Kisah ini sebenarnya hanya sebuah intermezzo. Buku pertama yang saya beli meski tak lagi ingat judulnya, tapi sebuah buku Himpunan Pengetahuan Umum, buku ini kemudian menjadi cikal bakal Buku Pintar terlaris karya Iwan Gayo. Dibandingkan buku fiksi, buat saya yang ketika itu masih kelas satu sekolah dasar, buku "pintar" itu sangat menarik.
Berisi banyak hal yang informasinya bisa kita sombongkan kepada banyak orang. Apalagi jika sudah main "guessing", main tebak-tebakan. Siapa yang paling tahu, "berarti paling pintar" menurut versi anak-anak ketika itu. Maka untuk menjadi yang paling pintar, saya berusaha tak hanya menguasai "permukaan informasi" tapi juga detailnya.
Maka ketika zaman masih pintar itu, saya bisa menghafal seluruh negara lengkap dengan jumlah penduduknya. Atau menebak bendera dari berbagai bangsa. Termasuk gunung tertinggi di dunia, lengkap dengan detail ketinggiannya. Ini menakjubkan menurut versi kami yang kanak-kanak. Sekarang sudah jauh menurun-nama tetangga sebelah sampai lupa.
Dan diantara banyak mainan saat itu, dari patok lele, umbul atau gambar, yoyo dan lato-lato (seingat saya pernah lihat pada zaman dahulu), buku juga menjadi mainan yang seru. Maka sejak saat itu saya "Benci" buku.
Mengoleksi Seperti Mainan
toko buku menjelang ultah.Â
Sejak usia sekolah dasar, hadiah ulang tahun selalu menjadi hadiah pesanan. Tak perlu surprise dalam arti sebenarnya. Justru surprise pesanan itu akan makin membahana jika terwujud alias dibelikan. Karena kebiasaan itu, tante sering mengajak ke
Mengorek informasi buku apa yang paling saya inginkan saat itu. Atas dasar itu, ia tinggal memesannya, menyembunyikannya di balik kertas kado, dan di hari H ultah, buku itu sudah teronggok di samping nakas tempat tidur.
Maka sebelum ritual lain saya lakukan, saya membongkar kado dan berakhir di loteng dengan buku bacaan yang tidak bisa saya hentikan. Ayah juga sering membawakan oleh-oleh buku setiap kali bepergian keluar kota.Â
Ibu juga penyuka buku, Â meskipun jarang berkunjung langsung ke toko buku. Pernah suatu ketika saya meminta buku kepada ibu, meskipun berkali-kali memohon, karena ketiadaan uang niat untuk membelinya akhirnya batal. Maka saya berusaha sendiri dengan cara menjual gundu atau kelereng hasil menang saat main. Jika kurang, saya memainkannya dengan teman untuk mendapat jumlah gundunya demi tambahan uang.
Rencana ini selalu berhasil, dan saya bisa mengumpulkan uang sesuai nominal harga buku. Bergegas berlari sendiri ke toko itu yang berjarak 300 meteran dari rumah. Sesampainya di toko tak perlu memilih karena bahkan saya hafal dimana letak banyak jenis buku.
Ketika akhirnya menjejak sekolah menengah atas, ayahku membelikan sebuah mesin ketik tua milik pabrikan Jerman. Dengan mesin itu, ketika itu mengikuti banyak lomba menulis yang dilakukan jarak jauh (tapi bukan online) melainkan melalui Kantor Pos. Informasi itupun saya dapat dari majalah Pos.
Maka Setiap minggu mengikuti lomba sesuka hati, karena panitia tak membatasi jumlahnya dan setiap peserta bisa saja menyabet tiga juara setiap minggu karena panitia hanya mencari tulisan terbaik. Dengan hadiah Rp. 50.000 setiap artikel, maka setiap minggu paling tidak ada Rp.50.000-Rp. 150.000 (jika menang 3 artikel).
Uang tersebut langsung  saya "barter" dengan buku di toko buku langganan di kota yang berjarak 8 kilometer dari rumah. Buku menjadi barang koleksi terbanyak, dan dikamar kecil itu saya menyimpannya sebagai barang luxury. Setiap buku "berjasa" menghasilkan tulisan lainnya yang juga menyumbang uang baru untuk buku. Begitu siklusnya, dari buku ke buku lainnya. Â
Berburu Buku
pameran buku, atau diskon buku yang dilakukan oleh penerbit.
Mendapatkan buku-buku menarik tidak mesti harus ke toko buku besar. Ada kalanya kita bisa memanfaatkan jaringan informasi dari para penjual buku atau toko buku langganan. Mereka secara berkala menginformasikan jika adaSeperti yang sekarang sedang berlangsung di Gudang buku gramedia Jakarta, jaringan toko buku di Jogja dan di Bandung. Diskon dimulai dari harga Rp. 5.000 an hingga diskon mencapai 80 %. Dengan begitu kita bisa sering mendapatkan buku dengan harga dibawah pasar untuk menambah koleksi atau menyisip koleksi yang rusak.
Dulu sewaktu tsunami ribuan koleksi buku juga rusak parah, sehingga harus diganti dengan buku baru, beruntung ketika itu dari WWF Indonesia membantu sekedarnya untuk bisa memulihkan kondisi kerusakan rumah, termasuk untuk menyisip kembali buku pustaka yang rusak.
Ada kalanya kita bisa mendapat buku murah dari toko buku yang tutup, yang mengobral semua bukunya, Â sehingga menjadi kesempatan untuk mendapatkan buku dengan harga murah.Â
Saat ini buku hard copy bersaing keras dengan buku online atau e-book, namun buku-buku dalam wujudnya yang sebenarnya memiliki romantisme tersendiri. Selain menjadi hiasan rumah, buku-buku menjadi memori yang bisa dinikmati keluarga, terutama di saat-saat libur, atau di bulan Ramadhan. Bahkan ritual membersihkan buku, memilah sesuai tematik juga menjadi kegiatan keluarga yang seru.
Anak-anak terbiasa belajar didalam lingkungan yang berisi buku, menjadi motivasi bagi mereka untuk mulai membaca. Dan ketika keluarga besar berkumpul, pustaka juga menjadi salah satu incaran. Tapi repotnya, jika bocil ikutan bergabung, para orang tua harus merelakan diri untuk membacakan buku cerita untuk mereka. Betapa serunya melihat kebersamaan itu.
Itulah mengapa saya jadi tambah benci alias benar-benar cinta dengan buku. Salam literasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H