Sepanjang  September hingga akhir  November 2022 ada dua kejutan yang saya rasakan. Pertama, verifikasi biru hilang karena persoalan "teknis". Anggap saja hal teknis untuk mengaburkan fakta bahwa saya bersalah, melakukan "pelanggaran" memuat gambar tanpa sumber, atau dugaan plagiasi oleh admin. Memang WIFI kadang lelet, lalu terjadi human error, saya tak sengaja menekan tombol "tayang" padahal maksudnya "preview". Maka diganjar dengan "diskualifikasi" dan teguran.
Dan 24 November kemarin admin mengembalikan verifikasi biru itu, setelah hampir dua bulan menghilang. Bisa jadi itu atas bantuan sahabat kompasiana yang merekomendasikannya kembali. Tapi, jika sepanjang waktu itu saya banyak absen menulis, bukan karena faktor biru atau hijau, tapi karena kebetulan muncul "godaan" untuk menulis di kolom kompas. Apalagi kemarin --lagi lagi berita soal Susi "Sambo Candrawathi" sempat menjadi headline di kompas.com dan beberapa media afiliasinya. Semuanya membuat ketagihan untuk mengulang kegembiraan yang sama. Jadi saya mencoba menulis di dua "rumah" dalam satu kesempatan, sambil uji nyali menulis, tapi ternyata tak mudah diantara sibuknya "sekolah bisnis".
Dan tentang verifikasi centang biru kedua yang muncul lagi dua hari lalu, dan baru terlihat ketika memulai tulisan ini, saya jadi merasa "berhutang tradisi" untuk menulis tentang pencapaian itu. Meskipun bukan keharusan, mungkin hanya bentuk kegembiraan lain dari "tradisi" kita menulis di kompasiana, untuk menyebut kata lain dari "bersyukur".
Saya teringat dengan tulisan para sahabat kompasianer tentang "centang biru" yang konon sudah menjadi tradisi "harus dikabarkan". Barangkali karena saat awal centang biru itu saya lewatkan begitu saja, akhirnya tidak "berkah" dan hilang begitu saja.
Notifikasi seorang sahabat kompasianer, suatu hari masuk dan menanyakan, mengapa centang biru saya hilang?. Apa tak salah lihat ketika verifikasi biru balik ke hijau. Ketika itu dengan setengah terkejut karena tak menyadari perubahan, saya bilang "mungkin itu bagian dari proses supaya lebih disiplin dan berhati-hati". "Nanti juga bakal balik lagi," kata saya ketika itu.
Waktu berjalan, dan saya terus menulis sambil belajar, dan tak pernah berharap pada "keajaiban", kecuali keinginan menulis lebih baik daripada kemarin yang amburadul. Syukur-syukur cita-cita membuat buku bisa terwujud lebih cepat. Tapi mengatur diri sendiri ternyata susah, terlalu banyak "mau"yang harus dituruti dalam waktu bersamaan.
Cerita lainnya, tenyata komentar baik dari sahabat kompasianer dan para senior seperti Acek Rudy, Engkong Felix, Bang Tonny Syiariel membuat semangat terus tumbuh, begitu juga ilmu dari sahabat kompasianer lain seperti David, Mbak Hennie, Agus Subali, Jepe Jepe dan lain-lainnya yang banyak sekali jumlahnya, susah disebut satu-satu.
Centang Biru
Diantara banyak sahabat kompasianer mungkin juga ada yang "berharap" verifikasi biru, tapi nyatanya tak sesederhana seperti yang dibayangkan. Terutama ketika centang biru seolah menyimpan tanggungjawab untuk selalu menulis dengan baik dan berdisiplin dengan aturan main. Tapi benarkah seperti itu?.Â
Karena "diam-diam" ada nilai yang katanya disematkan bagi penulis ber-centang biru, terutama karena bobot tulisannya yang dianggap "sudah lebih baik" dari tulisan-tulisan mereka sendiri sebelumnya. Â Atau karena sekedar sudah "lama" tinggal di rumah kompasiana?.
Tapi saya sempat kepikiran juga atas argumen kritikus Engkong Felix yang populer dengan gagasan kenthirisme, soal "revolusi admin kompasiana". Sebab -- menurut sependek ingatan Engkong -- centang biru adalah pengakuan Admin Kompasiana akan kredibilitas kompasianer dan konten artikelnya. Akan halnya centang hijau -- lagi, sependek ingatan Engkong -- tak merujuk pada krediblitas, tapi semata kelengkapan "administratif" kompasianer. BACA artikel lengkapnya di 24 Kompasianer kecewa di kompasianival 2022. Tapi benarkah begitu?.
Dan dalam nomine Kompasianival Awards kali ini, yang konon katanya merujuk pada mutu (the) best (Citizen Journalism/Opinion/Fiction/Specific Interest/Student/Teacher) , kini juga berisi barisan kompasianer bercentang hijau--dan menurut Engkong Felix yang memang sudah senior di kompasiana--sepanjang ingatannya, ini menjadi peristiwa pertama kalinya.Â
Padahal mungkin admin cuma bingung mikir, apa yang harus "beda" di Kompasianival 2022. Dan berkebetulan dekat dengan HGN 2022 dan ultah PGRI ke 77 maka di tambahi dengan nomine--Student dan Teacher sekalian.
So what? Dengan begitu, Admin sedang mengatakan bahwa centang biru dan hijau tak ada korelasinya dengan mutu -- dalam arti kredibilitas -- yang penting konten artikel kompasianer. Benarkah?.
Atau admin cuma mengakomodir "mutu" tanpa harus melihat verifikasi--meskipun konon katanya centang biru itu apresiasi atas kemampuan menulis--dalam arti "formalitas" barangkali. Atau merujuk pada ilustrasi tahaan revolusi industri, centang biru masuk kategori era tahun 1784-industry 1.0, dan centang hijau masuk industri 4.0-today, yang berisi para milenial terkini. Tapi itu baru kemungkinan, karena cuma sekedar praduga.
Dan jika begitu, bagi pemula sebenarnya soal centang biru justru menjadi keuntungan baru, bukan lagi persoalan yang pelik, terutama jika ia memiliki konsistensi dan kedisiplinan ketika menulis. Isu-isu yang memotivasi, memiliki kebaruan, menjadi poin bargaining power yang bisa mengantar kompasianer pemula bisa saja secara tiba-tiba mendapat verifikasi biru setelah centang hijau, tanda lulus administratif terpenuhi.Â
Apalagi para sahabat kompasianer dengan bakat menulis luar biasa, muda, energik dan kreatif--yang lahir ribuan banyaknya di kompasiana nyaris setiap bulannya. Sekarang, sahabat kompasianer bisa merekomendasikan para centang hijau agar dapat naik ke centang biru, dan mekanismenya tersedia.
Pembelajaran lainnya, "kesalahan teknis" juga bisa menjadi pembelajaran, karena khilaf para kompasianer juga menjadi karma ketika tak bisa masuk di forum infinite, meskipun senior, pinter dan ngebet sekalipun. Sampai sekarang belum ada "obat" untuk jenis kesalahan itu. Kesalahan mengajarkan kita disiplin, berhati-hati dan bertindak prosedural ;), saya terbayang seperti menyebut mantra "demokrasi prosedural" tapi isinya selalu banyak pelanggaran disana-sini, meskipun tak sengaja. Seperti saya yang salah pencet tombol "tayang", padahal maunya "preview" dan kena diskualifikasi tayangan.
Tapi Kompasiana memang ruang belajar yang baik, melihat begitu banyak cara dan gaya orang menulis membuat kita berpikir, bahwa ternyata kita belum ada apa-apanya di banding banyak orang di luar sana.
Pengalaman ketika didaulat menjadi "guru terbang" di kelas menulis dadakan di sekolah, juga mengajarkan bahwa begitu banyak siswa yang bertalenta luar biasa. Â Bahkan sebagai "guru" juga timbul "iri" pada kemampuan dan kreatifitas mereka.
Pada kesempatan kali kedua ini, barangkali bisa memotivasi "percepatan" lahirnya tulisan lebih baik, sambil terus menjadi pembelajar. Dan mencoba peruntungan seperti sahabat kompasianer yang tanpa firasat apapun, tiba-tiba sudah melahirkan banyak buku, salut untuk mereka semua. Padahal banyak dari mereka punya banyak kesibukan, seperti para guru-guru kita yang sangat inspiratif--Pak Widjaya Kusuma contohnya.
Jadi sudah sepantasnya saya berterima kasih kepada admin dan sahabat kompasianer yang terus menjadi "guru menulis" di ruang kompasiana yang sudah berusia 14 tahun di tanggal cantik 22 oktober 2022 kemarin.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI