"Siapa yang ikut lomba kemarin?", tanya seorang guru senior di sekolah putri saya ketika masuk ke kelas pada jam pelajarannya. Karena putri saya adalah salah seorang peserta perwakilan sekolah dalam lomba english speech, maka ia menunjuk tangan dengan tujuan memberitahukan bahwa ia wakil sekolahnya.
Namun yang tak terduga terjadi kemudian adalah, perkataan dari ibu gurunya kepada seisi kelas, " kalian cuma bikin habis uang sekolah saja, sudah ikut tapi tak satupun yang menang!".
Karuan saja jawaban ibu gurunya yang ketus dan sangat tidak santun itu membuat putri saya bingung. Apalagi ketika kemudian ibu gurunya juga bertanya, berapa rangking kelasnya. Ketika dijawab rangking 5 , maka ibu guru itu berkata. "Tidak semestinya anak-anak yang rangking 4-5 menjadi wakil lomba sekolah, harusnya diprioritaskan anak-anak rangking 1,2 dan 3."
Ketika itu putri saya hanya menjawab bahwa ini adalah pengalaman pertamanya mengikuti lomba melalui sekolah. Tapi jawaban itu tak menolong serangan-serangan verbal ibu gurunya yang terus menyudutkannya.
Padahal keikutsertaan putri saya dalam lomba juga ditunjuk oleh sekolah, setelah dilakukan seleksi oleh guru bahasa inggrisnya. Itupun awalnya menjadi wakil satu-satunya.
Bahkan setelah penunjukkan itu, bimbingan dilakukan tidak intensif, hanya diberikan naskah pidato dan kemudian diperintahkan menghafal naskah yang berjumlah empat lembar dengan spasi 1,5. Kurang lebih terdapat 1500 kata. Dan harus dihafal dalam waktu seminggu sebelum lomba berlangsung.
Jawaban-jawaban putri saya sama sekali tak digubrisnya, justru makin membuatnya emosi. Sebaliknya membuat putri marah, tapi tetap ditahannya.
Menyikapi Kejadian
Ketika putri saya curhat sepulang sekolah, saya terus terang merasa kesal. Apalagi saya mendampingi putri saya ketika melakukan perekaman materi lomba, bahkan ketika itu kami pulang larut malam, mendekati pukul 24.00 wib.
Bagaimanapun saya selama ini juga memiliki pengalaman membantu siswa almamater saya dalam setiap perlombaan yang diikuti sekolah. Setiap kali mengalami kekalahan, pihak sekolah selalu bilang bahwa dalam perlombaan ada kalanya kita menang ada kalanya kalah.
Saya juga selalu menekankan pada siswa bimbingan saya agar tak berkecil hati jika mengalami kekalahan, tak akan ada yang mempermalukan termasuk pihak sekolah. Dan tak akan ada yang menggugat berapapun biaya yang dikeluarkan untuk keperluan lomba tersebut. Bahkan uang transport dan kebutuhan akomodasi selama lomba yang dikeluarkan ditanggung sekolah tanpa konsekuensi apapun. Ini justru menjadi motivasi kemenangan bagi para siswa bimbingan saya.
Kejadian ini menjadi sebuah peristiwa yang membuat putri saya merasa tertekan dan berkecil hati. Apalagi pernyataan tidak bersahabat ibu gurunya disampaikan di dalam kelas disaksikan oleh teman-teman lainnya.
Menurutnya jika pada akhirnya disalahkan karena sebuah kekalahan dalam lomba, maka sejak ia awal ia tidak mau berspekulasi, apalagi ini lomba pertamanya mewakili sekolah dan ia menyadari bahwa lawan-lawannya adalah sekolah-sekolah unggul yang selama ini selalu terbukti keluar sebagai pemenang dalam berbagai lomba yang ia ketahui informasinya.
Ini juga menjadi pukulan mental baginya karena ternyata konsekuensi menjadi wakil sekolah mengikuti ajang lomba begitu berat. Bagaimanapaun ia telah berusaha maksimal, bahkan ia menjadi wakil sekolah yang paling cepat menghafal naskahnya. Maka ketika kejadian ini timbul ia memutuskan tak akan lagi mewakili sekolah. Akan lebih baik baginya seperti yang selama ini dilakukan mengikuti sendiri lombanya, dan atas inisiatif sendiri. Sehingga tidak ada tekanan apapun.
Selama ini putri saya memang berinisiatif mengikuti lomba dengan mengatasnamakan sekolah sebagai prasyarat pendaftaran, namun dari uang pendaftaran hingga persiapan naskah dan latihan semuanya dilakukannya sendiri. Dibantu saya dan ibunya.
Ia mengatakan jika sekolah memang mengkuatirkan kekalahan dalam setiap lomba yang diikuti, tak semestinya sekolah berspekulasi. Bagaimanapun menurut putri saya, lomba-lomba yang selama ini diikutinya selain membantu membentuk mental agar kuat di depan forum, juga menjadi kesempatannya untuk mengasah kemampuannya berbahasa Inggris. Ia merasa tak rugi dengan semua kekalahan yang selama ini dialaminya.
Beberapa kali memenangkan lomba, namun juga pernah mengalami kekalahan. baginya itu adalah hal paling wajar dalam sebuah lomba. Barangkali inisiatifnya itu juga muncul karena dorongan secara tidak langsung dari kakak-kakanya dan kami orang tuanya yang selalu mendorongnya ikut lomba, bahkan kami juga sering mengikuti lomba sebagai bentuk contoh dan motivasi buat putri saya.
Bagaimana Jalan tengahnya
Agaknya kami akan mendiskusikan hal ini dengan kepala sekolah dan guru pembimbing lombanya. Meskipun kami harus sangat berhati-hati, karena seperti saran putri saya, jika salah dalam menengahi masalah ini, justru ia nantinya yang akan mendapat serangan dari gurunya.
Ini memang sebuah dilema dalam kasus putri saya. Disatu sisi kami berkeinginan untuk mendiskusikan ini sebagai bentuk protes dan masukan perbaikan bagi sekolah. Meskipun juga menjadi sebuah ancaman bagi putri saya.
Kejadian ini menjadi sebuah pembunuhan karakter dan serangan mental, karena tidak semestinya pihak sekolah dalam hal ini guru, sekalipun barangkali ia mendapatkan informasi keluhan itu karena tak satupun wakil sekolah menang dalam lomba. Namun tidak semestinya langsung disampaikan kepada siswa yang bersangkutan, didepan kelas pula.
Bagaimanpaun informasi ini harus sampai pada pihak sekolah, agar menjadi pembelajaran dan tidak boleh terulang lagi.
Saya bermaksud mendiskusikan hal ini dengan kepala sekolah, bagaimanapun caranya informasinya ini harus sampai kepada beliau. Jika memungkinkan harus disampaikan dalam sebuah forum sekolah, baik upacara atau rapat guru dalam bentuk penyampaian informasi yang berhati-hati. Agar tak terulang kejadian. Dan tak berpengaruh buruk pada siswa yang melaporkan kejadian.
Kepala sekolah harus menyampaikan informasi bahwa sekolah terus mendorong inisiatif siswa agar terus berprestasi, mendorong siswa mengikuti lomba, tak peduli konsekuensi menang kalah, yang penting berusaha.
Beruntung putri saya hanya mengambil keputusan untuk tidak lagi mau mewakili sekolah dalam even apapun juga, namun tetap berinisiatif mengikuti lomba dari jalur di luar sekolah. Ini sesuatu yang positif yang kami sangat apresiasi, karena tekanan itu ternyata tak mematikan harapannya untuk terus ikut lomba.
Begitu juga dengan teman-teman sekelasnya ternyata juga mendukungnya, karena mereka memahami bagaimana reputasi ibu guru yang satu itu. Teman-teman sekelasnya justru merasa bahwa tidak semestinya seorang guru memberikan penilaian buruk bagi para sisiwanya yang sudah berusaha keras mewakili sekolahnya dengan usaha yang terbaik.
Kasus bullying yang dilakukan oleh para guru disekolah sebenarnya bisa saja berkaitan dengan karakter si guru itu sendiri. Sifat temperamental, emosional, tekanan sikon di rumah dapat menjadi pemicu terjadinya kejadian kekerasan guru terhadap para siswa meskipun hanya verbal.
Tapi para guru juga harus bersikap profesional dengan menempatkan diri dalam perannya sebagai guru. Meskipun juga bisa saja bersifat kasuistis, seperti kejadian diatas. Kejadian itu harus menjadi pembelajaran agar tak menjadi preseden dan membuat buruk citra para guru yang penuh dedikasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H