Membaca ulasan investigasi Tempo.co, saya tidak habis pikir. Bagaimana seorang Kadivpropam plus rekan sejawatnya penasehat ahli Kapolri bidang komunikasi, bisa membuat blunder, kecerobohan bermain akun WhattsApp membuat sebuah skenario pembunuhan!.
Mulai dari lokusnya yang bahkan tak akan di pilih oleh sutradara sekaliber Garin atau Bramantyo jika memang mereka di minta membuat skenario film skandal. Terlalu gampang di tebak plot cerita-nya.
Meskipun jika dikait-kaitkan dengan urusan "nafsu dan libido" yang susah dikontrol- merujuk  versi skenario pelecehan seksual-libido tak pandang waktu dan tempat. Begitu muncul hasrat-maka terjadilah!. Tapi tatap saja terlalu riskan dan janggal rasanya, jika skenarionya harus "kasus pelecehan" di tempat seperti itu.
Bayangkan saja, di luar ada pengawal yang berjaga dengan masing-masing senjata. Belum lagi setingkat Bharada Eliezer, sudah pegang pistol jenis Glock, yang konon menurut pengamat polisi adalah pistol para perwira-"para raja-raja". Itupun, karena stok terbatas, butuh hak privilege untuk bisa memilikinya.
Namun yang lebih fatal lagi adalah seperti yang diberitakan dalam investigasi Tempo.co. Fahmi Alamsyah, disebut sebagai orang dekat yang pertama kali menerima kabar kematian Brigadir Joshua di rumah temannya Irjen Ferdy Sambo, pada Jum'at petang tanggal 8 Juli 2022.
Malamnya Fahmi mengunjungi kantor kadiv propam itu. Bisa jadi itu saat Ferdy Sambo curhat kepada temannya itu. Memberikan gambaran kejadian sebenarnya dan meminta temannya membantunya.Â
Mengapa kemudian Fahmi menyetujui?. Bisa jadi bukan sekedar balas jasa seorang teman, urusan senior-junio, bisa jadi akan ada-alur lain-apakah itu juga mirip dengan kejadian berubahnya laporan Bharada Eliezer, yang pada awalnya mengaku membela diri, melawan pelaku pelecehan yang menimpa bosnya.Â
Tapi ternyata ia tak mau melawan nurani dan kemudian "bernyanyi" di kantor Bareskrim dan semuanya membuat semakin benderang, tapi menjadi teka-teki baru, "udang" sebesar apa di balik batu itu?.
Maka pada Sabtu, 9 Juli 2022, Fahmi menyanggupi permintaan Ferdy Sambo membantunya menyusun skenario dan---menggunakan telepon seluler, mengirimkan draft awal ke akun WhatsApp Ferdy. Dan Ferdy kemudian mengeditnya kronologi versi Fahmi dengan menambahkan skenario soal pelecehan. Itulah skenario kasus besar ini!.
Apakah mereka berdua lupa dalam kekinian zaman, sudah ada UU ITE, dan digital forensik?.Â
Paska kejadian,  semua gadget Brigadir Joshua hilang. Konten gadget orang tuanya, juga sempat di-hack. Ketika  bisa diaktifkan kembali, seluruh datanya "lenyap". Pelenyapan data, indikasi awal adanya kejahatan.  Tentu saja ini menjadi misteri tersendiri.
Para pelaku konspirasi pembunuhan tidak menyadari, rekam jejak digitalnya telah sampai pada pihak ke-3, ke-4 dan seterusnya.Â
Kabar sebelumnya, Brigadir Joshua, masih berkomunikasi intens dengan ibunya yang sedang berkunjung ke kampung halaman di Medan. Ia masih mengomentari semua rekam jejak pesan dan gambar kiriman dari keluarganya. Begitu juga dengan curhatan terakhir yang menjadi  "kunci kasus" kepada teman dekatnya, beberapa waktu sebelum kematiannya. Semuanya terdeteksi karena keberadaan digital forensik.
Sebagai pembelajaran bersama, bahwa Digital Forensic atau juga dikenal sebagai Ilmu Forensik Digital, merupakan salah satu cabang ilmu forensic, yang berfokus pada penyelidikan dan penemuan konten perangkat digital, dan seringkali dikaitkan dengan kejahatan computer.
Untuk apa digital forensik dibutuhkan?. Secara umum untuk mengamankan dan menganalisis bukti digital, serta memperoleh berbagai fakta yang objektif dari sebuah kejadian atau pelanggaran keamanan dari sistem informasi. Berbagai fakta tersebut akan menjadi bukti yang akan digunakan dalam proses hukum.Â
Bukti hukum, kini tak melulu hanya hasil autopsi, hasil visum jika korban pelecehan, bahkan riwayat di pelaku mencuri foto korban, menyimpannya sebagai tampilan layar. Intinya, jika ada satu saja indikasi si pelaku pernah atau berusaha mengenal korban dengan perantaraan media digital, apapun bentuknya, bisa menjadi alat bukti pendukung untuk membongkar sebuah konspirasi kejahatan.
Konten perangkat digital , barangkali itu kata kuncinya. Apakah itu artinya gadget juga bisa ditembus oleh para pakar digital forensik?. Ketika basisnya adalah digital-kurang lebih 11-12 dengan komputer.
Digital forensik menyasar jenis-jenis barang bukti elektronik, mulai dari komputer PC, laptop/notebook, netbook, tablet, telepon genggam, flashdisk, floppydisk, harddisk, CD/DVD, router, switch, hub, kamera video, CCTV, kamera digital, perekam digital, music/video player, dan semacamnya.
Apa mereka juga lupa dengan UU ITE yang juga merujuk urusan treasure atau penelusuran jejak kejahatan juga berbasis informasi digital?. Pakarnya akan menggunakan forensik sistem file untuk menganalisis data yang disembunyikan oleh pelaku kejahatan.Â
Bayangkan saja, bagaimana seorang dokter pakar bedah autopsi bisa mendeteksi, sudah berapa lama korban meninggal, tenggelam, dicekik, atau lemas, diracun meskipun dengan sianida yang tanpa bau dan tanpa bekas. Bahkan bisa mendeteksi apakah korban masih hidup ketika ditenggelamkan. Begitu juga dengan pakar IT melihat riwayat sebuah sistem file digital.Â
Kita seringkali juga dibodohi teknologi, dengan berbohong berada di sebuah lokus, padahal kita lupa sudah mengaktifkan sistem pencarian lokasi, sehingga teman di seberang tahu bahwa kita bukan sedang di LA-Los Angeles, tapi di Lambaro Angan, sebuah desa terpencil di Aceh.
Dalam kasus penghilangan nyawa Brigadir Joshua, para pelaku melupakan "kecanggihan" teknologi, bahkan jika mereka mahir meng-editnya sekalipun.
Mau bukti kongkrit?. dari 4 Hape Brigadir Joshua, tiga hilang tak ditemukan jejaknya, dan dalam riwayat chatnya, terdapat panggilan beruntun 23 kali, tapi mengapa "jam misccal-nya" berantakan?.
Sebuah sistem digital, normalnya akan cerdas dari sananya, dengan mengurutkan kronologi waktu panggilan berikut jamnya.
Memangnya ahli komputer manual, yang memakai Excel?. Maka dari sanalah mulai "tercium" bau konspirasi pembunuhan. Panggilan pertama pukul 16.30, berikutnya 16.45, lalu tiba-tiba pada panggilan berikutnya 16.05. Se-manual apa gadget milik brigadir Joshua itu?.
Para pelaku tindak kejahatan "meski" masih terduga, apa tidak menyadari, keberadaan seorang ahli digital forensik dalam suatu persidangan pidana? . Digital forensic akan sangat membantu dalam proses pembuktian suatu kasus kejahatan secara digital.
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bahwa Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Â Â
Dan atas ketidakcanggihan skenario, plus penggunaan akun WhattsApp dalam pembuatan skenarionya, maka "Tuhan" memang sudah mengambil hikmah begitu adanya. Sebuah kejahatan, sekalipun tersembunyi, canggih, menggunakan WhattsApp, hanya berdua (Fahmi dan Ferdy), tapi mereka melupakan dua hal.
Kecanggihan digital forensik dan "kecanggihan" Tuhan yang tak pernah tidur untuk mengungkap hitamnya hati manusia!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H