Misalnya bagi para pelaku kejahatan pembunuhan  menurut Pasal 338 KUHP, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Sedangkan bagi pelaku pembunuhan berencana akan dipidana dengan hukuman minimal 20 tahun, seumur hidup atau hukuman mati.
Namun karena pelaku masih belum berusia 18 tahun maka hukumannya diatur dalam Pasal 2 No. 4 Tahun 2014, bahwa diversi diberlakukan terhadap anak yang telah berumur 12 (tahun) tetapi belum berumur 18 (tahun) atau telah berumur 12 (tahun) meskipun pernah kawin tetapi belum berumur 18 (tahun).
Proses eksekusi hukuman dalam bentuk diversi juga merujuk pada aturan dalam Pasal 8 ayat (3) UU SPPA proses yang dilakukan wajib memperhatikan: Kepentingan korban; Kesejahteraan dan  tanggung jawab Anak; Penghindaran stigma negatif;Menghindari pembalasan;Keharmonisan masyarakat; dan Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Jika anak-anak diperlakukan dengan hukum positif biasa, maka berbagai dampak buruk akan terjadi. Penempatan anak-anak bersama tahanan lain yang lebih dewasa umurnya dapat menimbulkan banyak jenis kejahatan. Dari kekerasan, eksploitasi seks, hingga pembelajaran yang buruk.
Mekanisme penghukuman pada akhirnya justru bukan menjadi sarana perbaikan, tapi menjadikan anak-anak sebagai penjahat yang lebih berbahaya.
Bukan tidak mungkin sekeluar dari penjara justru akan menjadi residivis, keluar masuk penjara karena kejahatan yang sama atau justru dengan eskalasi jenis kejahatan yang lebih tinggi tingkatannya.
Pertimbangan-pertimbangan bahwa anak-anak adalah orang yang belum dewasa, di bawah umur,  dan berada di bawah pengawasan wali. Hal  inilah yang mendasari mengapa perlakuan anak-anak pelaku tindak pidana kejahatan tidak mendapatkan hukuman layaknya para pelaku dewasa.
Kaji Ulang Beleid Pidana Anak?
Satu hal yang menarik adalah bahwa ternyata hukum nasional kita tidak memberi penegasan tentang apa saja jenis-jenis tindak pidana anak itu. Semua jenis tindak pidana yang dilakukan oleh anak, digolongkan sebagai tindak pidana anak.
Padahal, ada istilah juvenile delequency, yang umum diterjemahkan sebagai  kenakalan remaja. Namun, karena terminologi "remaja" sepertinya tidak digunakan dalam hukum positif kita, maka konsep juvenile delequency dialihbahasakan menjadi kenakalan anak.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menggunakan istilah "anak yang berkonflik dengan hukum"(ABH). Pasal 1 butir 3 dari undang-undang ini menyatakan, "Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.Â
Jadi, umur 12 tahun sampai dengan 18 tahun inilah yang sebenarnya masuk dalam kategori remaja (juvenile).
Jika dilihat dari rentang umur tersebut, maka Anak yang Berkonflik dengan Hukum ( ABH) ini sudah dapat melakukan tindak pidana umum yang tergolong serius di mata masyarakat, seperti pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan, dan penipuan.
Apakah terhadap ABH yang melakukan kejahatan seperti pemerkosaan dan pembunuhan layak mendapakan perlakuan khusus seperti diversi yang diamanatkan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak?, yang berujung pada penerapan sanksi yang lebih ringan terhadap pelaku.
Bagaimana jika pelakunya berusia di bawah 18 tahun, namun telah menikah?. Bukankah statusnya telah berubah bukan lagi berpredikat sebagai anak. Untuk dapat kawin, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menetapkan batas usia terendah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki, kendati di masyarakat batas usia ini seringkali juga dilanggar.