Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nikah Bukan Cuma Soal "Apa Adanya" atau "Ada Apanya"

20 Agustus 2022   18:18 Diperbarui: 2 September 2022   20:39 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ilustrasi gambar-menikah-suara jatim

Ternyata Pre-Marriage Talks (PMT) bukan urusan sepele. Bahwa penting membicarakan PMT sejak awal. Tentu saja bukan cuma tentang bagaimana acara resepsi akan dibuat, dimana dan siapa weeding organizer-nya saja, tak sesederhana itu.

Ada yang jauh lebih penting, kurang lebih ini tentang masa depan pernikahan dan perkawinan itu sendiri.

PMT itu deep conversation antara kita dan partner tentang banyak hal yang nantinya bakal mempengaruhi kehidupan perkawinan kita. Bisa saja tentang prinsip, impian, pandangan hidup. Bisa saja PMT sekedar dimulai dari pertanyaan sederhana, Apakah sebagai istri masih tetap boleh bekerja setelah menikah?.

Meskipun pertanyaan itu terbilang sederhana, punya banyak implikasi. Apakah itu artinya, ia tidak boleh bekerja setelah menikah dan sebagai pasangan hidupnya akan menjamin seluruh kehidupannya.

Bisa juga dimaknai, bentuk dukungan dan bantuannya dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga bersama. Atau, bisa juga dimaknai suami dianggap tidak punya tanggungjawab jika membiarkan istrinya tetap bekerja setelah menikah.

Atau Dengan jenjang pendidikan tinggi pasangan kita, artinya ia juga punya impian dan, tidak  ada kaitan dengan urusan penghasilannya nanti akan membantu rumah tangganya, akan ia gunakan sendiri atau akan ditabung bersama dengan suaminya.

Tentang PMT, ketika menikah penulis, juga dihadapkan pada pertanyaan sederhana itu. Apalagi pasangan juga studi dengan jenjang tinggi, dan bercita-cita menjadi pendidik. Ketika itu keputusannya sama sekali tak ada kaitan dengan komitmen soal penghasilan. Keterbukaan menjadi kunci penting, agar rencana pernikahan bisa berjalan.

Bagi pasangan muda, permasalahan seperti ini barangkali tak sepenuhnya masuk dalam agenda. Persoalan usia muda, dan pengalaman yang berbeda dalam persiapan menuju rumah tangga.

Sekalipun saat ini begitu banyak informasi yang mudah diperoleh oleh para pasangan muda yang hendak menikah, namun dinamika dan prosesnya tak serumit dahulu.

Bisa jadi para pasangan muda menganggap bahwa informasi telah tersedia dengan mudah, tanpa perlu konsultasi dengan orang tua atau orang yang dianggap lebih dewasa. Google sebagai "Mbah" juga telah dianggap lebih dewasa oleh para pencari datanya.

pasangan-menikah-6300c197a1aeea45b43efdd2.jpg
pasangan-menikah-6300c197a1aeea45b43efdd2.jpg
ilustrasi gambar-menikah-suara jatim

Beberapa pasangan mengabaikan peran emosional orang tua, dengan kata lain sebagai generasi yang banyak tahu, mereka merasa hal-hal tentang PMT adalah fase dan proses yang telah mereka ketahui jauh sebelum keputusan untuk menikah.

Mereka lebih tertarik melihat dinamika romantisme cinta sebagai modal utama. Pasangan yang terbaik, pasangan yang "ada apanya", bukan lagi "apa adanya" yang tak cukup untuk memodali hidup dalam kekinian jaman,

ilustrasi gambar-menikah-suara jatim

PMT dan Masa Depan yang Panjang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun