Dengan aturan pemerintah Desa sebelumnya sesuai pasal 39 UU No.6 Tahun 2014 yang menyebutkan seorang Kades bisa mengikuti Pilkades tiga periode berturut-turut atau tidak berturut-turut. Maka dengan perpanjangan masa jabatan barunya seorang Kades bisa menjabat sampai 27 tahun. Fantastis bukan?.
Alasannya , perpanjangan itu menjadi dasar mengurangi persaingan politik tensi tinggi antarkandidat setelah pilkades. Waktu 6 tahun dirasa kurang untuk meredam tensi tersebut. Tentu saja alasan ini sangat mengada-ada.
Bukankah banyak alternatif lain yang dapat dipilih. Seperti memperbaiki sistem pilkadesnya, atau aturan mainnya. Seperti mengusir tikus dari lumbung, tak selalu harus membakar lumbungnya?.
Apa Untung Ruginya?
Perpanjangan masa jabatan kades berdampak pada regenerasi kepemimpinan yang berjalan lambat dan merusak pola demokrasi. Keuntungan sepihak hanya berdampak pada pemegang kekuasaan. Kekuasaan yang terlalu lama juga berkecendrungan absolut dan rentan korupsi.
Persoalan dana juga menjadi sumber bancakan yang pasti akan diributkan, apalagi saat ini dana bantuan desa sebesar 1 milyar pertahun perdesa. Dan selama 9 tahun atau 27 tahun jika dimenangkan oleh incumbent yang sama, Â jumlah dana yang akan dikelola berarti kurang lebih 27 Milyar. Cukup untuk membangun kekuatan baru "dinasty" berikutnya. Siapa yang rela kehilangan uang besar?.
Idealnya, apa yang ada saat ini sebenarnya sudah mewakili prosedur membangun pemerintahan yang baik. Selain regenerasi dapat berjalan normal, pergantian pucuk pimpinan desa yang cepat juga memberi warna perpolitikan yang dinamis dalam pemerintahan desa. Jangan ajarkan politik kotor kepada wong deso.
Realitas yang terjadi selama ini saja, dengan periode masa jabatan 6 tahun, faktor "nepotisme dan kolusi" sudah berjalan. Perangkat desa yang bekerja dalam struktur organisasi pemerintahan desa, satu paket dengan kades, umumnya adalah mereka yang memiliki kedekatan relasi.
Bukan tentang kinerja atau struktur pemerintahan terbaik. Kondisi ini menjadi "benteng" yang sulit ditembus oleh lawan politik barunya. Apa  jadinya jika oligarki desa "diperkuat" dengan perpanjangan masa jabatan?.  Demokrasi Indonesia akan turun kelas.
Debat Periodesasi Presiden
Mengapa banyak parpol menolak tuntutan, dan mengapa ada parpol yang menyetujui tanpa banyak "pertimbangan"?.
Mengapa persoalan masa jabatan Presiden menjadi polemik yang hot, karena sebelumnya pada masa Presiden Soekarno dan Soeharto, mereka menjabat lebih dari dua kali periode, meskipun dilakukan pemilu namun selalu saja menjadi calon tunggal sehingga selalu terpilih dan masa jabatannya sangat lama.
Pada masa kepemimpinan otoriter ini, banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan UUD 1945. Setelah berakhirnya kepemimpinan yang otoritter tersebut, lantas dilakukan amandemen UUD 1945, dan salah satunya membatasi masa jabatan presiden.
Untuk saat ini, berdasarkan Pasal 7 UUD 1945 menegaskan bahwa masa jabatan Presiden adalah 5 (lima) tahun dan boleh dipilih kembali setelahnya hanya untuk satu kali masa jabatan atau dengan kata lain dua kali periode.
Persoalan yang selama ini dianggap mengganjal dan menjadi polemik justru ulangan dari Keinginan memperpanjang masa jabatan Presiden. Sejak lama berkembang suara yang menuntut agar ada tambahan masa jabatan Presiden menjadi 3 periode. Apakah para elite yang pintar tak belajar bagaimana oligarki gila-gilaan telah membuat bangsa kita terkebiri demokrasinya?.