Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Megawati, Puan, dan Ganjar, Preseden Elitabilitas Partai Banteng

30 September 2022   14:56 Diperbarui: 8 Oktober 2022   23:19 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gambar-megawatipuan-cnnindonesia

Melihat sepak terjang Puan di medsos, blusukan politiknya seperti melihat kasus "setingan artis" yang tengah mendompleng nama besar demi ketenaran. Banyak pihak melihat apa yang dilakukan Puan sudah cukup terlambat. Konon lagi elektabilitasnya sejak awal juga tak menggembirakan.

Selain faktor elitabilitas yang dikondisikan oleh Megawati, Ketua Umum PDI-P, yang tidak lain adalah ibunya, strategi "hak prerogatif" yang dibuat oleh Megawati ini memang cara atau strategi untuk mengawal Putri Mahkota Puan Maharani menuju istana negara alias presiden.

Feodalisme  Tak Terselubung

Bentuk feodalisme di tubuh PDI-P besutan Presiden RI ke-5 itu sekarang tak lagi terlihat sungkan dan malu-malu dipertunjukkan. Megawati sebagai Founder sekaligus sebagai Ketua Umum (Ketum) PDI-P benar-benar memiliki kuasa mutlak di PDI-P, hak prerogatif.

Strategi ini sebenarnya pilihan Megawati yang sangat berbahaya. Apalagi jika sampai memunculkan resistensi para kader dan militansi di internal PDI-P. Termasuk rakyat yang selama ini berada di luar lingkaran dan masih memilih PDI-P sebagai partai politik besar yang dilatarbelakangi sejarah besar Presiden Pertama RI. Ir. Soekarno.

Tanpa kekuatan itu, atau menyalahgunakan kekuatan itu, pada akhirnya akan menjadi bumerang bagi Megawati sendiri. dan menjadi ancaman berbahaya, seperti analisa kompasianer H.Asrul Hoesein, bentuk ancaman lainnya, bahwa pengkaderan di PDI-P menjadi nihil dengan adanya Hak Prerogatif itu. 

Kader yang militan sekalipun akan berpikir bahwa "darah biru" yang pasti diberi prioritas. Jadi buat apa kader memiliki elektabilitas tinggi seperti halnya Ganjar yang memiliki elektabilitas kuat dan kredibel secara politik namun berpeluang disingkirkan dengan dipaksakannya Puan unutk maju. Lantas untuk apa saran para kader kepada Megawati, jika akhirnya Hak Prerogatif yang dimainkan.

Dengan kapasitas dan elektabilitas Puan, Megawati terlalu "memaksakan" kehendak politiknya. Bisa jadi ini adalah sebuah sekuel dari impian Megawati yang pernah kandas ketika menjadi Presiden RI ke-5 setelah lengsernya Abdurrahman Wahid. Karena di kontestasi setelahnya, impiannya dibuyarkan oleh rivalnya SBY.

Jikalaupun Puan dianggap mumpuni secara politik, meskipun elektabilitasnya rendah pada akhirnya akan terbukti pada saat kontestasi berlangsung. Bisa jadi dalam debat calon presiden nanti akan dapat dibuktikan apa visi,misinya sebagai seorang calon presiden.

Namun hal itu akan sangat riskan, karena sifatnya "trial and error". Jika PDI-P dan Megawati berspekulasi dengan mendorong Puan sebagai capres, dengan memilih wakil yang salah, maka pamor PDI-P akan runtuh.

Kritik dari banyak pihak atas kredibilitas Puan, baik saat menjadi menteri maupun ketua MPR-DPR sebenarnya adalah "alarm" yang harus diwaspadai oleh Partai Banteng ini. Terlalu berharap pada romantisme sejarah atas nama besar Presiden Soekarno, juga tak akan sepenuhnya bisa menolong. Sekalipun ada kader militan yang sangat "patuh" pada kepemimpinan Soekarno yang pro rakyat.

Dalam perjalanan politiknya PDI-P dibawah kendali Megawati telah mengalami banyak penurunan kharisma politiknya. Pilihan-pilihan politiknya dan strategi politiknya sangat "Megawati sentris". Termasuk soal Hak Prerogratif yang selalu digunakannya seperti sebuah "Hak Veto" para penguasa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hak itu adalah bentuk pengelabuan demokrasi, sekaligus ancaman demokrasi dalam arti sesungguhnya ketika memainkan sebuah partai politik.

Pro wong cilik, kini hanya menjadi sebuah simbol atau kamuflase politik. Kita ingat bagaimana Presiden Jokowi naik, yang didukung publik yang memimpikan sebuah perubahan, sosok pemimpin yang sederhana dan beda yang pro rakyat. Dalam perjalanannya kemudian stir itu berganti haluan, karena pengaruh "bisikan politik" dan politik kompromi yang memberi ruang bagi koalisi untuk bisa masuk, daripada menjadi penimbul friksi.

Pilihan politik itu menggeser kepentingan substansial berpihak pada rakyat, menjadi keberpihakan pada kepentingan kompromi politik. Ini dominan terjadi didalam politik Indonesia saat ini dan di tubuh PDI-P,sebagai kekuatan partai politik yang berkuasa saat ini berkuasa.

Memaksakan Kehendak Politik

Blusukan Puan sebagai bentuk formalitas agar survey elektabilitasnya terdongkrak, dilihat oleh banyak pengamat politik sebagai bentuk "kepanikan" Megawati menyiapkan calon yang secara elektabilitas rendah, namun dibebani harapan yang terlalu besar.

Sehingga di luar kontrol Megawati,kejadian blunder Puan yang membagi-bagikan kaos kepada pendukungnya dengan muka cemberut, langsung mendapat kritik yang luas. Sekalipun berusaha dipadamkan, kejadian itu mewakili watak dan karakteristik Puan yang tak dapat disembunyikan, sebagai seorang calon capres, pemimpin Indonesia di masa depan.

Sehingga berbagai saran politik, agar Puan mengalah saja menjadi cawapres dengan memilih capres yang kuat adalah sebuah alternatif yang paling masuk akal. Dengan pengalaman tersebut selain mengasah kemampuannya dan mematangkannya menjadi calon presiden di masa depan. Puan juga berpeluang terus mengasalah kredibilitasnya sebagai calon pemimpin atau calon negarawan.

Jika dalam periode itu ia bisa membuktikan kapasitasnya, bukan tidak mungkin di waktu mendatang orang dengan sukarela akan memilihnya. tanpa perlu menggunakan elitabilitas Megawati apalagi menggunakan "hak veto"--hak prerogatif Megawati untuk mengusungnya menjadi capres.

Atau jika tetap ngotot menjagokan Puan, pilihan yang sedikit lebih riskan adalah PDI-P memasang Ganjar-Puan tanpa koalisi. Ini sebenarnya yang harus dipikirkan Megawati, bukan memaksa Puan Capres dan membuang Ganjar, tapi sekali lagi ini juga pilihan yang berbahaya. Akan lebih aman jika Megawati mengalah dengan menggandeng partai lain sebagai teman koalisinya.

Kekalahan dalam setiap pilihan yang penuh risiko--mendorong Puan, atau memasangkan dengan Ganjar tanpa koalisi, maka besar kemungkinan pamor PDI-P akan hancur lebur ditelan ambisiusnya Megawati. Kehilangan kader, dan menurunnya militansi pendukungnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun