Ah seandainya saja sejak dulu kerja keras, punya uang banyak, berinvestasi, rasanya tak ada urusan mau resesi atau inflasi. Tapi jika semua itu baru kepikiran saat ekonomi sudah sulit melilit, apa yang harus dilakukan?, terpaksa berhemat atau mungkin berpuasa sekalian.
Menurut kabar terbaru studi Bank Dunia, berjudul "Apakah Resesi Global Sudah Dekat?"--Is A Global Recession Imminent?, dunia berpeluang mengalami resesi pada tahun 2023, jika perkembangan ekonomi tak kunjung membaik hingga akhir tahun 2022. Amerika Serikat saja terdampak 175 ribu pekerjaan hilang setiap bulannya mulai 2023.
Jika benar, kita memiliki waktu kurang dari tiga bulan untuk bersiap. Sebenarnya, berbagai kesulitan ekonomi ini, dampak dari transisi ekonomi paska masa sulit pandemi. Â Ditambah tekanan kenaikan BBM, Minyak goreng, Gas bersubsidi, makin membuat situasi tak kondusif untuk bangkit.
Namun jauh di luar faktor itu semua, sebenarnya juga ada hubungannya dengan cara kita mengurus uang kita selama ini. Seprotektif apa kita menjaga simpanan uang kita?.
Pola konvensional dalam mengelola keuangan telah lama dikritisi oleh banyak pakar keuangan. Tabungan tidak lagi sepenuhnya menjadi pilihan yang cerdas secara finansial. Apalagi jika kita tak pernah cermat mempertimbangkan kalkulasi antara jumlah tabungan dan bagi hasil atau interest yang kita terima.
Pola pikir tradisional berangkat dari konsep "kita bekerja demi uang", sedangkan perubahan yang secara progresif terjadi, "orang mulai cerdas finansial dengan memikirkan cara "uang bekerja untuk kita".
Tentu kita ingat bagaimana kontroversialnya buku Robert Kiyosaki ketika mencoba merubah pola pikir konvensional menjadi cerdas finansial dengan menentang tata cara menabung sebagai cara berinvestasi yang salah.
Mengapa pola seperti itu berubah, karena pada dasarnya ada keuntungan lain yang diperoleh ketika orang tak lagi sekedar menginvetasikan uangnya dalam tabungan. Alternatif investasi seperti menyimpan emas, atau membeli properti yang cermat memberikan keuntungan investasi yang berlipat ganda dan berkecenderungan minim risiko.
Pola-pola seperti inilah yang dimaksud secara garis besar sebagai money atittude atau sikap kita dalam memaknai uang.
Perilaku  pengelolaan  keuangan  dapat  diartikan  sebagai  perilaku  mengelola pendapatan atau keuangan seperti perencanaan keuangan, membuat anggaran tabungan, melakukan investasi dan asuransi bagi individu atau keluarga.Â
Perilaku  pengelolaan  keuangan  pribadi  dapat  dipengaruhi  oleh  beberapa faktor, salah satunya yaitu sikap terhadap uang (money attitude). Sikap (attitude) merupakan ukuran dari suatu pikiran, penilaian, dan pendapat seseorang tentang sesuatu yang akan mempengaruhi  tindakan  seseorang  tersebut.Â
Pengetahuan tentang keuangan dapat dijadikan sebagai variabel moderasi sikap  pada  uang untuk  pengambilan  keputusan keuangan yang benar.  Kesalahan mengelola uang juga berkaitan dengan kecemasan yang timbul setelahnya.
Alternatif Paling Minimal
Ada kalanya orang menggunakan uang sebagai alat untuk menunjukkan kuasa. Dalam situasi seperti ini orang cenderung menghamburkan uang tanpa mempertimbangkan, apakah selanjutnya uang tersebut dapat terus bertahan. Atau justru akan membuatnya berada di ambang kebangkrutan.Â
Begitu juga ada kelompok lain yang memiliki kecenderungan untuk terlalu berhati-hati dalam menggunakan uang. Selalu diliputi ketakutan jika melakukan overpaying, atau melakukan jenis investasi yang penuh risiko. Ia tak pernah bisa mempercayai siapapun karena kekuatiran orang tak bisa menjaga uang yang diinvetasikannya.
Disisi lain terdapat kelompok orang yang orientasinya tak peduli risiko. Berspekulasi dalam mengelola uangnya, namun juga disertai sedikit kehati-hatian.Â
Ada kelompok yang selalu berusaha memilih yang terbaik, tanpa mempertimbangkan faktor keuangan. Namun ia juga jenis orang yang melakukannya atas dasar mencari keuntungan. Beberapa orang tertentu melakukan investasi pada barang-barang mewah yang bahkan hanya dijadikan koleksi, namuan memiliki nilai investasi tinggi. Seperti lukisan, atau mobil mewah.
Dan jenis yang paling banyak adalah orang yang selalu mengalami kekuatiran secara finansial. Sehingga selalu memilih mencari harga yang termurah. Mulanya hal ini dipicu oleh ketidakpedulian pada saat situasi ekonominya dalam kondisi baik. Ketika pada akhirnya memasuki masa pensiun, mereka barulah memikirkan, bagaimana memiliki sumber pendapatan yang lebih dari satu, seiring makin banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi.
Kondisi ini semakin diperburuk dengan kondisi ekonomi transisi yang ditandai dengan sulitnya memperoleh uang, sementara harga-harga berkecenderungan terus naik.
Kelompok ini menjadi kelompok yang paling terdampak karena kondisi ketidaksiapan finansial pada masa-masa ketika keuangan pribadi menipis dan situasi ekonomi memburuk.
Dengan berbagai jenis cara orang menyikapi uang atau money attitude tersebut, kita dapat menarik pelajaran penting sebelum segala sesuatunya terlambat dan semakin buruk.
Setidaknya keputusan kita untuk merubah pola dalam menyikapi uang saat ini, barangkali dapat sedikit menolong kita menghadapi resesi jika benar terjadi pada 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H