Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Childfree, Sebuah Alternatif Hidup Bahagia dan Awet Muda?

9 Februari 2023   17:49 Diperbarui: 11 Februari 2023   18:05 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto-fasionbiz.co.kr

Dalam kekinian waktu, keputusan untuk menunda memiliki anak, bahkan memutuskan untuk tak memiliki anak menjadi sebuah fenomena yang tak asing. Rutinitas pekerjaan di dunia kosmopolitan yang sibuk, membuat banyak pasangan kesulitan beradaptasi dengan keinginan untuk memiliki anak.  

Solusi pilihannya jatuh pada childfree. Sekalipun mereka mampu. Ini sebuah dilema, karena yang disebut sebagai pilihan terbaikpun juga memiliki konsekuensi. Dahulu patron berpikir orang tua didasarkan pada sesuatu yang bersifat kodrati, dimana perempuan yang telah memiliki pasangan, artinya memiliki peluang untuk bisa memiliki keturunan.

Anak juga menjadi penerus bagi kelangsungan trah dari sebuah keluarga. Namun terlepas dari karunia yang telah ditentukan oleh Tuhan Maha Azali, setiap perempuan bisa ditakdirkan menjadi seorang ibu, namun juga mendapat cobaan, lama kemudian baru bisa mendapatkan anak seperti impiannya.  Atau lebih dari itu sama sekali tak pernah mendapatkannya, karena faktor genetik, penyakit, sesuatu yang diluar jangkauannya sebagai manusia.

sumber foto-infobae.com
sumber foto-infobae.com

Indonesia termasuk dalam negara pronatalis, yakni sangat percaya bahwa kehadiran anak adalah sebuah keharusan dalam pernikahan sebagai hadiah, ahli waris, dan penerus keturunan. Anak juga diyakini sebagai ikatan antara istri dan suami yang memungkinkan untuk meningkatkan kepuasan dan komitmen perkawinan.

Baca juga: Sebuah Ironi Negeri

Proceedings of the International Conference on Social and Islamic Studies 2021 berpendapat fenomena childfree bertolakbelakang dengan ajaran agama agar memperbanyak anak. Sebab, childfree berisi ajakan untuk tidak memiliki anak.

Sebagian yang pro berpandangan, jika secara kondisional lingkungan tidak memungkinkan memiliki keturunan, maka keputusan childfree adalah tepat. Begitu juga yang berkeyakinan jika tidak sanggup, atau tidak memiliki waktu dan komitmen memiliki anak, mengapa harus dipaksakan.

Dalam posisi tersebut, meski anak juga sebagai garis sebagai penerus trah, tapi juga dianggap penghambat dalam mewujudkan hidup lebih bebas tanpa tekanan. Termasuk karena faktor ketidakmampuan, secara psikologis, dan materi.

Tekanan dan Kodrat

sumber foto-fasionbiz.co.kr
sumber foto-fasionbiz.co.kr

Tak semua pasangan berpikir bahwa kehadiran bayi akan memberi kebahagiaan. Justru kebahagiaan itu diperoleh ketika tak ada tekanan, tak ada kekangan bergerak dalam wujud keberadaan anak. 

Termasuk untuk meluweskan gaya hidupnya tanpa komitmen. Artinya bahwa kehadiran anak-anak justru akan menghalangi kebebasannya.

Belum lagi tekanan-tekanan yang menganggu secara mentalitas. Demi Moore mengalami apa yang dikenal sebagai Baby blues syndrome atau sindrom baby blues yang meyebabkan perubahan suasana hati setelah kelahiran berupa perasaan cemas, yang biasanya muncul sementara waktu yaitu sekitar dua hari sampai tiga minggu sejak kelahiran.

Penyebabnya dari kadar hormon ibu yang berimbas pada suasana hati dan emosi yang mudah berubah, bahwa tanggung jawab keseharian ibu tidaklah mudah, terutama bagi yang baru pertama kali merawat anak.

Ini adalah sebuah fakta bahwa tak seluruh perempuan ternyata siap menjadi pemilik momongan yang notabene diperjuangkan dengan hidup mati,  untuk bisa mendapatkannya. Namun kehadiran justru menciptakan kecemasan dan kekuatiran tidak dapat merawatnya.

Di sisi lain kehidupan yang semakin sibuk menjadi salah satu pemicu mengapa pasangan modern memutuskan untuk tak memiliki bayi. 

Secara perspektif gender ini juga menjadi salah satu poin yang menjadi diskursus. Merea berpandangan bahwa perempuan juga merasa bisa mendapatkan hak-hak tersebut dengan memutuskan untuk memilih childfree dalam seluruh masa hidupnya. Keputusan yang barangkali tak bisa dianggap sebagai penyimpangan, apalagi dalam perspektif gender, karena pada dasarnya itu bukan melawan kodrat semata tapi hanya sebuah pilihan. Sebuah kesetaraan perempuan dan laki-laki.

Keputusan itu sesungguhnya menutupi banyak hal. Tentang ketidaksiapannya memiliki komitmen sebagai sosok ibu karena secara mentalitas memang tak menghendaki adanya tambahan tekanan tanggungjawab, selain tekanan kerja yang sedemikian luar biasa.

Sebagai pasangan, perempuan masa kini tak sepenuhnya menjadi penguasa wilayah domestik,  dapur, sumur dan kasus. Tekanan ekonomi dan sosial yang menguat dalam dunia modern, menyebabkan lahirnya keputusan-keputusan yang jauh diluar dari apa yang pernah kita bayangkan sebagai manusia "normal" yang sesungguhnya.

Sementara faktor religiusitas sudah jauh dilampui oleh para pasangan modern. Sebagian dari mereka justru meyakini agama sebagai pelengkap penderita, bukan lagi sebagai dogma yang harus dipegang teguh.

sumber foto-inspireland.ie
sumber foto-inspireland.ie

Sebagaimana digambarkan oleh Armand Avianti; rumah saja telah menjadi sebuah tempat transit

. Saat ini orang dipaksa keluar dari rumah, terpental-pental dari satu tempat ke tempat lain dengan cepat. Waktu-waktu menjadi denyut baru kehiduapn. Ruang-ruang jadi kabur. Kita tidak lagi tinggal di dalamnya, karena terus bergerak. Sesungguhnya kita telah lama jadi penghuni "waktu", sementara rumah telah menjelma sekedar menjadi sekadar "ruang transit". Rumah kehilangan batas definitifnya dan menjadi sangat elastis.

Kita punya ruang duduk di kafe-kafe berinternet, tidur di jalan-jalan dalam perjalanan pulang dan pergi ke kantor, menerima tamu di lobby-lobby hotel berbintang, makan malam direstoran-restoran yang berganti-ganti setiap kali. Dan kita hilang ingatan  tentang apa itu "rumah". Amnesia.

Setidaknya apa yang dikatakan Armand benar adanya, realitas saat ini telah bergeser jauh. Apa arti rumah pun juga merubah pandangan kita tentang apa arti keluarga.

Bayangkan jika kita memiliki anak ketika kita berada dalam situasi tersebut. Sesuatu yang absurd dan tidak mungkin, karena anak dapat menjadi kunci dan tali temali yang menghubungkan dunia luar kita dengan rumah. 

Anak-anak dapat membalik keadaan. Karena rumah menjadi ruang dimana anak-anak kita tinggal, menunggu kasih sayang orang tuanya, meskipun sehari-hari di bantu para baby sitter menjaganya. Tetap saja anak-anak  menjadi pengikat hubungan emosional kita.

Beban, Kekurangan Atau Pilihan?

sumber foto-DB Asia club
sumber foto-DB Asia club

Seseorang yang berpikir bahwa anak hanya menyusahkan dan menjadi beban bagi sebuah hubungan, sebenarnya sedang menutupi banyak hal. Tentang ketidakmampuan memilikinya, ketidakmampuan memiliki komitmen ketika memiliki anak dan berperan menjadi sosok ibu dengan tambahan tanggung jawab baru. 

Selain alasan masalah lingkungan, beberapa pasangan yang memutuskan untuk childfree, pada umumnya merasa tidak yakin akan kemampuannya dalam merawat maupun mengasuh anak. Sehingga hal tersebut pun menjadi suatu kekhawatiran bagi pasangan

Ada dua kasus yang saya rasakan langsung. Sebuah keluarga yang sudah puluhan tahun mengusahakan segala jenis teraphy, pengobatan dan poal hidup sehat untuk mendapatkan anak dengan harapan yang selalu dipenuhi suka cita dan semangat.

Namun disisi lain ada keluarga yang selalu berkomitmen bahwa anak hanya pembuat masalah dalam sebuah keluarga. Tanpa anak memungkinkan ia dapat mengambil keputusan apapun dan kapanku tanpa harus merasa terganggu. Namun dibalik keputusannya itu saya melihatnya sebagai sesuatu yang rapuh, dalam sosoknya sebagai seorang perempuan.

Menurutnya, anak-anak hanya "mainan" menyenangkan pada waktunya bermain, tapi akan menghabiskan waktu dan menyita seluruh perhatian jika harus dihadapkan pada kenyataan harus memilikinya sendiri dalam hidup mereka.

Childfree dan Problem Sosial Resesi Seks

sumber foto-detikcom
sumber foto-detikcom

Child free memiliki korelasi dengan apa yang sekarang ini menjadi fenomena baru tentang resesi seks. Dimana relasi-relasi hubungan untuk pemenuhan biologis manusia itu tak lagi didasarkan pada sebuah kebutuhan untuk mewariskan keturunan.  Tapi hanya sebuah kesenangan semata.

Maka tujuan-tujuan dari pemenuhan hasrat biologis itu hanya berakhir pada pemenuhan hasrat semata. Dampaknya, seperti apa yang terjadi di Korea, Jepang,  dan banyak tempat didunia, pertambahan jumlah pendudukan mengalami penurunan yang signifikan.

Apakah ini positif, bisa jadi ia dari kacamata program pengendalian jumlah penduduk. Intinya bahwa semakin besar natalitas juga akan berdampak pada kepemenuhan suber daya lainnya. Ini berkonsekuensi pada banyak hal seperti kebutuhan pangan, sandang dan masalah sosek lainnnya yang harus dihadapi oleh penduduk bumi lainnya.

Namun dari sisi pewarisan keturunan, hal ini menjadi persoalan tersendiri. Bagaiman jika bibit-bibit unggul pada sebuah ras akhirnya punah tanpa meninggalkan bibit pewaris trah. Demikian juga asal usul suatu bangsa punah karena ketiadaan pewarisan garis keturunan aslinya.

Namun barangkali itu terlalu jauh perspektifnya, secara psikologi sosial, model masyarakat yang tidak memiliki ikatan emosional dalam wujud keluarga, memiliki kerentanan sosial yang tinggi. Kemunculan kasus-kasus yang dibangkitkan karena sebab emosional, bukan menjadi sesuatu yang langka terjadi. 

Maka di Korea dikenal dengan fenomena "Kematian Sunyi", lonely death atai Godoksa. yang dialami ribuan orang setiap tahunnya. Meninggal dalam kesendirian tanpa kelurga. Tekanan kesendirian itu sudah mereka alami sedari awal sejak mereka tak lagi memiliki keluarga yang bisa merawatnya diusia tua. Bagaimana jika fenomena childfree sudah menggejala?. Bukan tidak mungkin fenomena sosial lain akan muncul.

Ketika sebuah pasangan kembali kerumah, hanya menemukan diri mereka sndiri dengan segala kejenuhan kerja tanpa variasi kecuali kesenangan hubungan biologis atas ego sendiri. Menjadikan hidup tak memiliki warna yang lain, yang ideal layaknya keluarga yang memiliki anak-anak atau ikatan hubungan dengan keluarga lainnya.

Dalam buku Mengapa seks itu asyik, Jared diamond profesor fisiologi UCLA mengatakan;

Bahwa sikap manusia terhadap perilaku seksualitasnya memang penuh dengan teka-teki. Bahkan ketika bisa memiliki anak, tapi tak mengusahakan bisa memilikinya. Manusia memang semakin aneh, apalagi ketika memutuskan child free sebagai sebuah pilihan untuk menutupi banyak kekurangannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun