Bukan hanya tampil dengan keindahan arsitekturnya, namu juga dirancang agar ramah iklim dan menjadi "syurga" kenyamanan bagi semua penghuni rumah segala usia.
Rumah adat Aceh "Krong Bade", adalah salah satu kekayaan arsitektur vernakular milik Indonesia. Desainnya menimbang banyak sisi, bagaimana menjadikan rumah tinggal tak hanya indah secara arsitektural, namun juga nyaman. Meski tak berelasi langsung dengan pemahaman tentang fengsui, namun rancangannya yang didesain khas berbentuk persegi panjang dari timur ke barat mempertimbangkan kebutuhan cahaya dan sirkulasi udara.
Vernakular, berasal dari bahasa Latin, yaitu vernacullus yang berarti lokal, domestik, asli, pribumi. Vernacular adalah bentuk arsitektural yang menerapkan ciri -- ciri budaya sekitar termasuk dengan material, iklim, dan makna dalam bentuk arsitektural seperti tata letak denah, struktur,material dan detail detail seperti ornamen.
Arsitektur vernakular terbentuk dari proses yang berangsur lama dan berulang-ulang sesuai dengan perilaku, kebiasaan, dan kebudayaan di tempat asalnya.
Rumah Ramah IklimÂ
Mengikut iklim tropis di garis katulistiwa dengan curah hujan yang cukup, namun juga panas yang panjang, rumah adat didesain agar dapat menjadi tempat nyaman bagi penghuninya. Keberadaan bukaan berupa jendela, dan ventilasi yang difungsikan sebagai ornamen hiasan bangunan banyak berfungsi sebagai penyeimbang, meskipun atap bangunan rumah sedikit rendah. Bahan atap terbuat dari anyaman rumbia. Sejenis sejenis lontar ini dapat meredam suhu panas secara alamiah.
Atap dari dedaunan ini menjadi salah satu ciri khas dalam bangunan arsitektur rumah adat di banyak daerah di Indonesia. Selain kemudahan dalam perolehan bahan baku, tujuan utama adalah mengatasi masalah suhu panas dalam ruangan. Rumah menjadi ruang bersama seluruh anggota keluarga termasuk anak-anak balita, sehingga kenyamanan menjadi salah satu kebutuhan yang utama, disamping faktor kesehatan sebagai tujuan lain.
Adaptasi yang kini dilakukan salah satunya dengan atap dengan bahan baku campuran material namun bukan seng, seperti halnya genteng sejenis Ondulin. Genteng dengan komposisi padat ini selain mengurangi benturan suara saat hujan, juga meredam panas beberapa derajat dibandingkan atap berbahan baku seng.
Keunikan lain bangunan ini adalah dibangun tanpa menggunakan paku, namun menggunakan material dari alam, berupa pasak dan tali temali. Setiap bahan material bangunan rumah Krong Bade disatukan dengan menggunakan material tali pengikat yang disebut taloe meu-ikat. Terbuat dari rotan, ijuk, dan kulit pohon waru.
Pada intinya bangunan vernacular memang telah menyesuaikan dengan kondisi iklim selama waktu yang panjang untuk kebutuhan penghuninya akan kenyamanan.
Maka dalam strukturnya, selain menggunakan tingkatan, kolom, tingkap atau jendela yang disesuaikan dengan kebutuhan angin yang dapat masuk keseluruh bagian ruangan di dalam rumah tinggal. Maka komposisi rumah Krong Bade juga terdiri dari beberapa ruang, sesuai dengan fungsinya, namun juga mengutamakan kenyamanan.
Tentu saja masalah sirkulasi udara, dan kebutuhan masuknya cahaya yang dibutuhkan untuk sebuah rumah tinggal menjadi pertimbangan yang penting. Salah satunya dari posisi dudukan bangunan. Rumah Krong Bade idealnya menurut aturan adatnya dibangun dari arah Timur ke Barat.
Umumnya tangga berada di sisi Timur menghadap langsung ke matahari, sedangkan sisi Barat biasanya bagian yang tertutup, namun dilengkapi jendela untuk mengalirkan angin.
Komposisi lain berupa ornamen, selain menjadi pendukung estetis juga menggambarkan status sosial penghuninya. Karena motif ukiran dan banyaknya ukiran menentukan kemampuan ekonomi dari penghuni rumah adat tersebut.
Hal unik yang menarik dari rumah Krong Bade adalah, ukuran pintu rumah yang lebih kecil daripada tinggi manusia, yaitu hanya sekitar 120--150 cm. Hal ini bertujuan agar setiap tamu harus memberi saleum horeumat pada ahli bait, memberi salam kepada pemilik rumah dengan membungkuk sebelum memasuki rumah tanpa mengenal kasta dan kelas ekonomi dari tamu tersebut.
Namun tidak meninggalkan aturan secara arsitektural, karena komposisi pintu yang berada di bagian timur juga menjadi bukaan yang mengalirkan angin menuju ruang bagian depan yang dijadikan ruang tamu atau ruang duduk keluarga.
Bagian ini juga didesain agak rendah, dengan di alas papan yang sedikit berongga agar dapat mengalirkan udara dari bawah rumah.
Dan sebagaimana umumnya rumah vernacular, sudah dirancang sedemikian rupa agar tahan dari getaran. Struktur rumah adat Aceh Krong Bade juga dikenal sebagai rumah anti gempa. Penggunaan pasak dan tali telah diperhitungkan dengan sangat cermat agar fleksibel saat terjadi goncangan.
Pada saat terjadi gempa memang terasa rumah bergoyang, namun mengayun lentur. Saya mengalaminya sendiri karena beberapa sanak saudara juga di kampung yang jauh masih memiliki pertinggal rumah adat Krong Bade sebagai rumah sejarah atau rumah induk, dimana tetua keluarga tinggal.
Seiring  waktu rumah Krong Bade semakin ditinggalkan, karena banyaknya pilihan model rumah. Apalagi trend yang datang terus silih berganti, jika dahulu rumah klasik, mediterania, menjadi pilihan, namun sekarang kecenderungan memilih rumah berdesain minimalis semakin besar. Terutama pada generasi baru paska baby boom yang melahirkan generasi Z.
Rumah Krong Bade berbentuk rumah panggung, dengan tinggi tangga sekitar dua setengah hingga tiga meter dari permukaan tanah untuk masuk ke dalam rumah. Anak tangga dibuat ganjil sekitar tujuh sampai sembilan anak tangga, sebagai simbol religiusitas masyarakat suku Aceh.
Komposisi Ruangan, tata cahaya dan Sirkulasi Udara
Rumah Krong Bade terdiri dari empat bagian utama dengan masing-masing fungsinya;
Pertama, Ruang depan (Seuramo Keu). Bagian depan ini berfungsi sebagai tempat menerima tamu, bersantai dan berisirahat, hingga tempat belajar bagi penghuni rumah. Biasanya, ruang depan pada rumah adat Aceh ini menggunakan karpet besar memanjang sebagai alasnya.
Untuk mengantisipasi kebutuhan pencahayaan dan sirkulasi udara, ruangan ini mengandalkan pintu utama, beberapa jendela yang berterali dan bagian permukaan bawah ruang duduk dengan rancangan alas kayu yang tidak rapat sebagai ruang sirkulasi udara. Â
Kedua; Ruang Tengah (Seuramo Teungoh). Bagian inti dari rumah adat Krong Bade, bisa dilihat dari komposisi ketinggian lantai yang berbeda dari ruang tamu. Bersifat sangat privacy hanya penghuni rumah saja yang boleh memasukinya.
Umumnya terdiri dari kamar utama dan kamar keluarga lainnya dalam posisi berhadapan. Dengan masing-masing memiliki jendela sebagai sarana sirkulasi udara dan kebutuhan pencahayaan.
Posisinya yang menghadap Selatan dan Utara sedikit banyak dimaksudkan agar tidak berhadapat dengan cahaya langsung pada pagi hari atau sore hari, namun mendapatkan cahaya yang cukup dari sisi yang berlawanan. Termasuk untuk kebutuhan sirkulasi udara.
Tanaman pendukung dapur seperti ; tumuru, asam belimbing (sunthi), umumnya ditanam disisi dan di belakang bangunan, namun tidak menutup akses masuk cahaya
Ketiga, Ruang Belakang (Seurameo likot), bagian ini berfungsi sebagai tempat makan, dapur, dan tempat bercengkrama bagi sesama anggota keluarga. Bagian ruangan ini berada pada ketinggian lantai yang lebih rendah dan tidak memiliki ruangan di sisi kanan kirinya.
Namun dilengkai dengan pintu dan beberapa jendela di beberapa titik ruangan, sebagai sarana sirkulasi udara dan pencahayaan.
Keempat, Ruang Bawah, ruangan ini menjadi tempat menyimpan barang-barang pemilik rumah, seperti alat penumbuk padi atau hasil panennya. Selain sebagai tempat penyimpanan, bagian rumah adat Aceh ini juga merupakan ruang bagi penghuni perempuan masyarakat Aceh untuk membuat kain tradisional khas Aceh.
Ruang ini menjadi ruang alternatif untuk bersantai setelah penat bekerja atau hanya sebagai ruang pelepas jenuh setelah beraktiifitas di dalam rumah. Komposisi ruangannya yang tak terhalang sekat membuat sirkulasi udara bergerak sangat leluasa. Beberapa anggota keluarga biasanya memanfaatkan sebagai ruang main dan ruang meninabobokan anak dalam buaian.
Ruang ini kini juga dimodifikasi sebagai ruang duduk kafetaria untuk ngopi dan baca.
Ruang ini dalam beberapa pengalaman yang penulis alami juga menjadi rumah singgah bagi jenis burung hujan, sejenis wallet yang membuat sarang di tiang-tiang utama. Kondisi itu menunjukkan bahwa kenyamanan rumah Krong Bade tidak hanya bermanfaat bagi penghuninya, tapi juga jenis burung tertentu yang berada di sekitar rumah tersebut.
Dan uniknya burung-burung tersebut sama sekali tak terganggu dengan keriuhan anak-anak yang bermain, atau aktifitas penghuni di rumah bagian atasnya. Sebuah simbiosi mutualis yang menarik tentang keseimbangan alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H