tahun 2022. Pemerintah harus bekerja ekstra keras lagi!.
Sebagai bentuk dukungan kebijakan agar tepat sasaran, kita merujuk publikasi OECD, yang merekomendasikan perhatian pada tiga hal; menjaga bisnis tetap dapat berjalan, mempertahankan kesempatan kerja yang tersedia, dan menjaga pendapatan rumah tangga.
Organization of Economic Co-operation and Development (OECD) adalah inter-governmental organisasi dengan misi mewujudkan perekonomian global yang kuat, bersih, dan berkeadilan (a stronger, cleaner, fairer world economy).Â
OECD mendukung para pengambil kebijakan mengatasi berbagai isu terbaru, dan mengidentifikasi solusi kebijakan yang bermanfaat optimal menjawab berbagai tantangan dan menyelesaikan persoalan ekonomi, sosial, dan tata kelola yang baik (good governance).
Kebijakan Anti Inflasi
Indonesia memasuki tahun 2023 dengan kombinasi antara optimis dan waspada. Meskipun "anemia ekonomi" di daerah menurun seiring membaiknya perekonomian di daerah. Implikasi pada inflasi dikendalikan dengan memastikan aktifitas ekonomi harus berjalan stabil.
Sejak era reformasi, pencanangan program pemerintah demi stabilitas ekonomi anti-inflasi makin gencar. Ragam inovasi dari pembentukan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) pada tahun 2005 atau Pembentukan Kelompok Kerja Nasional (Pojoknas) sebagai penghubung TPI di pusat dan daerah pada tahun 2011.
Termasuk dukungan kebijakan perpajakan sebagai bentuk pemenuhan fungsi anggaran, regulasi, stabilitas, dan retribusi.Â
Lantas Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang telah mengalami beberapa revisi dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Langkah ini ditindaklanjuti dengan kebijakan hukum baru yang disahkan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan). Â
Ini wujud reformasi ekonomi di bidang perpajakan demi keadilan dan kepastian hukum dalam proses aktualisasi hak dan kewajiban perpajakan.
Kebijakan ini merupakan upaya pemerintah mencapai target penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam pemulihan ekonomi nasional, dan pengurangan ketimpangan.
Pertimbangannya tentu saja masih terkait volatilitas dunia yang tidak menentu dan soal perkembangan teknologi informasi yang merubah minat beli masyarakat Indonesia dengan dibuktikan adanya peningkatan transaksi lintas negara (cross border transaction) dan ekonomi digital (digital economy).
Kebijakan ini bertumpu pada bagaimana meningkatkan penerimaan pajak, namun tidak membebani kondisi masyarakat, khususnya kelas  bawah, pelaku usaha mikro, kecil, bahkan menengah.
Dampaknya terlihat pada stabilitas perekonomian untuk memperkecil laju inflasi jika diimplementasikan secara ideal. Pengendalian inflasi ini juga berfungsi sebagai kontrol daya beli masyarakat kelas bawah agar tetap terjaga.
Selain itu, dengan skema multitarif yang dicanangkan pemerintah atas dasar keadilan, rakyat menengah ke bawah akan semakin diuntungkan karena tarif PPN yang dikenakan akan lebih murah untuk komoditas yang dibutuhkan masyarakat.Â
Sedangkan tarif PPN untuk barang mewah disesuaikan atas dasar kebijakan yang berkeadilam dengan melakukan pengelompokan PPN yang proporsional sesuai dengan jenis barang tersebut.
Gagasan Inovatif Perpajakan
Gangguan yang masih mengkuatirkan, selain ancaman klasik korupsi, tentu saja ancaman geopolitik. Apa solusi yang bisa ditawarkan untuk sistem perpajakan yang lebih baik, demi  stabilitas ekonomi yang tahan guncangan?.
Pertama; Penggunaan Blockchain untuk Transparansi Pajak;Â Terkait pengumpulan dan pelaporan data perpajakan, penggunaan blockchain atau kecerdasan buatan (AI), memungkinkan semua transaksi dan catatan pajak dapat secara otomatis dicatat dan terverifikasi.Â
Analisis data lebih efektif bisa mengurangi praktik perpajakan jahat ala "Gayus", serta meningkatkan kepatuhan, dan optimalisasi penerimaan pajak negara. Â
Kedua; Pendekatan Pajak Berbasis Konsumsi yang lebih adil;Â Pajak konsumsi diterapkan pada barang dan jasa dengan tarif yang sama untuk semua individu, tanpa memperhitungkan tingkat pendapatan pajak, bukan pada pendapatan atau keuntungan.
Pendekatan ini dapat memberikan insentif untuk menabung dan berinvestasi. Kebijakan juga berfungsi mengurangi beban pajak pada sektor usaha, terutama bagi usaha kecil dan menengah, agar tetap memperoleh pendapatan yang cukup melalui pajak konsumsi.
Ketiga; Pajak Karbon untuk Keberlanjutan Lingkungan: sejak Perjanjian Paris (2015) yang diratifikasi 195 negara, penerapan pajak karbon menjadi solusi inovatif.
Pemberlakuan pajak ini sebagai upaya pemulihan lingkungan dengan menurunkan emisi karbon sesuai standar Nationally Determined Contribution (NDC)demi energy bersih dan mengurangi emisi gas rumah kaca.
Keempat; Pajak Berbasis Sumber Daya Alam: Pendekatan pajak progresif berbasis lingkungan untuk penguatan penerapan pajak yang lebih adil dan transparan pada industri ekstraktif.Â
Konsep ini melibatkan peningkatan pajak pada kegiatan yang berkontribusi pada degradasi lingkungan, sementara memberikan insentif dan pemotongan pajak bagi kegiatan yang ramah lingkungan.
Kelima; Pendekatan Pajak Berbasis Digital pada Perusahaan Teknologi;Â Perusahaan teknologi besar sering kali menghindari kewajiban perpajakan di negara-negara tempat mereka beroperasi.Â
Pemerintah dapat memperkenalkan pajak khusus untuk transaksi online, platform digital, dan perusahaan teknologi besar yang beroperasi di Indonesia.
Untuk memastikan perusahaan digital berkontribusi lebih adil kepada negara dan mendorong persaingan yang sehat di sektor ekonomi digital dan inovasi.
Keenam; Pemotongan Pajak untuk Inovasi dan R&D:Â Pemberian insentif fiskal yang signifikan untuk inovasi dan penelitian & pengembangan (R&D).Â
Pemerintah dapat menerapkan pemotongan pajak yang substansial bagi perusahaan yang berinvestasi dalam kegiatan inovatif dan R&D.Â
Ini akan mendorong pengembangan teknologi baru, peningkatan produktivitas, dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Kita masih butuh banyak gagasan inovatif untuk mengatasi banyak persoalan pajak demi stabilitas ekonomi.
Dari penggunaan teknologi baru hingga pendekatan pajak yang berbeda, Penerapkan gagasan-gagasan inovatif, memungkinan banyaknya pilihan mengatasi masalah-masalah yang kompleks, dan mendorong stabilitas ekonomi yang berkelanjutan, kokoh dan inklusif.Â
Tapi tentu saja kita tak boleh melupakan aspek keadilan sebagai faktor utama. Semoga!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI