Ada yang bilang kompasiana itu mirip toko serba ada, pujasera--pusat jajan serba ada, atau yang populer menyebutnya Palugada-Apa Lu Mau Gue Ada. Tergantung konteksnya. Maunya apa. Semuanya tersedia karena begitu beragam latarbelakang kompasianernya.
Dari latar yang berbeda-beda itulah muncul gagasan yang berbeda, yang memperkaya khasanah imajinasi dan bacaan kita.Â
Menulis menjadi cara kita mengeluarkan uneg-uneg curhatan kata. Tak ada batasan apa yang mau dituangkan, bahkan ketika "tak ada otak", tak ada ide, kompasiana masih menyisakan ruangnya.Â
Saat awal menemukan ruang menulis ini, banyak kejutan tak terduga, karena begitu mudahnya akses masuk, dan begitu rapi jali sistem yang cepat mengakomodir karya tulis kita.Â
Selama tak over plagiarism, tak mengusung sara, tulisan akan segera muncul di laman akun masing-masing kita.
Terasa makin istimewa ketika kompasianer saling kunjung, berkat ruang "Beri Nilai" sebagai bentuk reaksi-apresiasi kita untuk para sahabat kompasianer.
Sebelum menemukan ruang ini, banyak ruang lain, tapi begitu rumit jali sistemnya, bahkan butuh berhari-hari hingga akhirnya tulisan kita hadir terbaca. Padahal kita cuma butuh ruang menulis, tak mau diganggu banyak teknis tak perlu.Â
Menulis apa yang kita pikirkan, bukan memikirkan apa yang hendak kita tulis. Begitu sederhananya sebuah gagasan ketika hendak dituliskan.Â
Ruang Mendengar dan Melihat Realitas
Artikel pertama saya di kompasiana di tahun 2011, bercerita tentang sebuah kisah para guru di Liyan Sulawesi, Tentang dedikasi para guru honor yang berjibaku mengajar murid-muridnya dengan menyusuri gunung berkilo-kilo meter jaraknya.
Atas dedikasi kerja mereka, pihak sekolah membayarnya sebesar 350 ribu yang diterimanya per tiga bulan sekali dan itu berlangsung selama belasan tahun.
Apa yang menarik dan patut ditulis dan dibagikan adalah agar keprihatinan ini dapat dirasakan bersama, bahwa kerja-kerja membangun negeri ini semata sebagai bentuk pengabdian luar biasa.
Mereka meyakinkan para muridnya bahwa negeri yang mereka tinggali ini juga masih Indonesia, meskipun tak memiliki fasilitas sekolah seperti daerah lainnya.Â
Tapi mereka membuktikan bahwa meski desa mereka hanya sebuah noktah kecil di peta besar Indonesia, mereka ingin menunjukkan bahwa masih ada anak-anak negeri di desa terpencil jauh dari ibukota propinsi, bercita-cita tinggi. Mereka juga "Laskar Pelangi".
Begitu juga nyala semangat yang selalu dikobarkan para guru berdedikasi tanpa pamrih yang hanya ingin melihat anak-anak di pedalaman tumbuh menjadi pribadi-pribadi kuat.
Terbukti bahwa selama belasan tahun, anak-anak itu menunjukkan semangat pantang menyerah, sebagian dari murid-murid kelas dasar dan menengah kini telah melanjutkan sekolah di kota, bahkan ada yang menjejak perguruan tinggi.
Kisah-kisah mereka tersembunyi diantara hiruk pikuk program pemerintah mencerdaskan bangsa, sekolah-sekolah bergedung megah tapi bermutu rendah, dengan guru-guru yang berhitung untung rugi.
Disisi lain ada guru-guru di pulau yang harus berenang sejauh ratusan meter setiap pagi, jika laut bersahabat. Mereka tak ada waktu menunggu kapal motor antar pulau yang datang ketika matahari meninggi hari. Sementara bel mulai belajar, senam pagi harus pagi-pagi sekali dibunyikan dan dilakukan.
Dan para pahlawan itu entah atas dasar kekuatan apa yang membuatnya begitu kuat, berdedikasi, tanpa kenal lelah meskipun harus mengarung laut dalam arti yang sesungguhnya.
Tulisan-tulisan seperti itulah yang dulu sering saya ingin bagikan. Disela waktu kantor menunggu jeda pulang saya sisihkan menulis sebuah artikel, dengan sebuah harapan sederhana, kisah-kisah mereka akan didengar orang banyak.
Terutama para pemimpin yang duduk di kursi-kursi pemerintahan, dewan, siapa tahu berita ini sampai ke telinga mereka dan bisa menggugahnya perlahan. Bersama jutaan kompasianer lain, suara-suara kepedulian itu perlahan akan sampai satu persatu. Begitulah harapannya.
Sebuah Ruang Personal
Bahkah diary, puisi bisa kita tulis dan bagikan, tanpa perlu rasa jengah dan risih. Ada kala itu juga berisi suara hati, curhatan sengkarut masalah pribadi yang bisa saja dikritisi "anggota keluarga" lainnya.
Ya, kompasiana juga sebuah keluarga-big family. Persaudaraan dari semua sudut negeri bisa bertemu di ruang menulis ini, bertegur sapa, berinteraksi.
Kita bisa belajar kehidupan dari tulisan-tulisan, kisah dan bentuk persahabatan yang kita jalin. Ada waktu-waktu kita menjadi teman curhat bagi yang jatuh, ada kala justru kita yang butuh perhatian itu. Ada simbiosa mutualis dalam persaudaraan itu. Itulah sisi paling manis dari kehadiran ruang kompasiana kita.
Kita menjadi pembelajar, manusia pembelajar tepatnya, tak berhenti mencari tahu, menuliskannya.
Begitulah kompasiana bisa menjadi apa saja yang kita inginkan, ruang curhat, ruang keluarga, pamer kebisaan, humoria, bahkan menulis kritis yang membuat kening berkerut.Â
Menulislah, dengan itu semua keinginan kita mungkin bisa tersampaikan. Tapi jangan berharap terlalu besar dan tinggi untuk "apapun", takut sakit jatuhnya, jadi nikmati saja apa adanya.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI