"Kekuasaan seorang Presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanya kekuasaan rakyat. Dan di atas segalanya adalah Kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa." --Ir.SoekarnoÂ
Materi Sinau Politik Can Nun yang paling menarik dan relevan dengan situasi termutakhir paska turunnya ribuan kades ke Senayan adalah, Sinau Bareng "Kebangsaan dan Kenegarawanan" di Masjid At Taufiq Lenteng Agung Jakarta bareng PDIP April 2022.
Cak Nun bilang, bila sebuah organisasi politik sebesar dan semapan PDIP membutuhkan pemikiran baru akan peran dirinya di masa mendatang, maka kiranya yang paling pas dan relate adalah bahwa saatnya kini PDIP sudah bukan Perjuangan lagi tetapi Pengayoman.
Dalam pandangan Cak Nun, PDIP sudah jaya, sudah lega hatinya, dan sudah menang berkali-kali sebagai partai politik. Fase membangun dan memperjuangkan eksistensi diri boleh dikata sudah terlewati, dan sekarang saatnya menjawab: what's next?". Â Menurut Cak Nun, jawabannya adalah pengayoman. Semua rakyat Indonesia diayomi oleh PDIPÂ .
"PDIP sudah sampai pada puncak kewajiban untuk rububiyah, untuk mengayomi semua yang lain. Jadi wis ojo petita-petiti neh. Ojo nantang-nantang neh kepada siapa saja karena sudah pasti menang. Nah, sekarang saatnya mengayomi."
Meskipun harus bertarung kembali dalam Pilpres 2024 dengan dua kandidat capres kuat--Ganjar dan Puan, tetap harus berada dalam lintasan politik, menjaga demokrasi prosedural.
Makna Kades Bagi Politik
Apa konteks materi sinau kebangsaan dan kenegarawanan kita dengan kehadiran ribuan para kades dari seluruh Indonesia yang meminta perpanjangan masa jabatan dari 6 tahun menjadi 9 tahun, tanpa periodesasi?.
Ada tali temali yang panjang membentang antara permohonan para kades sebagai pemegang kekuatan hirarki pemerintahan paling bawah di desa dengan polah tingkah politik elite di atas yang sedang bersiap "ngelus jago" tapi belum ketahuan jago mana yang mau dielus dan ditarungkan.
Ini politik tingkat tinggi para elite, tapi mau tak mau harus menggunakan "jasa"para kades untuk keberhasilannya. Bagaimana bisa?. Jika menggunakan "tangan"lain, apalagi sampai harus didahului revisi UU maka akan menjadi kekonyolan dan blunder politik.
Dengan memilih para kades "cerdas" jaman now, kompensasinyapun jadi sangat gampang. Siapa saja yang sudah bersedia hadir ke Jakarta memenuhi undangan, secara otomatis akan mendapat "doorprize" tambahan masa jabatan selama 3 tahun kedepan.
Dan untuk periode 9 tahun berikutnya, ia harus berjuang sendiri. Paling tidak waktu 3 tahun itu menjadi ancang-ancang bersiap untuk 9 tahun jabatan berikutnya, atau 27 tahun jika kuat 3 periode. Nah, inilah awal mula bibit oligarki tingkat desa ditanam benih-benihnya.
Maka konstelasi politik di desa dengan cepat akan berubah. Para incumbent kepala desa memiliki peluang yang lebih besar karena sedang berkuasa. Dengan kuasa politik yang sudah dibangunnya, kades incumbent hanya tinggal memanfaatkan jaringannya untuk membangun ulang kekuasaannya. Baik diperangkat desa, para RT/RW, dan masyarakat yang mendukungnya.
Termasuk akses langsung dalam perumusan kebijakan di desa, dan penggunaan anggaran desa yang bisa di salah gunakan. Sementara para rivalnya harus memulai semuanya dari awal, membangun elektabilitas, mengumpulkan masa, berkampanye dan mengikuti "ritual" pilkades lainnya.
Bagaimana mekanisme kerjanya secara politis?. Tuntutan kenaikan masa jabatan para kades, selanjutnya akan ditindaklanjuti dengan revisi UU, termasuk untuk para pejabat-pejabat lainnya untuk menyesuaiakan dan mengakomodir pejabat pemerintahan lain di atasnya. Maka selanjutnya giliran Camat, Bupati, Gubernur, DPR dan Presiden akan mendapat peluang yang sama sebagai efek domino dari kebijakan para kades tersebut.
Jika permohonan tersebut cepat direspons oleh DPR, secepat presiden menyetujui, plus adanya upaya untuk menunda pelaksanaan pemilu, bukan tidak mungkin konstelasi politik Pilpres 2024 berubah 180 derajat dan semua menjadi tak terduga. Bukan tidak mungkin muncul nama-nama capres baru.
Realitasnya membuktikan gayung bersambut dari parlemen dan istana. Dari parlemen, Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, menerangkan bahwa Komisi II mendukung penuh revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Komisi II juga telah mengusulkan revisi UU tersebut untuk masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI Periode 2019-2024 (Antara, 17/1 2023).
Fakta berikutnya adalah kemungkinan disetujuinya perpanjangan masa jabatan presiden sebagai efek domino dari kenaikan jabatan para kades. Meskipun ini baru sebuah rangkaian premis, namun sangat realistis dapat diimplementasikan. Tentu kita semua dapat menebak kemana arah perubahan politik tersebut terhadap Pilpres 2024.
Dan dalam situasi ini, yang diuntungkan secara politik adalah partai "pengayom" yang telah disebutkan Cak Nun dalam Sinau Kebangsaan dan Kenegarawanan itu. Bukan sebuah kebetulan belaka jika Presiden adalah salah satu kader terbaiknya.
Dan ini menjadi persoalan politik yang serius, karena para kades sampai menyuarakan ancaman, "Suara parpol di Pemilu 2024 nanti yang tidak mendukung masa jabatan Kades jadi 9 tahun akan kami habisi," seperti disuarakan oleh perwakilan para kades dari Pulau Madura, Jawa timur.
Jika dilihat dari rangakaian politiknya yang sangat kuat, ancaman ini bukan sekedar gertak sambal. Akan ada parpol kuat yang bersedia berdiri di belakang barisan para kades.
Bagaimana dengan Demokrasi?
Tentu saja tuntutan perpanjangan masa jabatan kades menjadi 9 tahun bisa mencederai pembelajaran politik regenerasi kepemimpinan kita. Padahal demokrasi prosedural sudah mulai terlihat berjalan baik setelah dibenahi Pasca Reformasi 1998. Realitas ini seperti menduplikasi era Orde baru (Orba), ingin memegang jabatan seumur hidup.
Situasi ini juga memberi ruang bagi sebuah oligarki desa memegang jabatan penyelenggara pemerintahan di desa lebih lama, tapi makin rentan tindak korupsi. Hingga saat ini saja sudah tercatat 686 Kades yang menjadi tersangka korupsi.
Dengan aturan pemerintah Desa sebelumnya sesuai pasal 39 UU No.6 Tahun 2014 yang menyebutkan seorang Kades bisa mengikuti Pilkades tiga periode berturut-turut atau tidak berturut-turut. Maka dengan perpanjangan masa jabatan barunya seorang Kades bisa menjabat sampai 27 tahun. Fantastis bukan?.
Alasannya , perpanjangan itu menjadi dasar mengurangi persaingan politik tensi tinggi antarkandidat setelah pilkades. Waktu 6 tahun dirasa kurang untuk meredam tensi tersebut. Tentu saja alasan ini sangat mengada-ada.
Bukankah banyak alternatif lain yang dapat dipilih. Seperti memperbaiki sistem pilkadesnya, atau aturan mainnya. Seperti mengusir tikus dari lumbung, tak selalu harus membakar lumbungnya?.
Apa Untung Ruginya?
Perpanjangan masa jabatan kades berdampak pada regenerasi kepemimpinan yang berjalan lambat dan merusak pola demokrasi. Keuntungan sepihak hanya berdampak pada pemegang kekuasaan. Kekuasaan yang terlalu lama juga berkecendrungan absolut dan rentan korupsi.
Persoalan dana juga menjadi sumber bancakan yang pasti akan diributkan, apalagi saat ini dana bantuan desa sebesar 1 milyar pertahun perdesa. Dan selama 9 tahun atau 27 tahun jika dimenangkan oleh incumbent yang sama, Â jumlah dana yang akan dikelola berarti kurang lebih 27 Milyar. Cukup untuk membangun kekuatan baru "dinasty" berikutnya. Siapa yang rela kehilangan uang besar?.
Idealnya, apa yang ada saat ini sebenarnya sudah mewakili prosedur membangun pemerintahan yang baik. Selain regenerasi dapat berjalan normal, pergantian pucuk pimpinan desa yang cepat juga memberi warna perpolitikan yang dinamis dalam pemerintahan desa. Jangan ajarkan politik kotor kepada wong deso.
Realitas yang terjadi selama ini saja, dengan periode masa jabatan 6 tahun, faktor "nepotisme dan kolusi" sudah berjalan. Perangkat desa yang bekerja dalam struktur organisasi pemerintahan desa, satu paket dengan kades, umumnya adalah mereka yang memiliki kedekatan relasi.
Bukan tentang kinerja atau struktur pemerintahan terbaik. Kondisi ini menjadi "benteng" yang sulit ditembus oleh lawan politik barunya. Apa  jadinya jika oligarki desa "diperkuat" dengan perpanjangan masa jabatan?.  Demokrasi Indonesia akan turun kelas.
Debat Periodesasi Presiden
Mengapa banyak parpol menolak tuntutan, dan mengapa ada parpol yang menyetujui tanpa banyak "pertimbangan"?.
Mengapa persoalan masa jabatan Presiden menjadi polemik yang hot, karena sebelumnya pada masa Presiden Soekarno dan Soeharto, mereka menjabat lebih dari dua kali periode, meskipun dilakukan pemilu namun selalu saja menjadi calon tunggal sehingga selalu terpilih dan masa jabatannya sangat lama.
Pada masa kepemimpinan otoriter ini, banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan UUD 1945. Setelah berakhirnya kepemimpinan yang otoritter tersebut, lantas dilakukan amandemen UUD 1945, dan salah satunya membatasi masa jabatan presiden.
Untuk saat ini, berdasarkan Pasal 7 UUD 1945 menegaskan bahwa masa jabatan Presiden adalah 5 (lima) tahun dan boleh dipilih kembali setelahnya hanya untuk satu kali masa jabatan atau dengan kata lain dua kali periode.
Persoalan yang selama ini dianggap mengganjal dan menjadi polemik justru ulangan dari Keinginan memperpanjang masa jabatan Presiden. Sejak lama berkembang suara yang menuntut agar ada tambahan masa jabatan Presiden menjadi 3 periode. Apakah para elite yang pintar tak belajar bagaimana oligarki gila-gilaan telah membuat bangsa kita terkebiri demokrasinya?.
Hal sama dengan para kades, sebagaimana aturan yang mengikat masa jabatan para kades juga diatur dalam Pasal 39 UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Ternyata niat dan maksudnya juga setali tiga uang-sama saja.
Bagaimana keluar dari jerat UU tersebut, meskipun harus melalui jalan berliku, kali ini peran para kades menjadi sangat strategis bagi perpolitikan elite di atasnya.
Ibarat kata, jika kades dulu gratis, kini berbayar. Tidak ada yang gratis di dunia ini, apalagi dalam politik. Paling minimal politik timbang rasa, tepo seliro, TST-Tahu Sama Tahu.
Jika telah sampai pada titik disetujuinya tuntutan itu oleh Presiden dengan beberapa alasan, seperti;
Pertama, meminta dikembalikannya kewenangan mengurus dana desa dan yang menjadi hak preogratif kepala desa.
Selama ini para kades merasa terkekang karena tidak leluasa menjalankan tugas dan fungsi karena terganjal aturan-aturan yang tidak membebaskan mengurusi wilayahnya sendiri.
Kedua, Membutuhkan tambahan masa jabatan, dari 6 tahun ditambah 3 tahun menjadi 9 tahun tanpa periodesasi. Pertimbangan periodisasi itu, bukan semata arogansi kepala desa, tapi untuk meminimalisir ketegangan pasca-Pilkades.
Termasuk menjaga kondusifitas hubungan antar warga di desa selama pasca-Pilkades hingga menjelang Pilkades berikutnya, agar tak berkonflik.
Selama ini pemilihan kades menciptakan polarisasi-persaingan politik di tingkat desa berkepanjangan sehingga menganggu pembangunan desa gara-gara konflik politik tingkat desa tersebut.
Dengan fakta itu, mestinya para kades justru harus semakin memahami , bahwa dengan masa jabatan yang lima tahun saja masih menyisakan residu-residu politik dalam masyarakat, risikonya akan bertambah parah, jika sampai ditambah menjadi sembilan tahun.
Tuntutan itu justru menjadi tidak masuk akal, dan tendensinya hanya merupakan bagian dari kompromi dan kemufakatan para politikus elite saja yang "ada maunya".
Dampak langsung dari lamanya masa jabatan itu juga berpengaruh ada iklim demokrasi dengan kaderisasi untuk menghasilkan regenerasi kepemimpinan yang baru.
Termasuk memancing terjadinya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Jadi solusi perbaikan sistem pemilihan kadesnya saja yang diperbaiki, bukan solusi pada perpanjangan masa jabatan.
Ketiga; Tuntutan itu untuk meminimalisasi anggaran pemilihan, biar pemilu menjadi lebih murah dan hemat. Bukankah ini juga sangat teknis dan lebih mudah untuk dicarikan solusinya.
Keempat; Tak bisa optimal mengurus kepentingan masyarakat untuk menunaikan janji-janji saat kampanye, untuk membangun dan memajukan desa. Jangan-jangan para kades tak punya program realistis, tak membumi?.
Tentu saja persoalan krusial bagi emerintah bukan pada kesulitan untuk merevisi UU Desanya, problem biayanya selama proses, atau masalah teknis lainnya. Ini lebih pada adanya kemungkinan buruk dimainkannya skenario politik demi kepentingan oligarki.
Jabatan yang terlalu lama dapat melanggengkan oligarki kekuasaan, walaupun di tingkat desa. Dan ini sangat berbahaya. Justru kaderisasi yang harus didorong sebagai solusi terbaiknya, serta optimalisasi kerja para kades sesuai masa jabatan. UU Desa sudah cukup mengakomodir semua kebutuhan tersebut.
Menunggu Keajaiban Politik
Menurut Data statistik 2022, Indonesia memiliki 81.616 desa, bukankah itu potensi yang menggiurkan secara politik?. Kini gayung sudah bersambut di parlemen dan presiden, untuk kelanjutan realisasi usulan tersebut diserahkan kepada pihak legislatif. Â
Tinggal menunggu perkembangan atas dasar masukan dari para kades, termasuk tuntutan moratorium pemilihan kepala desa, pejabat pelaksana yang ditugaskan, hingga permasalahan dana desa. Bila dipadatkan dalam bahasa yang konotatif, tuntutannya hanya menyakut dua hal: kekuasaan dan duit.
Padahal sejatinya seorang pemimpin menyandang kuasanya karena adanya pengaruh yang dimilikinya, bisa karena faktor keturunan, partai politik, agama, semua kelebihan itu bisa dikapitalisasi menjadi kekuatan besar. Â
Dengan pengaruhnya, ia membuat dan menjalankan kebijakan, melakukan pembinaan, pemberdayaan, bukan hanya membangun desa sebagai tanggungjawab jabatannya. Sehingga setiap keputusannya juga bukan persoalan sederhana.
Namun dalam sengkarut tahun politik yang semakin panas, kondisi tersebut justru menjadi bargaining power para kades dan semakin bernilai "mahal" bagi sejumlah partai politik yang berkepentingan dengan pengaruhnya atas basis massa tersebut.
Ironisnya, para kades tahu benar bahwa ia memiliki kapital untuk di jual mahal. Maka parpol mana yang bisa "membeli" mereka yang akan diikuti, dan melupakan nuraninya.
Para kades memang semakin cerdas dan cekatan membaca "wangsit" politik, hingga dapat melihat momentum, itulah mengapa tuntutan itu justru marak di tahun politik. Atau sebenarnya ada elite yang syahwat politiknya tak lagi tertahankan?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H