ilustrasi-dugaan penampakan bjorka-ragamindonesia.com
Tanda-tanda gairah publik mulai kendor, terlihat dengan intensitas pemberitaan dan respon publik yang mulai menganggap kasus kolosal polri seperti kasus biasa. Publik jengah dan bosan karena kasus diulur tidak jelas.
Satu-satunya yang ditunggu adalah persidangan kasus nantinya. Hanya saja publik skeptis jika kasus akan memiliki perkembangan baru, apalagi mewakili keadilan yang diharapkap publik.
Kini penanganan sepenuhnya sudah masuk dalam wilayah internal--keterlibatan publik, seperti mendorong agar kasus transparan, agar tersangka terbongkar, termasuk juga motif, telah sampai pada anti klimaks, bahwa motif, skenario dan rekonstruksi meskipun memberikan catatan berbeda atas temuan fakta, termasuk bantahan beberapa saksi, namun seeprti telah "dikondisikan atau diskenariokan" akan menjadi versi yang berbeda.
Peran Publik
Diawal kasus merebak, ada yang bilang terbongkarnya kasus Sambo karena peran besar pengawasan publik ketimbang lembaga eksekutif seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), walaupun Kompolnas lah yang memiliki peran dan fungsi sebagai pengawas Polri. Contoh kecil walaupun Pak Mahfud sangat kritis tapi anggotanya di bawah terlihat sekali mengikuti apa yang justru salah dijelaskan oleh pihak kepolisian.
Kompolnas, Komnas HAM kena pranks karena menerima mentah, kabar dari sambo yang menjalar ke seluruh institusi, tapi dilakukan klarifikasi apapun, dasarnya kepercayaan dan kredibilitas para pemegang jabatan. Nyatanya, hal itu terbukti tak lagi bisa menjadi ukuran profesionalitas institusi Polri saat ini.Â
Jika publik diam, pengacara atau kuasa hukum apra tersangka tak banyak koar-koar di media, maka kasus akan tenggelam menjadi kasus biasa. POlisi menembak polisi karena suatu alasan kejahatan dan begitulah akhirnya
Publik berada di seberang jalan, ketika pada akhirnya Polri lebih membela institusinya yang ternyata berisi oknum daripada membersihkan diri. Tentu saja ada yang memakluminya, apalagi dalam institusi polisi, korsa adalah "nyawa" yang harus dijaga.Â
Kasus ini adalah ujian kepada komitmen dan ketaatan korsa pada tribrata--kepada nurani, kepada rakyat yang menjadi alasan keberadaan polri.Â
Hal itu adalah keniscayaan yang tak boleh terjadi. Kepolisian harus mulai menumbuhkan kepekaan terhadap hal-hal yang bersifat penting dalam menjaga independensi kepolisian. Kepolisian tidak boleh jatuh di lubang yang keledai, setelah mengalami reformasi dan transisi perbaikan yang cukup positif melalui Polri presisi, karena itu bisa menjadi preseden seperti kejadian kasus Sambo.
Persoalan kultural, instrumental, struktural dalam kasus Ferdy sambo ini bukan hanya soal pembunuhan dan pembunuhannya juga direkayasa ditutupi dengan begitu canggih, sehingga seolah bukan seperti pembunuhan yang melibatkan begitu banyak orang tapi juga proses pengusutannya pun begitu lambat di awal.
Reformasi empat pilar oleh Kapolri sejak setahun belakangan langsung mendapat pukulan telak atas terkuaknya kasus Sambo. Sambo menjadi oknum yang menggambarkan betap buruknya institusi POlri saat ini. Sekalipun klarifikasi telah disampaikan, tak menutup adanya fakta bahwa institusi Polri telah mengalami "pebusukan" dari dalam yang dilakukan oleh para oknumnya.