ilustrasigambar-sepatumahal-dewiku.com
Pilih Nyaman Atau Modis?
Sampai sekarang debat ugly fashion, masih tetap bikin bingung tapi juga penasaran. Tak hanya para fashionista, orang awam masih berfikir kalau membeli brand terkenal dan mahal, pasti barangnya kualitas terbaik.Â
Menurut sebuah video yang dirilis oleh The List, sayangnya, hal tersebut belum berlaku untuk semua merek Internasional. Tak perlu jauh-jauh, beberapa brand fashion yang sudah akrab namanya di telinga ini, ternyata tidak mementingkan kualitas produk yang semahal harganya.Â
Video dengan narasi catchy, membeberkan beberapa fashion brand, tapi ternyata tak menjual kualitas yang berbanding lurus dengan harga produk mereka yang super mahal.
Christian Louboutin, sepatu berhak tinggi dengan sol merah menyala ini, ternyata di balik keelokan lekukan desain heels setiap sepatunya, Â ternyata menyebabkan rasa sakit, tapi uniknya, biasanya ditahan oleh mereka yang mengenakannya demi model atau tren.
Dengar apa kata designernya, Christian Louboutin bahwa, fokus utamanya saat menciptakan setiap rancangan baru, adalah estetika desain bagian luar sepatu, dan untuk kenyamanan si pengguna, bukanlah fokus utamanya. Jadi menderita demi fashion, mungkin terbukti saat memakai sepatu hal Loubutin.Â
Bagaimana menurutmu jika pola--atau gambaran kemiskinan atau tepatnya label kemiskinan berupa barang gembel, kumal, lusuh ternyata dijadikan komoditi branded?. Atau berapa penawaranmu untuk sebuah sandal berpenampakan seperti botol plastik minuman mineral yang tergilas mobil ?.Rp. 100 ribu?, Rp 500 ribu?, bagaimana jika ada yang menjualnya 895 Euro atau setara Rp.13,5 juta?. Lol, yang membelinya pastilah sangat eksentrik atau sekedar cari sensasi!. Ini penampakan produknya.
Barangkali terlalu jauh jika menghubungkan dengan cerita kemiskinannya C.K Prahalad yang terkenal dengan Bottom of pyramid-nya, yang bilang bahwa kemiskinan itu bisa jadi sumber daya selama bisa dikelola dan betul mengelolanya.
Dan bisa jadi "gagasan" mengkomersilkan ide orang susah mungkin tercetus dari pikiran ala Prahalad itu. Bagaimana caranya "branded" berpatron orang susah, mewakili gambaran --kemiskinan justru bisa punya nilai jual dan daya tarik eksentrik.
Cerita tentang "sepatu kusut" Paris Sneaker milik Balenciaga adalah salah satu bukti, bahwa kemiskinan ternyata bisa dijual menjadi komoditas mahal yang harganya melawan nalar. Harganya  $1850 atau setara Rp.27,5 juta, untuk setiap pasang "sepatu bututnya". Dan edisinya menjadi spesial karena hanya diproduksi 100 buah. Lantas penjualan branded dari rumah mode dunia itu diikuti oleh barisan merek besar lainnya; sebut saja Gucci, Golden Goose, Balmain, dan Yeezy.
Bayangkan sepatu gembel ala Balenciaga itu dibanderol  dengan harga fantastik untuk ukuran tampilan yang katanya estetik, tapi sama sekali aneh. Jika yang pakai Justine Bieber, orang tak akan mencibir, karena penampakan itu sama sekali tak mewakili "kemiskinan" yang sebenarnya. Beda jika kalangan jelata memakai sepatu itu, meskipun mereknya Balenciaga, tapi itu terjadi karena tak ada pilihan sepatu lain selain sepatu butut itu satu-satunya.
Bahkan orang miskin akan merasa dilecehkan martabatnya"sekalipun sudah miskin" jika diharuskan memakai sepatu "miskin" tersebut. Terlepas dari apapun model yang sedang jadi trendnya-kecuali jika di bawa ke Citayam Fashion Week, barangkali Balenciaga itu akan bikin geger!.Â
Apakah mungkin mengadopsi pola Ugly Fashion di Citayam Fashion Week, dan UMKM Kita, bukankah ini menjadi lokomotif lahirnya branded lokal yang bisa diterima pasar melalui trend yang diciptakan?.
Ugly Fashion-Outfit sama dengan misquen branded?
Perhatikan banyak rapper dunia tampil dengan baju nyaris serampangan. Tapi itu tak membuat mereka di cap misquen alias orang papa. Justru gaya mereka menjadi pencipta trend, sehingga berbondong-bondong orang mengikutinya tanpa dasar apapun kecuali sekedar mengikut trend. Soal cocok dan tidak cocok urusan ke-16.Â
Ibarat gadget, fashion juga berkembang pesat. Jika diikuti bakal tak ada habisnya. Setiap even selalu saja menghadirkan barang dan menghasilkan trend baru. Bahkan jika barang itu terlihat murahan. Bisa-bisa mendekati norak dan kampungan. Tapi namanya trend tetap saja diburu dan ada peminatnya.
Bahkan ada barang yang bisa disebut ugly fashion karena betul-betul absurd bentuknya. Ketika muncul anting-anting Balenciaga (mirip) tutup botol bekas yang dibanderol sampai Rp6 jutaan, wajar saja sih kalau orang-orang bertanya-tanya 'siapa coba yang mau beli'?.
Tapi tetap saja ada yang nyari, dengan alasan "investasi"?. Dengan jumlah produksi dan kenehannya justru bisa punya nilai jual tinggi di masa yang lain. Sebagai barang aneh tapi mahal. Bukan tidak mungkin nantinya akan menghuni museum mode, karena dianggap langka!.
Jil Sander pernah mengeluarkan tas dengan model paper bag, yang lebih mirip seperti pembungkus roti. Tapi tunggu dulu coba lihat banderol harganya, tidak main-main, hampir Rp3 juta!
Tas yang didesain oleh desainer kenamaan Jerman ini terlihat aneh dan murahan. Lihat aja, meskipun materialnya menggunakan kulit, namun bentuknya yang miri paper bag pembungkus roti yang biasa kita jumpai. Tapi karena dirancang oleh desainer terkenal, tas aneh ini ternyata juga banyak peminatnya.
Menjual Kemiskinan?
Apakah produk itu sebuah cara satir atau mungkin protes atas fenomena kemiskinan?. Atau apakah trend itu akan membangun sebuah kesadaran baru tentang kemiskinan?. Entahlah, karena komoditas itu memang tak diperuntukkan kalangan misquen, tapi hanya menjadikan kemiskinan sebagai "komoditas" jualan.
Cobalah perhatikan desain lain ala Nordstorm benar-benar sengaja membuat jeans yang tampak kotor. Tapi harganya?.  Rp 5,8 juta!. Begitulah dunia hari ini, bahkan ugly fashion yang mewakili gambaran orang susah, ternyata bisa menjadi  komoditas yang mahal tapi sama sekali tak ada kaitan dengan pengentasan apalagi kemakmuran bagi orang miskin!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H