Makin tua usia demokrasi, ternyata politik kita justru makin prematur. Demokrasi prosedural makin menjadi "barang" langka.Â
Kemarin media menampilkan adegan yang tak biasa, jokowi tertawa masam, dalam acara PDIP, Puan bermuka masam meski sedang berbaik hati membagi kaos partai. Atau Surya Paloh juga tak disalami jokowi saat bertemu muka. Ganjar yang kebingungan ketika pertunjukkan rousting petinggi partainya. Belum lagi Megawati yang tak pernah selesai "move on-nya" dari SBY sejak 2004.
Politik memang punya wajah sendiri yang tipikal dan mewakili semacam stereotip wajah para politikus. Bersaing, dalam arti yang sesungguhnya. Kita beda, maka kita ada!
Tapi ada kalanya juga terjadi sebaliknya, bersaing hingga berdarah-darah saat pemilu, tapi karena syahwat kuasa yang lebih didepan dibanding nurani dan rakyat, maka sudah menjadi kelaziman jika yang bertarung kemudian mengkonsolidasikan diri, dalam apa yang disebut dengan sinergi politik para elite.Â
Membangun koalisi, melakukan dagang sapi, politik kekerabatan. Bahkan para elite tak sadar ketika ribuan orang yang ikut berdarah-darah karena politik kebingungan dengan pilihan sikap politik para elite mereka yang didukungnya.
Padahal, di daerah-daerah yang kental persaingan politiknya, Â ada keluarga yang ribut hingga cerai karena suami-istri beda pilihan parpol. Ada kuburan yang harus dibongkar karena pemilik tanah tak separtai-sehaluan. Bahkan ada yang menarik sumbangannya untuk rumah ibadah, karena jamaah di kampungnya disinyalir jadi sebab kekalahan si politikus instan yang mencari jabatan. Dan sederet cerita lain yang aneh dan absurd.
Maka kita kemudian dikenalkan dengan gastrodiplomacy, ketika nasi goreng menjadi simbol dan penanda politik, karena untuk meng-eufimisme politik yang keras harus dilembutkan, misalnya dengan simbol sepiring"nasi goreng", "sejam di kereta api" atau "berkuda di Cikeas yang asri dan sejuk".
Menanti Bayi-Bayi PolitikÂ
Meski pilpres baru digelar di akhir tahun 2024, tapi kompor politik yang tadinya memakai sumbu, kini beralih ke kompor gas. Politik makin panas.Â
Apalagi kabar terbaru "bayi capres" yang lahir dari ibu "nasdem" ternyata baik-baik saja bahkan "para orang tua" sudah mengakui statusnya. Padahal pengamat politik menyebutnya melalui proses kelahiran"aborsi politik", karena dilahirkan begitu tiba-tiba tak menunggu aba-aba. Bahkan sempat membuat gaduh "ibu-ibu " lainnya yang belum jelas bayi mana yang mau dilahirkannya.
Dukungan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) resmi membuat Anies Rasyid Baswedan punya tiket mendaftar sebagai calon presiden (capres) 2024. Sebab Anies sudah mendapatkan dukungan dari Partai Nasdem, Demokrat, dan PKS.
Peroleh suara dukungan Anies, totalnya sudah melebihi syarat pencapresan dengan jumlah kursi 20 persen di DPR.Â
Nasdem menyumbang 59 kursi (10,26 persen), Demokrat 54 kursi (9,39 persen), dan PKS 50 kursi (8,70 persen) berarti kini Anies mengamankan 28,35 persen.
Kini giliran para ibu-ibu lainya yang ketar-ketir memikirkan apakah "bayinya" juga akan lahir selamat?. palagi jika sebenarnya "bayinya prematur" tapi tak bisa lagi dilahirkan secara bedah sesar (caesar) alias cesarean section, caesarean delivery, atau C-section atau seksio sesarea.
Proses mengeluarkan "bayi politik" dari perut ibu (laparatomi) dan rahim (histerotomi) untuk jadi capres atau cawapres dalam pilpres 2024 mendatang harus cepat, agar publik tahu dan tidak penasaran.
Apalagi PDIP yang ngotot ingin "bayi perempuan" padahal masih prematur untuk persalinanya, sedangkan bayi kembarannya yang laki-laki justru "lebih sehat" dan anehnya tidak prematur. Jangan bawa-bawa patriarkis dalam soal ini. Barangkali ini hanya karena soal "bayinya lebih berbobot" karena ukuran beda "kualitas gizi politiknya". Â
Waktu semakin mendesak, tapi PDIP masih memaksa harus menunggu hingga Juni 2023 untuk proses kelahirannya, karena ada hari bersejarah disana. Bayi terpaksa menunggu demi hari penting itu agar kelahirannya bisa dirayakan, dan semua orang tahu siapa bayi itu sebenarnya. Apakah Ganjar atau Puan.Â
Sementara ibu lainnya, Golkar dan PDIP (versi Jokowi)-karena setelah Nasdem, PKS dan Demokrat punya bayi, tinggalah Golkar, Gerindra dan PDIP yang ditunggu-tunggu bayinya. Â Bisa jadi Gerindra masih harus kesulitan menentukan kapan bayinya harus dilahirkan.Â
Ibarat Distosia. gangguan persalinan, yang menyebabkan ibu sulit melahirkan. Jika seorang ibu mengalami distosia, waktu persalinannya akan panjang dan bahkan, bahkan jika tak hati-hati tidak akan mengalami kemajuan sama sekali. Sementara "orang tua" lainnya-adalah orang tua pendukung yang bisa mengikut siapa saja sesuai deal dan kata sepakat.
Publik yang Penasaran
Di sebalik itu kita semua ternyata juga penasaran menunggu kelahiran "bayi capres dan cawapres" tapi disuguhi bermacam pola gesture, dagelan, bahkan aksi pesta dukung mendukung yang ditujukan kepada para bayi-bayi capres-cawapres itu.Â
Bahkan ada yang menduga akan ada "Balita" yang juga ingin bergabung dengan bayi prematur, dan bayi lainnya. Meski ada syarat yang harus dipenuhi. Inilah mengapa para tamu kemarin hadir ke Senayan memberi dukungan.
Maka yang terlihat sekarang wajah politiknya bermacam-macam, ada yang gembira karena punya bayi, ada yang bingung karena menunggu kelahiran, dan ada yang masih cari pasangan siapa tahu bisa punya bayi seperti orang tua lainnya. Bahkan ada yang menyodorkan Balita.Â
Mengapa setiap orang ingin punya bayi, karena ini ambisi meneruskan trah politik, agar kekuasaan tidak vakum. Bahkan demi itu semua para orang tua bersaing!. Maka lihat saja wajah-wajah mereka sekarang, boleh-boleh saja mereka saling bertegur sapa, menimpali apapun kata orang lain, tapi dibalik senyum dan ketawa-ketiwi mereka, ada "hati" lain yang bicara. Cemas terlalu rigid perhitungannya.
Itulah mengapa kita tak pernah tahu, apa suara hati yang sebenarnya. Jadi, sebaiknya kita tunggu saja waktunya, setelah Anies, apakah akan ada Puan, Ganjar, Prabowo, atau Bahkan Jokowi. Why not!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H