Seiring dengan bergulirnya wacana unik permintaan dari Kemendagri agar Aparat Penegak Hukum (APH) tidak mendekati para kepala daerah mengisyaratkan adanya "sesuatu" yang ditutup-tutupi agar beritanya tidak menyebar kemana-mana.Â
Indikasi ini secara tidak langsung ditunjukkan oleh para kepala daerah yang mengadu kepada Kemendagri bahwa mereka tidak dapat mengeksekusi program karena belum apa-apa sudah "diintai" oleh APH.
Bahkan dengan dalih itu mereka beralasan sebagai sebab pembangunan di daerah tidak dapat dilaksanakan tak lebih dari 60 persen. "Terlalu banyak gangguan" dari aparat pemeriksaan.Â
Katanya pula ini kemudian berdampak luas kepada pembangunan dan kesejahteraan masyarakat karena pembangunan macet dan berpengaruh pada pencapaian.
Apa logika yang sebenarnya dipakai oleh para kepala daerah kita, mengapa justru ketika diawasi mereka justru tidak bisa bekerja. Apakah mereka sedang merencanakan sesuatu yang tidak boleh diketahui orang lain?
Apakah mereka sudah bisa memastikan bahwa apa yang sedang mereka kerjakan pasti akan ada masalah? Atau jangan-jangan mereka tak paham apa yang sedang mereka kerjakan?
Jika asumsinya demikian, mengapa justru tidak dilakukan sebaliknya, meminta agar APH lebih intensif mengawasi kerja-kerja mereka sehingga kesalahan kecil saja dapat terdeteksi.Â
Dalam admnistrasi keuangan jika problemnya bukan kesalahan tehnis, pastilah telah terjadi kecurangan atau tindak kejahatan "fraud".
Faktanya, yang terjadi seperti disampaikan Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana soal fenomena kasus korupsi politik di Indonesia. Sejak 2004 hingga 2022 setidaknya ada 178 kepala daerah diproses hukum oleh KPK.
Bagaimana dengan Para Kepala Desa?
Apa yang terjadi dengan kepala desa juga mengalami persoalan yang sama. Bahwa dengan alasan masa kerja 6 tahun yang dibebani dengan "pemotongan" untuk pilkades menyebabkan kerja mereka teramputasi dan tidak efektif menjalankan program dalam masa sisa jabatan yang ada.
Dengan alasan itu pula mereka menjelaskan bahwa program pembangunan tidak dapat berjalan efektif. Mereka juga meminta kebijakan baru terkait dana desa agar pengelolaannya tidak dibatasi, sehingga mereka dapat bekerja dan bergerak lebih lincah dalam mengelola dana pembangunan desa tersebut.
Selain membuat ruang baru bagi sebuah oligarki desa memegang jabatan penyelenggara pemerintahan di desa lebih lama, dengan kekuatiran terjadinya korupsi juga makin besar. Hingga saat ini saja sudah tercatat 686 Kades yang menjadi tersangka korupsi.
Jika mau berbesar hati, semestinya kepala desa juga harus rela diaudit dulu seluruhnya untuk memastikan bahwa selama ini kerja-kerja mereka selama 6 tahun telah sesuai dengan tupoksi, telah sesuai dengan visi misi dan sesuai dengan perencanaan pembangunan desa dengan menggunakan dana desa.