Asumsi dari dikawinkannya anak berusia di bawah 18 tahun itu adalah karena mereka dianggap sudah mampu melakukan tugas dan peran sebagaimana layaknya orang dewasa. Salah satunya adalah bereproduksi.
Oleh sebab itu, tindak pidana yang tergolong serius dilakukan oleh ABH seperti pemerkosaan dan pembunuhan berencana, seharusnya tidak layak diberikan diversi. Perbuatan-perbuatan demikian bukan lagi disebut "kenakalan anak".Â
Kenakalan anak adalah bentuk-bentuk pelanggaran yang masih bisa ditoleransi oleh masyarakat, bukan kejahatan yang meresahkan seperti pemerkosaan dan pembunuhan berencana.
Dengan melihat semakin banyaknya jenis kejahatan yang serius dan meresahkan yang dilakukan oleh anak di bawah 18 tahun, tampaknya praktik sistem peradilan pidana anak perlu ditinjau kembali.
Tidak hanya berdasar pada ukuran semata-mata batasan usia. Terutama berkaitan dengan keputusan untuk memberikan perlakuan khusus seperti diversi, keringanan, dan pengurangan hukuman.
Ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak mungkin dapat dijadikan dasar pertimbangannya . Diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan : (a) diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tahun); (b) bukan merupakan pengulangan tindak pidana.Â
Hal ini dimaksudkan agar dalam pemberian keadilan restoratif yang diterapkan oleh sistem peradilan pidana anak menjadi sangat naif apabila hanya dialihkan melalui pemberian fasilitas diversi, keringanan, dan pengurangan hukuman. Padahal tindakan para pelaku sudah tergolong serius dan meresahkan masyarakat.
Ini juga menjadi suara publik yang selama ini menganggap tidak adanya keadilan dalam menyelesaikan kasus yang dianggap bukan lagi sebuah kenakalan remaja biasa, tapi sebuah kejahatan yang serius!. namun tetap harus berpegang pada azas yang mendasari pelaksanaan hukum peradilan pidana anak yang sudah ada selama ini.
Tindakan Preventif Orang Tua
Banyaknya tindak kejahatan yang dilakukan anak-anak selain disebabkan oleh masih labilnya perilaku karena masih dalam perkembangan yang menyerap begitu banyak informasi tanpa tersaring, juga ketidaktahuan konsekuensinya secara hukum.
Pendidikan yang dilakukan oleh orang tua terutama pendidikan moral dan agama, menjadi punya peran penting dalam mengontrol perilaku anak. Apalagi dalam situasi dan kondisi ketika penggunaan gawai sudah menjadi begitu permisif.
Teknologi menawarkan dua kemungkinan baik dan buruk seperti dua mata pisau. Sangat tergantung pada bagaimana penggunanya memahami sebab akibat penggunaan informasi dalam teknologi yang mereka gunakan.
Sekolah juga menjadi ruang yang berperan penting, karena sekolah adalah rumah kedua bagi anak-anak. Penyebaran informasi tentang berbagai konsekuensi dari perilaku tindak kejahatan agar dipahami oleh anak-anak secara umum menjadi kebutuhan yang semakin krusial saat ini.
Apalagi dengan semakin maraknya tindak kejahatan yang pelakunya justru anak-anak sekolah, bahkan dari jenjang sekolah dasar.
Peninjauan kembali persoalan hukum terkait juvenile delequency, kaitannya bukan pada bagaimana memberi hukuman seberat-beratnya pada pelaku tindakan kejahatan kanak-kanak, namun mencari solusi terbaik untuk terpenuhinya keadilan dan penanganan hukuman bagi anak-anak agar tidak justru memuat anak-anak menjadi "penjahat sebenarnya" atau menjadi residivis.
Ruang penjara menjadi ruang rehabilitasi yang sebenarnya, menumbuhkan kembali kesadaran secara mental spiritual. Agar ketika mereka keluar dari "ruang rehabilitasi" tersebut dapat menjadi pribadi yang lebih baik.