Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Lahir Abnormal, e-KTP Terus Menuai Masalah

13 September 2022   20:04 Diperbarui: 17 September 2022   19:38 802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi-kasus SN e-KTP-korantempo.id

Di tahun 1990-an, pernah terjadi kasus menarik. Seseorang yang berprofesi sebagai cleaning service menjadi terduga pelaku kejahatan perbankan. Sulit untuk membuktikannya karena pelaku tak menunjukkan kemampuan atau latar belakang pendidikan perbankan apalagi IT. Tim penyidik tak menemukan bukti kecurigaan, karena tak bisa mengarahkannya sebagai tertuduh.

2017-04-12-lingkaran-api-mega-skandal-proyek-e-ktp-63254bd708a8b544bd179587.jpg
2017-04-12-lingkaran-api-mega-skandal-proyek-e-ktp-63254bd708a8b544bd179587.jpg
ilustrasi-kasus SN e-KTP-indonesiana

2017-03-14-13-21-19-6b9433ad1a9c0e38319c7f7c6937ac04-6320abf104dff05b1165b273.jpg
2017-03-14-13-21-19-6b9433ad1a9c0e38319c7f7c6937ac04-6320abf104dff05b1165b273.jpg
ilustrasi-e-KTP-katadata

Hingga suatu hari si pelaku tanpa disadari membayar uang parkir di dekat rumahnya. Atas dasar petunjuk itu, akhirnya diketahui bahwa petugas cleaning service tersebut ternyata seorang hacker-yang menciptakan sebuah sistem yang membuat seluruh transaksi perbankan di negaranya akan melalui "sistemnya". Potongan untuk setiap transaksi hanya bernilai beberapa sen saja. Namun karena melibatkan ratusan ribu bank dan jutaan transaksi, maka nilai hasil "curiannya"bernilai ratusan milyar.

Apa yang menarik dari kasus itu adalah bagaimana kejahatan yang nyaris tak terdeteksi itu bisa terkuak. Jawabannya karena sistem pendataan penduduk untuk berbagai kebutuhan pengurusan administrasi kependudukan sudah terintegrasi, sehingga satu penduduk memiliki satu identitas kunci yang berbeda untuk setiap orangnya. Sehingga saat penelusuran jejak bisa dengan mudah terdeteksi.

Dan inilah salah satu problem kependudukan kita saat ini. Ditambah kasus pembobolan oleh Bjorka--hacker yang masih hangat beritanya.

ilustrasi- KTP elektronik-disdukcapilbogor
ilustrasi- KTP elektronik-disdukcapilbogor

E-KTP bermasalah sejak lahir

Sejak awal Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) lahir sudah menuai hujatan, apalagi lahirnya "dibidani" Papa Minta Saham, dengan banyak cerita unik dan lucu dari tersangka tiang listrik yang membuat SN sakit 6 jenis penyakit kronis,dan sembuh hanya karena satu dosis obat,"putusan bebas bersyarat. Meski berakhir di hotel prodeo juga.

Sebuah akun di twitter pernah berkeluh kesah soal KTP, "KTP elektronik itu scam. Dalam penggunaannya ttp aja difotokopi. Sejak dapat eKTP ini dari 2012 ga pernah tuh diminta tap kayak e-money buat urusan2 birokrasi. Ttp aja fotokopi". Lantas apa gunanya chip di KTP jika begitu.

Padahal chip pada e-KTP ini merupakan teknologi inti kartu pintar berbasis mikroprosessor dengan memori sebanyak 8 KB. Memori itu memuat data biodata pemilik, tanda tangan, pas foto, dan dua data sidik jari, secara default-nya sidik telunjuk tangan kanan dan sidik jari telunjuk tangan kiri.  

Biometrik merupakan identifikasi individu berdasarkan ciri-ciri yang melekat padanya,seperti ciri fisiologis, sidik jari, mata maupun suara. Data tersebut otomatis disimpan di pusat data di Kemendagri saat pengurusan e-KPT. Belakangan isu rusuhnya, adalah dibobol "maling data" (hacker).

Chip e-KTP ini tidak akan terlihat, tersembunyi dilapisan keempat e-KTP, bahkan telah memenuhi standar ISO 14.443 A, dan ISO 14.443 B untuk menjaga kerahasiaan data pemilik e-KTP. Dengan dua fungsi, ketunggalan identitas dan proses verifikasi. Itu artinya tak ada e-KTP  yang sama, milikmu itulah satu-satunya di Indonesia,tiada duanya, dan hanya kamu yang bisa verifikasinya.

Nah, bukankah data itu sangat personal--bayangkan saja, sidik jari di seluruh dunia tidak ada yang sama. Dan bagi para penjahat, itu juga berarti satu keuntungan, karena bisa "diolah" jadi satu modus kejahatan.

Maka bermunculanlah kasus, ada orang tak tahu menahu soal bank,tiba-tiba mendapat tagihan. Ada orang mengharamkan pinjaman online (pinjol),tiba-tiba terdaftar sebagai nasabah. 

Ada Mantra Pembukanya

Terdapat tiga cara melakukan verifikasi data e-KTP ini, yakni NIK, akses biometrik seperti foto, sidik jari, dan alat baca card reader. nah, problemnya adalah tak semua lembaga di negara kita difasilitasi alat pembukanya.

Contoh paling mudah, ketika kehilangan ATM dan buku tabungan, saya memperbaharui di bank terdekat. Ketika dipindai ulang via NIK di e-KTP, ternyata datanya masih lengkap, jadi saya cukup menyebutkan satu mantra saja, yaitu "nama ibu kandung". 

Setelahnya semua urusan beres, tanpa butuh fotokopi e-KTP. Sebabnya karena sistem di bank sudah terintegrasi yang memungkinkan pihak admin bisa membaca data elektronik digital hanya dengan bantuan e-reader. Jika sudah begitu tak ada gunanya fotokopi e-KTP yang sering membuat kita uring-uringan.

Tak bisa dibayangkan jika urusan pengambilan BLT di daerah terpencil misalnya diharuskan menyertakan fotocopy e-KTP karena kantor tak punya alat verifikasi card reader. Bisa-bisa ongkos naik rakit ke kota terdekat dan jatah BLT imbang-impas.

Dalam banyak film yang kita tonton, tidak sedikit ditunjukkan bagaimana seorang penyelidik membuka tabir kasus, seperti penculikan, pembunuhan, kekerasan hanya berdasarkan bukti sewa kendaraan atau pembelian karcis parkir. Apalagi jika sudah melibatkan penggunaan perangkat transaksi keuangan digital seperti ATM dan E-banking.

Dalam kasus polri yang paling kolosal yang saat ini masih dalam tahap penyidikan ditemukan kasus transaksi pencurian dana ratusan juta milik korban yang dengan cepat terdeteksi, karena sistem digital memungkinkan ditelusuri jejaknya dengan mudah. Semua transaksi terekam dalam sistem ter-enskripsi yang rumit secara manual, namun mudah menurut mesin.

Hampir sebagian besar transaksi kita melibatkan data elektronik, mengurus administrasi SIM, BPJS Kesehatan, mendaftar sekolah, membuka rekening, pengurusan rental kendaraan dan banyak urusan lain yang melibatkan minimal e-KTP.

Apakah dengan kelemahan pemerintah saat ini karena masih minim card reader, menjadikan fungsi chip menjadi tidak efektif?. Masih manualnya banyak sistem urusan administrasi menjadikan e-KTP tidak efisien, maka muncullah banyak keluhan. Padahal sebagian besar data telah direkam, termasuk golongan darah, untuk keperluan transfusi yang sering menjadi masalah saat kita dibutuhkan.

Informasi yang dimiliki Kemendagri itu mestinya bisa bersinergi dengan data di rumah sakit, kepolisian, bank, BPJS, pengadilan, bahkan dengan Kemdikbudristek dan Kemensos. Jadi tiap instansi tidak perlu punya data sendiri-sendiri yang memboroskan anggaran.  Disinilah tugas Kemkominfo untuk mensinergikan dan menjaga agar data di e-KTP itu tidak bocor. 

Tantangan berikutnya adalah bagaimana menjaga data rahasia itu agar tak menjadi bahan permainan, apalagi sampai dibawa-bawa untuk urusan politik Pilpres 2024. Ingat bagaimana Donald Trump jatuh, betapa sakitnya.

referensi;1,2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun