Kejahatan pertama disusul dengan kejahatan kedua, membersihkan TKP, menghilangkan barang bukti, intinya merekayasa kasus pembunuhan itu dalam skema skenario, Bharada E membela diri, karena menjaga kehormatan PC yang dilecehkan FS.
Jika skenario pertama berhasil, maka Bharada E akan bebas, karena penembakan yang dilakukan demi upaya bela diri. Dan FS sama sekali tak akan tersentuh. PC juga barangkali tak "termehek-mehek", saat akan diperiksa, karena sebagai korban, ketika tersangkanya telah meninggal, dengan sendirinya kasusnya menjadi gugur. Bukankah begitu klop skenarionya?.
Tapi tak sia-sia kematian Brigadir J, karena memicu banyak kejanggalan yang tidak masuk akal dan menjadi antitesis dari premis pertama soal pelecehan dan upaya percobaan pembunuhan atas PC. Bahkan ketika dikonfrontir dengan skenario kedua soal harkat martabat keluarga yang dilecehkan pun tak sinkron.
Sebagai buktinya, lagi-lagi data digital forensik elektronik menunjukkan adanya bukti komunikasi yang sangat baik, dengan pujian luar biasa dari PC terhadap Brigadir J dan adiknya. Bagaimana mungkin dengan tuduhan pelecehan, tapi korbannya masih bisa berkomunikasi sangat baik dengan pujian pula.
Itulah fakta janggal itu. Bahwa kehormatan ibu aman-aman saja. Justru seperti disampaikan pengacara keluarga Brigadir J, kehormatan bapaklah yang terusik karena hubungan terlarangnya dan bisnis terlarangnya terbongkar!.
Di sisi lain ada temuan bukti rekaman elektronik oleh Kamaruddin yang mendukung fakta tersebut. Pihak penyidik kepolisian terus mendesaknya untuk menyita barang bukti tersebut.
Pada akhirnya atas dasar bukti itu, Kamaruddin menggunakan jerat pasal 340-sebagai kasus pembunuhan berencana yang pasti disertai motif.
Pihak polri pun menggunakan jerat hukum yang sama, padahal awalnya berharap kasus FS akan di jerat di pengadilan dengan Pasal 338-pembunuhan biasa tanpa motif, sehingga motifnya kemudian disembunyikan.
Jikalaupun motif pada akhirnya tidak diekspose pun, bukti untuk membuktikan unsur subjektif Pasal 340 sudah cukup, polri tinggal memberkas kasus itu, agar lebih transparan kasusnya ke publik.
Jika polri memilih membuka kasus sepotong-sepotong, bertahap, karena alasan belum lengkap, pada akhirnya juga akan terekspose oleh publik sendiri, dan memudarkan kepercayaan publik pada polisi. Hal justru akan makin membuat polri jatuh terlalu dalam dan makin sulit untuk membersihkan nama baiknya.
Temuan Obstruction of justice oleh penyidik  dan Komnas Perempuan harus segera diekspose tak perlu ditahan-tahan atau disembunyikan. Kita harus mendorong KPK melalui jalur LPSK untuk membongkar semua kebusukan kasus ini. Keadilan akan didapatkan di pengadilan juga, semakin transparan juga akan menjelaskan nasib 36 tersangka lainnya, tidak terkatung-katung seperti saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H