Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Apakah Kritik Pemerintah Harus Dengan Cara Bjorka?

16 September 2022   10:14 Diperbarui: 29 September 2022   10:35 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi -hacker bjorka-Pojoksatu.id

ilustrasi-bjorka dan nikita-pikiranrakyat.com

Ketika  Bjorka muncul mengejutkan kita dengan "kritik tajamnya" kepada pemerintah, banyak orang menduga, tindakannya dengan segera akan dicaci maki. Sosok Bjorka adalah seorang hacker!. 

Hacker selalu dikonotasikan buruk karena sifat agresifitasnya ketika menyerang. Entah dengan menebar virus yang membuat jaringan mati, atau membuat laman sebuah institusi hang, seperti pernah dialami kantor lingkungan tempat saya bekerja dulu ketika mengkonfrontir sebuah pemberitaan yang menindas petani sawit.

ilustrasi-hacker-indonesia-632544304addee1339203d22.jpg
ilustrasi-hacker-indonesia-632544304addee1339203d22.jpg
bjorka-tribunews.com

ilustrasi - bjorka-pikiran rakyat
ilustrasi - bjorka-pikiran rakyat

ilustrasi -hacker bjorka-Pojoksatu.id
ilustrasi -hacker bjorka-Pojoksatu.id

Menariknya,  publik justru terbelah dua, pro dan kontra. Tentu saja kelompok kontra adalah mereka yang masih berpikir pragmatis. Meminjam istilah George R. Knight (1982). Pragmatisme biasanya ; memusatkan perhatian pada hal-hal dalam jangkauan pengalaman indera manusia, apa yang dipandang benar adalah apa yang berguna atau berfungsi, dan manusia bertanggung jawab atas nilai-nilai dalam masyarakat. 

Para penganut pragmatism, Bjorka apapun ceritanya adalah hacker dan kelakuannya dianggap sebuah kesalahan. Sebagian orang berpikir jika hendak mengkritik semestinya sampaikan saja secara langsung.

Tapi--ketika sebuah pemerintahan atau orang didalamnya bersikap  "bebal"  atas suara dan desakan rakyat, kita rasanya jadi ragu untuk memakai cara-cara prosedural. 

Ingat, meskipun kita menggunakan patron demokrasi prosedural, sebagai patron tindakan berpolitik, tapi nyaris sebagian besar politisi kita adalah para pembangkang demokrasi. Sebut!, saja siapa diantara mereka yang tidak masuk dalam kategori ini. Kita masih bisa menggunakan semua jari yang kita punya dan itu sudah cukup.

ilustrasi-bjorka cirebon?-bisnis.com
ilustrasi-bjorka cirebon?-bisnis.com

Maka dalam konteks pemerintahan yang merusak demokrasi politik. Ketika asas kedaulatan rakyat yang diinjak-injak. Kebaikan sosiologis sebuah undang-undang yang tidak dipenuhi. Pemerintah tidak mendengar apalagi mengabulkan, meskpun rakyat intens menolak.  Aspirasi yang tidak diindahkan dan tidak membuka kompromi dengan rakyat. 

Mengganggu demokrasi hukum, ketika asas kedaulatan hukum dilecehkan. Merusak demokrasi ekonomi, ketika kekuasaan ekonomi kerakyatan atau pemihakan kepada kelompok. Sistem kapitalisme dibuat semakin mengakar, dan Merendahkan demokrasi budaya. 

Sulit bisa berlakunya azas keadilan dan "kebebasan" untuk bersuara lebih vokal. Maka para kelompok pro, yang diwakili suaranya kurang lebih seperti bentuk kritik dan protes Bjorka menjadi punya teman sepenanggungan. Maka dengan segera orang bersikap permisif menerima kritik Bjorka sebagai sebuah kebenaran yang mestinya dilihat, dan direspon pemerintah dengan positif juga.

Positif, dalam arti, meskipun yang diungkap Bjorka adalah kelemahan dan "kejahatan" pencurian informasi, namun memiliki dualisme tujuan. Sebagai perbaikan dan kritik keras mengungkap kelemahan pemerintah sekaligus.   Bayangkan saja, 150 juta data KPU yang berisi data personal milik publik yang "rahasia" mestinya harus ditutup rapat, tapi kebobolan. Kritik itu sebagai eskalasi ketidaksukaan warganet kepada Kominfo yang bulan lalu sempat memblokir sejumlah situs dan aplikasi yang belum mendaftar di penyelenggara sistem elektronik (PSE).

Ini bukan lagi sekedar pencurian biasa, ini bisa saja menjadi sangat politis. Tentu kita ingat debat soal Pilpres 2024. Meskipun Pemilu, secara resmi akan dilaksanakan pada tahun 2024, tepatnya pada 14 Februari 2024, namun yang menarik adalah munculnya wacana pelaksanaan pemilu berbasis teknologi digital. Pasalnya usulan tersebut mencuat dalam Rapat Koordinasi Digitalisasi Pemilu Untuk Digitalisasi Indonesia, pada Selasa, 22 Maret 2022 di Bali.

bjorka-dan-kominfo-jpg-6323ed4f06b56a1e4400f562.jpg
bjorka-dan-kominfo-jpg-6323ed4f06b56a1e4400f562.jpg
ilustrasi= bjorka dan kominfo-gamebrott.com

ilustrasi-pemerintah dan bjorka-ayobandung
ilustrasi-pemerintah dan bjorka-ayobandung

Dalam rapat tersebut Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), mendorong digitalisasi Pemilu 2024 dengan penerapan e-voting (electronic voting). Alasannya, pengadopsian teknologi digital dalam pemilu ini memiliki manfaat guna mewujudkan efektivitas dan efisiensi dalam proses kontestasi politik yang legitimate baik. 

Nah, tentu saja kita sepakat soal yang satu ini, apalagi pemilu selama ini menghabiskan dana hingga puluhan triliun. Namun, Bjorka mengingatkan kepada kita mumpung masih jauh dari 2024, bahwa keputusan untuk menggulirkan wacana digitalisasi pemilu patut dipertimbangan dan ditinjau lebih kritis lagi.

Bagaimana bisa kita melangkah kesana, jika pusat data kita saja masih bisa dibobol orang. Bukan tidak mungkin kasus seperti Hillary Clinton versus Donald Trump terjadi di Indonesia. 

Tak hanya akan mencederai demokrasi dan politik, tapi Indonesia bisa-bisa akan dipimpin orang menurut  "pesanan". Artinya, siapa menguasai uang untuk "membeli" teknologi, maka ia akan jadi pemenang, tak penting lagi demokrasi prosedural apalagi politik demokrasi Pancasila-dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat.

Apakah diskusi kita kejauhan dari fenomena Bjorka?. Menurut saya,  semua bisa menjadi kenyataan dan bisa dipolitisir. Terlepas dari urusan lain bahwa ada orang menduga Bjorka hanya "orang pesanan" untuk mengalihkan isu BBM dan Kasus lain, seperti kasus kolosal Polri. Bisa jadi, karena apapun praduga bisa saja muncul dalam kondisi pro kontra kehadiran Bjorka sebagai sebuah fenomena yang langka dan tidak biasa.

Ternyata Aku, Kita? Bjorka

ilustrasi-kita bjorka-disway
ilustrasi-kita bjorka-disway

Banyak orang merasa jengan dan marah dengan pemerintah, para mahasiswa dan buruh menggelar demo untuk menyampaikan "aspirasi"--bahasa eufimisme untuk --"marah besar".

Setiap kali ada kasus, kebijakan melawan keadilan aku juga merasa kesal dan marah, namun medium yang digunakan seperti media mainstream, meskipun bisa menjangkau khalayak namun mungkin hanya menyentuh kelompok tertentu. Menggunakan media sosial meskipun lebih populer juga harus berhati-hati ketika memilih dan memilah informasi agar tak tersandung UU ITE.

Maka wujud aspirasi kekesalan kita adalah narasi keras. Tapi sekali lagi, suara itu tidak akan mempan untuk pemerintahan dan politisi yang bebal berkarat.

Maka kita ingin mengkritisi pemerintah seperti Bjorka, berkata lantang tidak sekedar satir. Tapi terlalu banyak yang harus disiapkan, kapasitas SDM berteknologi tinggi, dan kemampuan untuk "hit and run" ketika beraksi. Bahkan Edward Snowden saja, harus bersembunyi, berlari dari kejaran "mesin pencari digital" yang ia gunakan sebagai senjatanya. 

Ia bersembunyi secara "manual", tak menggunakan akses teknologi apapun yang tersangkut ke sistem digital.

Tapi sesungguhnya aku, kita, jangan-jangan Bjorka yang bersembunyi di balik kesantunan narasi, kehalusan visual, padahal kita memiliki "bibit"pemberontak yang bisa meledak kepada pejabat pemerintah kita yang selalu saja bersikap "apatis" dan bebal mendengar suara rakyatnya. 

Satu contoh termutakhir kenaikan BBM, kita tak tahu kemana akan berujung, ditengah desakan "rakyat" untuk mengembalikan situasi menjadi lebih kondusif, kala ekonomi masih morat-marit paska pandemi. Apakah ini akan didengar jika dilakukan dengan cara baik-baik saja?. 

referensi; 1,2,3

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun