Pertama; Membakar Kimcoa, dalang harus membakar kimcoa yang nanti dikibarkan hingga padam ke ruangan dalang tempat pementasan. Kimcoa adalah kertas emas yang dibakar dalam ritual yang dikenal sebagai jinzhi atau sebagai uang arwah atau uang untuk orang yang sudah meninggal. Semacam permintaan izin kepada orang yang sudah meninggal.
Kedua; Kain 5 Warna, tak harus besar yang penting ada lima warna dan dijepit atau diletakkan di lokasi pementasan.Â
Ketiga; Sesaji Unsur Alam, ritual ini khusus bagi dalang yang baru pertama kali manggung dan baru pertama kali ke lokasi wayang digelar. Bentuk sesajinya terdiri dari unsur laut, darat dan udara. Ikan mewakili laut, daging mewakili darat dan mewakili udara adalah burung dara.Â
Keempat; Ayam Dara Betina Putih Mulus, ayam yang belum kawin alias ayam dara yang berwarna putih mulus, tidak ada bercak warna lain setitik pun.Â
Kelima, Dilarang Makan Kacang dan Kuaci, para pembantu dalang di dalam panggung tidak boleh memakan kacang dan kuaci.Â
Unik sekali ritualnya, tapi saya tak pernah melihatnya secara langsung atau memperhatikannya.Â
Wayang titi berbentuk seperti boneka mungil digerakkan menggunakan magnet yang terletak tersembunyi di bawah si boneka. Ketika kecil saya menebak-nebak boneka itu dipasangi besi tipis. Dengan cara itu si dalang memainkan wayang, sehingga bisa saja dalam sebuah adegan lari, wayang bisa meluncur dengan kencang.
Saya tak ingat siapa yang memainkan pertunjukkan, sebab dalang atau pemain wayang itu berada di balik panggung kecil yang tertutup kain. Mungkin juga dari warga Thionghoa sendiri atau orang lokal karena wayang Potehi atau Titi sudah jadi tradisi bauran. Ornamen panggung wayang titi itu bermotif seperti bentuk awan berwarna putih abu-abu, dan dominan dengan warna merah menyala.
Tokoh bonekanya juga beberapa mirip dengan tokoh dalam dunia persilatan China, dengan kain kebaya berwarna-warni dengan selendang yang panjang dan kepala dihiasi dengan mahkota layaknya para permaisuri di kerajaan China.
Tapi beberapa kali mereka juga memainkan tokoh seperti Dawala dan teman-temannya, Lima Punakawan. Saya baru menyadarinya setelah dewasa bahwa hal itu adalah bagian dari asimilasi budaya, bauran budaya antara tradisional dan pengaruh budaya yang masuk kemudian.
Dua budaya itu tak saling membunuh, tapi justru saling menerima, melengkapi dan memperkaya khasanah. Kami sebagai anak-anak mendapatkan dua penokohan, dari tradisi milik warga keturunan dan dari tradisi daerah. Dari cara mereka menggabungkan dua budaya itu sangat menarik.
Di kemudian hari jika keluarga besar berkumpul, saya memainkan pertunjukkan kenangan masa kecil itu. Saya bertindak sebagai dalang dan memainkan wayang Titi, tapi dengan sedikit modifikasi. Dengan menggunakan gambar yang saya dapat dari internet kemudian dipotong menurut bentuknya, lalu kita jepit dengan stik sehingga masing-masing tokoh boneka dapat dimainkan. Mungkin sahabat Kompasianer bisa menirunya.