Bukti hukum, kini tak melulu hanya hasil autopsi, hasil visum jika korban pelecehan, bahkan riwayat di pelaku mencuri foto korban, menyimpannya sebagai tampilan layar. Intinya, jika ada satu saja indikasi si pelaku pernah atau berusaha mengenal korban dengan perantaraan media digital, apapun bentuknya, bisa menjadi alat bukti pendukung untuk membongkar sebuah konspirasi kejahatan.
Konten perangkat digital , barangkali itu kata kuncinya. Apakah itu artinya gadget juga bisa ditembus oleh para pakar digital forensik?. Ketika basisnya adalah digital-kurang lebih 11-12 dengan komputer.
Digital forensik menyasar jenis-jenis barang bukti elektronik, mulai dari komputer PC, laptop/notebook, netbook, tablet, telepon genggam, flashdisk, floppydisk, harddisk, CD/DVD, router, switch, hub, kamera video, CCTV, kamera digital, perekam digital, music/video player, dan semacamnya.
Apa mereka juga lupa dengan UU ITE yang juga merujuk urusan treasure atau penelusuran jejak kejahatan juga berbasis informasi digital?. Pakarnya akan menggunakan forensik sistem file untuk menganalisis data yang disembunyikan oleh pelaku kejahatan.Â
Bayangkan saja, bagaimana seorang dokter pakar bedah autopsi bisa mendeteksi, sudah berapa lama korban meninggal, tenggelam, dicekik, atau lemas, diracun meskipun dengan sianida yang tanpa bau dan tanpa bekas. Bahkan bisa mendeteksi apakah korban masih hidup ketika ditenggelamkan. Begitu juga dengan pakar IT melihat riwayat sebuah sistem file digital.Â
Kita seringkali juga dibodohi teknologi, dengan berbohong berada di sebuah lokus, padahal kita lupa sudah mengaktifkan sistem pencarian lokasi, sehingga teman di seberang tahu bahwa kita bukan sedang di LA-Los Angeles, tapi di Lambaro Angan, sebuah desa terpencil di Aceh.
Dalam kasus penghilangan nyawa Brigadir Joshua, para pelaku melupakan "kecanggihan" teknologi, bahkan jika mereka mahir meng-editnya sekalipun.
Mau bukti kongkrit?. dari 4 Hape Brigadir Joshua, tiga hilang tak ditemukan jejaknya, dan dalam riwayat chatnya, terdapat panggilan beruntun 23 kali, tapi mengapa "jam misccal-nya" berantakan?.
Sebuah sistem digital, normalnya akan cerdas dari sananya, dengan mengurutkan kronologi waktu panggilan berikut jamnya.
Memangnya ahli komputer manual, yang memakai Excel?. Maka dari sanalah mulai "tercium" bau konspirasi pembunuhan. Panggilan pertama pukul 16.30, berikutnya 16.45, lalu tiba-tiba pada panggilan berikutnya 16.05. Se-manual apa gadget milik brigadir Joshua itu?.
Para pelaku tindak kejahatan "meski" masih terduga, apa tidak menyadari, keberadaan seorang ahli digital forensik dalam suatu persidangan pidana? . Digital forensic akan sangat membantu dalam proses pembuktian suatu kasus kejahatan secara digital.
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bahwa Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Â Â
Dan atas ketidakcanggihan skenario, plus penggunaan akun WhattsApp dalam pembuatan skenarionya, maka "Tuhan" memang sudah mengambil hikmah begitu adanya. Sebuah kejahatan, sekalipun tersembunyi, canggih, menggunakan WhattsApp, hanya berdua (Fahmi dan Ferdy), tapi mereka melupakan dua hal.
Kecanggihan digital forensik dan "kecanggihan" Tuhan yang tak pernah tidur untuk mengungkap hitamnya hati manusia!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H