Kasus Ferdy Sambo-Brigadir J atau Brigadir Joshua Hutabarat, sudah memenuhi 4 persyaratan kejahatan tindakan mafia. Pernyataan bernada keras dan mengejutkan itu dikeluarkan mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI Laksamana Muda (purnawirawan) Soleman Ponto, menyikapi perkembangan terbaru kasus tewasnya Brigadir Joshua.
Melalui skenario yang kini terbalik makan tuan, awalnya Bharada Eliezer didorong sebagai pelaku tunggal dengan modus membela diri.Â
Tiga hari setelah peristiwa itu, barulah publik mendapat beritanya. Mengapa 3 hari?. Itulah poin pertama dan kedua indikasi kerja ala mafia; membersihkan TKP, sekaligus menghilangkan barang bukti.
Pada hari pengumuman, diberitakan CCTV mati, baju, handphone dan pistol Brigadir Joshua lenyap?. Sekaligus membangun cerita dengan alibi palsu, untuk menguatkan jalan cerita skenario yang telah direkayasa. Selanjutnya bisa ditebak, semua kepalsuan harus ditutup dengan kebohongan baru, begitu seterusnya.
Ketika fakta-fakta bukti temuan ternyata tidak linier, maka alibi berganti mengikuti skenario baru. Â Maka Bharada Eliezer, Ferdy Sambo, Brigadir Ricky dan sopir berinisial K, sebagai manusia juga bisa terjebak pada narasi yang salah, atau lupa mengulang cerita rekaan yang sama dan menjadi blunder!.Â
Semua terbantahkan ketika tersangka pertama yang ditetapkan Polri Bharada E telah mengakui kebenaran dan mengajukan diri sebagai justice collaborator.
Siapa Saja Aktor-Aktornya
Sebesar apa "Udang" yang tersembunyi di balik batu kasus ini, sehingga sejak Bharada Eliezer "bernyanyi" belum terdengar nyaring, sehingga tersangka di tarik satu-persatu, 4 dari urutan bawah. Sedangkan dari kelas atas, sebagaimana di ulas dalam investigasi Tempo.co, termasuk didalamnya, temuan dua tokoh pembuat skenario- FS dan FA.
Disebut-sebut dalam sebuah berita, terdapat "kelompok Penjahat" di dalam institusi kepolisian, dan kelak, satu persatu bintang akan gugur-terciduk!. Tentu saja fakta ini mengejutkan, mengerikan, dan ternyata bukan bualan. Dasarnya, karena adanya sebuah "solidaritas ngawur' yang terbentuk, dan melakukan dugaan obstruction of justice; Perbuatan menghalangi proses peradilan terhadap kasus kematian Brigadir Joshua.
Dasar kecurigaan Sugeng Teguh Santoso dari IPW, didasarkan pada sangkaan Pasal 340 KUHP terhadap Brigadir RR, yang merupakan pasal tentang Pembunuhan Berencana.
Fakta itu diulas dalam segmen Ulas Berita channel YouTube pribadi miliknya, Refly Harun membeberkan pendapat dari Ketua IPW (Indonesia Police Watch) Sugeng Teguh Santoso yang menyebutkan bahwa ada dugaan potensi kuat hadirnya sebuah 'Geng Penjahat' dalam tubuh institusi Polri!.
Fakta lain yang lebih mengejutkan adalah, kasus ini telah menyeret 25 personel Polri, mulai dari perwira tinggi, menengah hingga golongan tamtama. Dasar pemeriksaannya adalah adanya dugaan kuat pelanggaran kode etik, selama pengusutan kasus penembakan Brigadir J.
Pelanggaran kode etik atau pelanggaan prosedur penanganan kasus meskipun hanya "mematikan" decoder CCTV dalam sebuah kasus yang didalamnya berlaku sebuah skenario menjadi tidak sederhana. Pasal KUHP yang minimal dikenakan bisa saja Pasal 56 KUHP--mendukung sebuah konspirasi kejahatan!. Jadi tidak main-main.
Lebih 'gilanya' lagi, sebagian besar dari 25 personel tersebut, berasal dari divisi yang sama, yakni Divisi Propam, yang tentu saja berada di bawah naungan Ferdy Sambo.
Menurut Sugeng Teguh Santoso, tindakan pelanggaran kode etik ini terstruktur, masif dan sistematis. Jadi wajar jika akan banyak tersangka baru yang terseret bersama FS nantinya, dalam prosesi penyidikan.Â
Perbuatan ini juga terstruktur karena, dugaan pelanggaran kode etik ini melibatkan seorang Jenderal bintang dua, sampai dengan anggota Polri dalam golongan tamtama (ada hierarki).