Beribu guru telah lama lahir, berjuang, terluka, berurai air mata darah menyusuri sungai, lembah, ngarai dan jurang negeri ini. Mereka tersembunyi jauh di relung antah berantah tapi masih di negeri yang sama.
Sungai-sungai telah menjadi teman baiknya. Hujan memberi mereka curahan air, kasih sayang  juga kesedihan. Tapi perjalanan masih panjang dan belum waktunya untuk berhenti.
Ada bocah-bocah kecil bertelanjang kaki yang menunggu-nunggu datangnya. Ketika hujan turun membenam rerumputan kering, kaki-kaki guru itu tak berhenti melangkah. Berlari sesekali, berharap waktu akan membuatnya berubah.
Senyum bocah-bocah merekah, ketika di kejauhan diantara rintik dan deras hujan, wajah basah, lepas tertawa. Akhirnya sampai juga pada rumah sokola yang dirindunya.
Kaki-kaki itu sudah jauh melangkah, sepanjang negeri ini, meniti waktu, mengubah nasib memberi harapan meski hanya noktah. Mereka mengajari negerinya membaca.
Pendar matahari itu bukan di langit sana, tapi ada dimata mereka. Anak-anak tanpa alas kaki, para pemilik negeri ini.
Lihatlah senyum itu, apa artinya menurutmu. Seperti senyum dari negeri yang jauh, tapi masih negeri ini juga. Mereka anak-anak kita, mungkin memang tak beruntung, karena negeri ini mungkin lupa padanya.
Ada mereka direlung yang jauh, tertutup rimbunan daun belantara, terdayung jauh lepas di pulau dibalik samudera. Dibalik ngarai, di relung jurang, diantara akar-akar rotan yang menjuntai yang digapai dan membawanya ke seberang. Tapi mereka ada, dan mereka anak negeri ini juga.
Lihat lagi senyumnya, menurutmu apa artinya. Apa ia bukan anak negeri ini?. Atau kita yang tak pernah tahu mereka ada. Tapi jauh direlung paling dalam belantara, ada guru-guru berhati terbuat dari baja. Mereka kuat menghadapi segala.
Angin, badai, petir, sungai, hujan, lumpur sahabat baik mereka. Mereka ada untuk anak-anak negeri ini yang kita pikir tak pernah ada.
Kakinya telah jauh melampui batas inginnya. Ia hanya punya bekal hati seputih kapas. Karena mereka ingin punya sekolah, mereka ingin tahu seluas apa negerinya. Mereka tinggal di petak-petak rumah jerami, tapi mereka ingin tahu tanah airnya sendiri. Hati putih itulah suluh cahayanya.
Bisakah kita tahu apa arti senyum mereka, di balik kertas-kertas kusam, pinsil tumpul yang diserut belati. Mereka masih punya asa karena mereka tahu masih punya negeri ini.
Mereka pernah bertanya, seluas apa langit negeri ini, seluas apa laut kita, seluas apa mimpi yang pernah kita punya. Bisakah suatu ketika aku melihatnya?.
Air mata guru-guru itu bukan jawaban atas rindu-rindu tanya mereka, tapi hari-hari menelusuri ngarai, hutan, jurang yang belum hendak berhenti itu jawabnya. Mereka harus tahu bagaimana negeri mereka. Tak hanya ada di awan gelap tanya mereka.
Langkah kaki ini sedang membawa mereka. Menuju sisi-sisi negeri yang selalu mereka tanya. Anak-anak bertelanjang dada itu anak negeri ini. anak-anak bertelanjang kaki juga sama. Sumpit, panah, tombak mainan mereka bukan berarti mereka tak punya rasa. Mereka anak-anak negeri ini yang selalu bertanya. Apa mereka diluar sana tahu, kita ada?.
darussalam, 4 februari 2023, 23.32 wib
referensi; Â
Mimpi Butet Manurung untuk Masyarakat Adat di Indonesia
Kisah Pilu Guru Honorer Dibayar Rp100.000 Per Bulan, Keluar Masuk Hutan demi Mengajar
Sempat Viral di Media Sosial, 8 Guru Muda Ini Menyimpan Cerita Inspiratif
Guru asal Tegal mengabdi di pedalaman Papua
Kisah Guru 7 Jam Jalan Kaki Gendong Kulkas Lewati Hutan, Demi Kebutuhan Siswa di Daerah Terpencil
Guru Ebib Susur Hutan Rimba demi Entaskan Buta Calistung
Meski Hujan di Tengah Hutan, Para Pelajar Tetap Semangat Mengikuti Ujian ANBK
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H