Kedua; Bagaimana dengan visi dan impian. Apakah pasangan dapat mengimbangi kita dalam urusan dua macam itu. Bagaimana rencananya dalam lima tahun kedepan setelah perkawinan, apakah linier dengan harapan dan impian kita?. Ini bisa dibicarakan, tapi juga tidak sederhana.Â
Persoalan keterikatannya dengan keluarga yang susah diputus, keinginannya untuk tidak jauh dari orang tua-bisa terjadi pada kedua pasangan. Adalah problem besar pada akhirnya ketika pernikahan sudah terlaksana.
Ketiga; Bagaimana tentang anak. Ada keluarga yang menggunakan kehadiran anak, menjadi syarat utama dalam pernikaha sebuah pasangan. Bagaimana jika pasangan kita orang yang tidak pernah siap memiliki anak atau bahkan berkomitmen ketika menikah tidak akan pernah mau punya anak. Entah sebab trauma atau lainnya.
Keempat; Bagaimana tentang uang. Â Bisa jadi cinta akan membutakan mata hati, sehingga pasangan tanpa kesiapan ekonomi, dianggap sebagai bukan persoalan, jalani saja seiring pernikahan itu berjalan.Â
Pada akhirnya hidup pernikahan tidak cukup hanya dengan cinta, butuh makan, tempat tinggal dan keberlangsungan hidup, apalagi dengan tambahan anak-anak.
Bagaimanapaun PMT ini kunci yang cukup ampuh untuk memulai sebuah bidup, semuanya perlu dibicarakan agar ada titik temu. Karena cinta pada akhirnya tak cukup untuk membuat biduk rumah tangga berjalan normal. Kehidupan berubah, tantangan berubah dan hati manusia bisa terbolak balik. Masih ingat kan dengan "Layangan Putus?".
Semuanya bisa menjadi pemicu KDRT, maka sedari awal jalani, namun juga sadari, apakah kita berada dalam "toxic relationship"?. Perlukah sedari awal kita mendiskusikan PMT?.Â
Bukan persoalan percaya atau tidak percaya, bahwa roda kehidupan punya jalannya sendiri dan semuanya bisa berubah. How knows?.
Artikel ini untuk Kompasiana dalam rangka:
event komunitas KPB
Say no to KDRT
Bulan Kasih Sayang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H