Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Artikel Pertama di Kompasiana dan Kisah Tiga Guru SDN Liyan

30 Agustus 2022   11:57 Diperbarui: 31 Agustus 2022   12:18 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi gambar-sekolah terpencil-republika

Barangkali aku bisa disebut golongan penulis Ashabul Kahfi di Kompasiana. Itu lho, kisah 7 pemuda dan seekor anjing yang masuk gua dan tertidur selama 600 tahun didalamnya. 

ilustrasi gambar-artikel pertamaku di kompasiana  Desember 2011 silam-dokpri
ilustrasi gambar-artikel pertamaku di kompasiana  Desember 2011 silam-dokpri

Sepotong Kebaikan dari Tulisan

Aku membuat akun di akhir tahun 2011 (seperti masuk gua) kemudian tertidur lama. Alasan masuk ke kompasiana pada 06 Desember 2011, karena perasaan miris pemberitaan tentang sebuah SD kecil di Liyan. Aku pikir, jika berita itu disebar dan tampil di Kompas(iana), akan bisa lebih keras sounding-nya. 

Siapa tahu para pejabat negara yang duduk di Jakarta tahu, dan ingat bahwa ada wilayah di Indonesia, nun jauh di Liyan--Palu Sulawesi Tengah, disana ada pahlawan yang tak bersuara lantang, tapi bertindak nyata sebagai PAHLAWAN, seperti banyak pejuang tanpa tanda jasa lainnya di negeri ini. 

Dedikasi mereka luar biasa, sejak 1996 hingga 2011 ketika tulisan dibuat, mereka bergaji Rp.350.000,-/bulan/dibayar per 3 bulan). Padahal misi mereka jauh di atas langit impian kita, “ Agar anak-anak menjadi lebih baik, kerja lebih baik dan nasibnya berubah menjadi lebih baik dari sekarang”!.

Ini potongan kisah miris itu: 

Liyan adalah sebuah dusun kecil di daerah perbukitan di wilayah Palu, Sulawesi Tengah. “Sekolah Gunung” mereka, harus ditempuh dengan berjalan kaki berjam-jam, melintasi bukit melalui jalan setapak. Dulu, bahkan harus dibantu menggunakan akar pohon untuk bisa naik ke bukit menuju sekolah terpencil itu. 

Ridwan, Asdia dan Mesak Soda adalah para perintis yang hingga hari ini terus membagi hati dan keringatnya untuk kemajuan dusun kecil itu, semata-mata karena kasih sayang dan kecintaannya pada anak-anak. Mereka yang punya tekad tapi tak punya kesempatan seperti anak lainnya untuk bisa mengenyam bangku sekolah. Tak penting bersepatu atau tidak, yang utama, mimpi bisa sekolah-nya tercapai. 

Sesederhana itulah keinginan dan mimpi mereka, yang terus dan berusaha dibangun oleh "guru Laskar Pelangi"dari Palu, hingga hari ini, hingga detik ini.

Artikel lengkapnya berjudul Kisah SDN Kecil Liyan Palu Sulawesi Tengah (Bagian Negeri Indonesia Juga), menjadi rekor "luar biasa", karena menjadi satu-satunya tulisan yang saya publish selama 365 hari di tahun 2011.

Di tahun berikutnya 2012, aku membuat rekor lebih "dahsyat" lagi, tak menulis satupun artikel selama 365 hari. Sungguh fantastik. saya tidak ingat persisnya mengapa, apakah karena kesibukan menjadi volunteer di NGO lingkungan atau karena lupa punya akun di kompasiana. Apalagi waktu itu belum familiar dengan "colek tetangga kompasiana"alias walkingblog--silaturahmi antar keluarga kompasiana. Bahkan comment dan like juga belum paham.

Lucunya di tahun 2013, kejadian lagi sebuah SD terpencil di Pameu terlantar, hati tergerak lagi menulis tentang keprihatinan itu. Bahkan ketika itu saya niatkan mulai menulis tentang"  sekolah terlupakan di 3 T-Tertinggal, Terluar dan Terjauh. Tapi ternyata 365 hari hanya terpakai 3 hari, itu artinya 362 hari bolong tanpa artikel satupun.

ilustrasi gambar-artikel keduaku di kompasiana 2013 silam-dokpri
ilustrasi gambar-artikel keduaku di kompasiana 2013 silam-dokpri

Tiga artikel itu, tentang SD Pameu, Pameu; Lesehan di Sekolah Negeri Antara, pertandingan volley di sekolah almamater, SMA Negeri 5 Darussalam Taklukan SMA 4 DKI Jakarta. Sebenarnya ini bukan liputan tanding nasional, sebuah kebetulan SMA 4 Banda Aceh mendapat bantuan hibah dari DKI Jakarta, maka jadilah namanya seperti itu. Tulisan itu dibaca 403 kali oleh para tamu yang berkunjung. Artikel ketiga tentang politik Otonomi dan Hantu Korupsi.  Dengan tiga tulisan itu, terlihat sejak awal saya ternyata jenis penulis "Palugada" (apa lu mau gue ada-meminjam istilah dari Acek Rudy).

Rekor Turun Tak Naik-Naik

Di tahun 2014, rekor justru turun lagi, karena cuma bisa menyumbang dua tulisan dari 365 hari setahun  di  2014. Sekali lagi saya juga tak ingat apa sebab dan alasannya.  Kedua tulisan  itu tentang lingkungan karena kebetulan momentum Hari Bumi-‘Avatar’ dan Hutan Kita.Dan Artikel kedua tentang listrik padam yang tak kunjung ada solusi, "‘Lingkaran Setan’ Listrik Aceh".

2015 nol artikel tak ada apapun menghiasi layar artikel di akun kompasianaku. Di tahun 2016, aku menulis lagi 5 artikel, cuma lima dalam 365 hari, dan 1 humaniora dan 4 tentang politik. Ini juga rekor buruk lainnya.  Otonomi Anak, Sebaiknya DiBebaskan Atau Dikurung?, Metamorfosa Jihad, 'Platform' Baru Politik Ulama Aceh, Mengawal APBA 2016, Dicari, Pemimpin Bervisi Benar!. Lucunya ke 5 artikel itu ternyata cuma pemuatan ulang dari artikel yang terbit di Harian Srambi Indonsia Banda Aceh.

Tahun 2017 kembali zero artikel, jadi dilanjutkan ke tahun 2018, dengan 11 artikel, rekor terbanyakpertama,  menulis 11 artikel selama 365 hari!.

2019 kembali turun cuma lima artikel, salah satunya Asimilasi Korupsi dan Frustasi Sosial, artikel yang dimuat di Harian Analisa Medan. Tahun 2020 cuma 5 artikel juga. Mulai tahun 2020 menulis banyak tak terhitung lagi, dengan 4 yang jadi berita utama--harus bersyukur dengan apapun pencapaian, karena itu sudah luar biasa, Bagi "penulis bergaya kangguru", melompat dan berhenti, lalu melompat lagi.

Tapi di tahun ini saya mulai mendapatkan K-Reward pertama dengan 39,4 ribu pembaca, syukurlah, ada dana untuk beralih ke kelas premium nantinya. dan selanjutnya K-reward terus berlanjut.

Pada tahun 2022, barulah mulai aktif menulis, tak ada bulan yang terlewat, kecuali K-Reward yang tak sampai, jika tulisan tak memenuhi kuota jumlah minimum. Tapi memang benar, bahwa menulis di Kompasiana meskipun tersedia reward, kita nyaris "mengabaikan", karena sebagian dari kita adalah para penulis lepas yang menjadikan menulis di Kompasiana selain bentuk eksistensi bakat dan minat, dan mencari kegembiraan sambil menjadi "penulis pembelajar".

Saya belajar banyak dari para senior, apalagi para jawara kompasianer 2021 lalu, para anak muda hebat, dan mereka layak mendapat predikat juara itu.

Jadi teruslah menulis, karena menulis seringkali harus diikuti dengan aktifitas membaca dan membaca, apapun itu akan memberi kita pengetahuan dan pemahaman baru, (sekalipun bacaan dari sumber yang buruk--tapi waspadalah). Menulis membuat saya terus berpikir tentang banyak hal, dari yang tampak, hingga yang "ghaib"--fenomena, yang harus ditangkap dengan analisa pikiran sebelum turun ke layar "menulis".

Walkingblog, itu mungkin yang bisa selalu kita coba lakukan, sebagai cara kita saling menyapa selain ber-komen dan ber interaksi. Terutama bagi para sahabat kompasianer yang baru menjadi bagian dari keluarga besar kita. Salam kompasiana!  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun