Apalagi  klarifikasi bantahan adanya  temuan bunker berisi uang 900 M di rumah Irjen Ferdi Sambo, langsung oleh Timsus Polri. Publik menganggap informasi itu sangat tidak independen dan sarat dengan rahasia dan kecurigaan
Jika benar temuan bunker bukan hoaks, keberadaan bunker akan menjadi justifikasi publik, bahwa bukan tidak mungkin banyak pelaku kejahatan seperti Sambo memainkan pola dan cara yang sama. Menyimpan hasil kejahatan dengan cara menyimpannya di bunker dalam bentuk tunai.
Sebagai cara aman dan tindakan kamuflase bagi penelusuran jejak keuangan, dibandingkan jika menggunakan tabungan, transaksi online atau digital yang dapat diendus jejaknya oleh tim digital forensik, dan terdeteksi KPK. Jadi pola ini adalah pola standar yang kini dilakukan para penjahat.
Temuan bunker, jika terbukti benar, menunjukkan kejahatan pencucian uang atau money laundering seolah kejahatan biasa---bukan extra ordinary crime. Kasus dugaan temuan bunker berisi uang tunai 900 milyar adalah "uang besar" yang tak mungkin akan disia-siakan begitu saja, hanya sampai pada barang bukti yang mungkin nantinya akan disita negara. Apakah ada yang rela?
Kedua;Â Fakta Sambo adalah kepala satuan tugas khusus Merah putih, pembubarannya tidak ditindaklanjuti dengan pengembangan kasus melalui investigasi mendalam.
Satgasus itu bertugas mengatasi berbagai persoalan-persoalan besar, jaringan narkotika, perjudian, human trafficking, bisnis esek-esek. Meskipun pada akhirnya Kapolri membubarkan satgasus Merah Putih, namun tidak diikuti dengan tindakan penelusuran kembali kasus-kasus yang pernah ditangani oleh tim khusus tersebut, seperti harapan publik.Â
Bukan tidak mungkin nantinya akan terbongkar kasus kejahatan lain berkaitan dengan kerja-kerja mereka sebelumnya, ketika dilakukan investagasi ulangan.
Tentu saja ini akan menjadi investigasi yang sangat riskan, karena jika ditemukan unsur kejahatan dalam keberhasilan tugas satgasus ini, maka ini adalah preseden terburuk bagi Polri. Apakah ini sebuah pilihan, ketika Polri bertransformasi?. Ini sungguh berat dan nyaris tak mungkin dilakukan.
Ketiga; PPATK dan KPK tak begitu gesit memburu seperti memburu para koruptor hingga ke sarang semut.
Banyak persoalan psikologi internal, polri dengan multistakeholder atau mitra yang menjadi tandem dalam kerja-kerja mereka di wilayah, hukum, HAM dan keamanan. Mereka selama ini adalah patner yang solid dalam memberantas kejahatan. Jika kasusnya terjadi diantara mereka, maka akan menjadi ganjalan tersendiri dalam pengusutannya.
Keempat; Apakah dengan ditetapkan FS menjadi tersangka, secara otomatis jabatan Ferdi Sambo sebagai Polisi juga dicopot?
Faktanya  dengan penetapan sambo sebagai tersangka, jika tidak disertai surat pemberhentian sebagai seorang polisi, maka akan sulit bagi pihak Polri untuk menuntaskan kasus tersebut. Ada pihak-pihak yang mencoba untuk menghalang-halangi proses penyelidikan dan pengusutan kasus karena status jabatannya yang masih belum dicabut.
Bisa dibayangkan jika para penyidik, jabatannya ternyata jauh lebih rendah daripada yang disidik, yang akan berpengaruh secara emosional atas dasar ikatan kedinasan yang masih melekat-antara Brigadir dan Jendral bintang dua atau lebih rendah dari itu.
Kondisi itu menyiratkan bahwa Ferdi Sambo disinyalir masih memiliki jejaring dan pasukan yang loyal terhadap dirinya. Kondisi ini juga meruntuhkan harapan publik atas keadilan hukum dan menimbulkan frustasi sosial. Institusi polri seperti setengah hati menuntaskan kasus, tebang pilih karena yang di usut adalah anggota Polri itu sendiri.
Kelima;Â Motif sensitif bagi kalangan dewasa.