Mohon tunggu...
Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - pegiat literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

Pulih Bersama Pilihan

Presidensi G20: Transisi Energi dan Peta Jalan Dekarbonasi Indonesia

31 Juli 2022   23:09 Diperbarui: 1 Agustus 2022   00:07 887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar dan data Presidensi G20-diolah via canva-dokpri

Menuju Sistem Energi Dan Ekonomi Nir Karbon

The nation that leads in renewable energy will be the nation that leads the world--James Cameron

Menurut Michael Backman dalam bukunya yang provokatif, Asia Future Shocks, biang keladi masalah migas Indonesia adalah tingginya konsumsi minyak domestik karena besarnya subsidi pemerintah atas harga eceran bensin dan mitan. 

sumber gambar-digitalbisa
sumber gambar-digitalbisa

Upaya menjaga kelangsungan konsumsi energi fosil-migas, menjadi sangat dilematis. Persoalan latennya tidak lain, pertumbuhan demografi, dan implikasi konsumsi energi yang bertambah di sektor dominan transportasi, industri, rumah tangga, publik, dan bisnis.

sumber gambar-IELSR
sumber gambar-IELSR

Pekerjaan rumah kita tak lagi hanya sekedar memikirkan ketersediaan energi untuk menggerakkan roda perekonomian, namun juga membutuhkan model Tujuan Pembangunan Berkelanjutan-TPB, (Sustainable development Goals (SDGs). Wacana yang telah bergulir dan diinisiasi secara global sejak 2015.

Tantangannya besar, karena berbiaya besar, dan mencakup 17 tujuan, 167 target serta 232 indikator yang harus dipenuhi pada 2030 mendatang.

gambar dan data Presidensi G20-diolah via canva-dokpri
gambar dan data Presidensi G20-diolah via canva-dokpri

Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat, kebutuhan investasi untuk mengembangkan Energi Baru dan Terbarukan (EBT), mengejar dekarbonisasi atau netral karbon, pada tahun 2030 sampai tahun 2050, diperkirakan mencapai US$ 45 miliar hingga US$ 60 miliar.

sumber gambar-IELSR
sumber gambar-IELSR

Namun esensinya adalah pada perubahan investasi yang lebih positif. Investasi baru, bukan biaya atau beban, namun bagian dari investasi hijau di masa depan. Skemanya bergerak dari BUMN investasi ke infrastruktur fosil ke depan menuju net zero emission.

Ini merupakan bagian dari agenda prioritas, salah satunya Sustainable Finance; Membahas risiko iklim dan risiko transisi menuju ekonomi rendah karbon, dan sustainable finance (keuangan berkelanjutan) dari sudut pandang makroekonomi dan stabilitas keuangan.  Ini bagian dari  peran besar Bank Indonesia (BI), sebagai mandatori tuan rumah  pelaksanaan Presidensi G20.

sumber gambar dokpri-diolah via canva
sumber gambar dokpri-diolah via canva

Apa yang dapat dilakukan sebagai upaya strategis dan rencana bisnis prioritas oleh Pemerintah adalah, diversifikasi basis ekspor atau menjaga cadangan serta memulihkan produksi migas.  Sektor migas menyumbang 35 % anggaran negara, untuk mengantisipasi tekanan atas rupiah. Jika tidak, kita akan menyesali banyak peluang yang tersia-sia dalam sekian dasawarsa sebelumnya.

Namun, optimisme baru yang paling relevan dibangun seperti dalam Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2021, adalah membangun peta jalan baru diversifikasi sistem energi masa depan. 

Dalam kurun waktu 2030, 2040, 2045 hingga 2050 ketika harus sampai pada tantangan capaian zero emisi. Gagasan utamanya adalah pencapaian dekarbonisasi pada tahun 2050; target, aksi kongkrit pencapaian zero emisi dengan mendorong transisi energi menuju energi terbarukan (green energy) yang lebih masif lagi.

sumber-1-jpg-62e690933555e47e9c047a74.jpg
sumber-1-jpg-62e690933555e47e9c047a74.jpg

sumber gambar-IELSR
sumber gambar-IELSR

sumber gambar-IELSR
sumber gambar-IELSR

Revolusi Dunia yang Tak Lagi Sama

Sejak Albert Arnold Gore Jr memenangkan Nobel Prize bersama Intergovernmental Panel On Climate Change yang mewacanakan perubahan iklim melalui film dokumenter An Inconvenient Truth (2006), gagasan membangun dan menyebarluaskan pengetahuan tentang perubahan iklim menggelembung menjadi isu baru dunia.

sumber gambar-diolah via canva-dokpri
sumber gambar-diolah via canva-dokpri

Mengejar target penurunan emisi dan menjaga suhu bumi di bawah 1.5 derajat celcius sesuai Persetujuan Paris 2015, banyak negara sudah mulai memberlakukan carbon pricing (tarif emisi karbon). 

Pemerintah Indonesia dengan usaha mandiri memasang target menekan emisi 29 % pada 2030 mendatang. Prediksi angkanya akan meningkat menjadi 41 % jika ada sinergisasi bantuan internasional.

Sementara, Indonesia sendiri juga masih merencanakan untuk implementasi pengenaan pajak karbon jangka pendek di tahun 2022. 

Problemnya, meskipun berimplikasi positif terhadap penerimaan negara yang besar, namun akan berdampak negatif pada kenaikan harga energi, yang akhirnya menekan konsumsi rumah tangga. Sehingga kebijakan penerapan pajak karbon harus  diikuti kebijakan penyerta berupa penguatan daya beli masyarakat untuk mengurangi resistensi dampak yang ditimbulkannya.

Organisasi Kerjasama Ekonomi Dunia (OECD) terus mendesak pemerintah Indonesia menerapkan pajak karbon dengan tarif tinggi, untuk mendorong transisi bahan bakar fosil (brown energy) menjadi energi terbarukan (green energy). Karena sejak 2019 Indonesia berada di peringkat keempat penghasil CO2 terbesar di dunia.

Namun seperti proyeksi IMF, jika Indonesia menerapkan pajak karbon US$5 per ton CO2 saja, maka tarif listrik dan harga bensin akan melonjak hingga 63 % dan 32%.

Bagaimana dampaknya terhadap ekonomi Indonesia secara keseluruhan atau gejolak politik yang bisa terpicu karenanya harus dipertimbangkan secara matang melalui strategi yang matang. 

Disebalik itu seperti dicantumkan dalam rancangan UU KUP, jika pemerintah menetapkan pajak karbon minimal Rp.75 per kilogram CO2 atau tarif pajak karbon sebesar US$5-US$10 per ton CO2  yang mencakup 60% emisi energi, bisa manambah pundi kas negara Rp 26 triliun-Rp 53 triliun per tahun. 

Tentu saja kita harus serius memikirkan implikasinya pada kenaikan energi migas, sebelum benar-benar tergantikan dengan ketersediaan energi terbarukan sebagai altenatif pengganti. Tanpa itu  justru akan menjadi blunder dan sangat dilematis bagi masa depan sistem energi dan ekonomi kita.

Dilema Menuju Dekarbonisasi

Kekuatiran terbesar sejak terealisasi seperti Perjanjian Paris yang diratifikasi lebih dari 195 negara di tahun 2015 adalah kontrol terhadap emisi karbon. 

Kesepakatan terbesarnya adalah membatasi kenaikan pemanasan global pada tingkat 1,5-2 derajat celcius pada tahun 2050, melalui upaya dan target mencapai emisi CO2 pada tingkat nol (dekarbonisasi). 

Sayangnya Indonesia justru menetapkan tahun 2060 sebagai target dekarbonisasinya, karena kebijakan zero emisi itu harus diikuti beragam kebijakan seperti pajak karbon, dan perdagangan karbon sebagai kontrol tingkat emisi karbon ke atmosfer sebagai salah satu prasyaratnya.

Implikasinya energi fosil akan menjulang harganya, namun disebaliknya akan mendorong penggunaan energi terbarukan sebagai alternatifnya. Maka kebutuhan energi berbasis panel surya, angin, minyak nabati dan Batteray Electric Vehicle (BEV)-mobil berbasis baterai sebagai bahan menghasilkan energi. 

Namun konversi energi juga diikuti peningkatan kebutuhan dalam ketersediaan logam mineral sebagai komponen pendukung dalam menyediakan energi terbarukan. Utamanya untuk mengejar target dekarbonsasi, seperti jenis logam; graphite, lithum, indium, nikel dan vanadium yang harus diperoleh melalui penambangan.

Langkah yang semestinya dapat dihindari jika posisi sirkular ekonomi dapat tercapai sebelum 2050. Namun faktor disrupsi seperti kasus pandemi global tidak bisa dipandang sebagai cateris paribus.

Bagaimana jika pencarian energi terbarukan jusru menciptakan malapetaka baru, karena penambangan masih memainkan peran penting sebagai penyedia material logam sebagai komponen  penting proses dekarbonisasi.

Disisi lain, penyediaan komponen logam melalui daur ulang tanpa membuka tambang baru, masih belum optimal. Kita harus mempertimbangkan kembali gagasan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, mengejar target dekarboniasai 2050 tanpa mengorbankan eksosistem kita.

Tentang Proyeksi Energi Dan Komitmen

Dalam rilis keputusan Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tentang Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional tahun 2019 sampai dengan tahun 2038, proyeksi rata-rata pertumbuhan kebutuhan energi listrik nasional sekitar 6,9 persen per tahun. 

Namun target pada tahun 2018 penjualan listrik yang diperkirakan mencapai 6,5 %, namun hanya terealisasi 5,14 persen dibanding tahun sebelumnya. 

Namun selain soal pertumbuhan listrik dan konsumsi, proyeksi rata-rata kebutuhan tambahan kapasitas pembangkit listrik sekitar 8,5 gigawatt per tahun dan totalnya diperkirakan mencapai 170 gigawatt, termasuk PLT EBT 10 gigawatt, yang terdiri dari variable renewable energy (VRE) sekitar 6 Gigawatt dan PLT bio sekitar 4 Gigawatt.

sumber gambar-IELSR
sumber gambar-IELSR

sumber gambar-IELSR
sumber gambar-IELSR

Dan energi terpasang terbarukan direncanakan akan meningkat menjadi 48% pada Rancangan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 menjadi lebih dari 6 GW dari PLTS. 

Dampaknya proses pengadaan PLTS berskala besar menjadi semakin penting untuk mendapatkan harga dan teknologi terbaik. Tentu saja ini menjadi berita baik bagi rencana jangka panjang pengembangan energi terbarukan dalam pencarian alternatif energi penganti energi fosil.

sumber gambar-IELSR
sumber gambar-IELSR

Begitupun, kompleksitas masalahnya tak hanya berhenti disana, karena target capaian proyeksi ketenagalistrikan nasional hanya dimungkinkan jika diikuti dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional sekitar 6 persen.  

Meskipun menghadapi tantangan disrupsi akibat pandemi yang cukup ekstrim, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2021 berhasil tumbuh sebesar 7.07 (yoy), tertinggi dalam 16 tahun terakhir. 

Rekor tertinggi sejak krisis Subprime Mortgage, bahkan lebih tinggi dari negera peers. Bahkan pertumbuhan itu dicapai saat kasus aktif covid-19 mencapai 113.218 kasus dalam kerangka Penanganan Covid-19 Dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN), sehingga satu kekuatiran kita terlewati.

Faktor pendukung proyeksi  kebutuhan energi listrik nasional juga harus didukung rata-rata inflasi sekitar 3,5 persen, rata-rata pertumbuhan penduduk sekitar 0,8 persen, target rasio elektrifikasi sekitar 99,9 persen pada tahun 2019 dan 100 persen pada tahun 2020. 

Termasuk mengakomodasi potensi demand untuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), kawasan industri, smelter, dan kendaraan listrik.

Berbagai model energi alternatif yang tersedia masih menjadi pertimbangan serius, termasuk CCS/CCUS (carbon capture, utilization, and storage).

Merupakan teknologi yang digunakan pada PLTU untuk menangkap dan menyimpan  karbon yang akan menjadi salah satu opsi yang dipersiapkan pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) atau gas rumah kaca. 

Meskipun masih berbiaya tinggi, sehingga opsi terbaik masih melalui akselerasi pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) yang makin kompetitif.

listrik-4-jpg-62e691d808a8b5595c352902.jpg
listrik-4-jpg-62e691d808a8b5595c352902.jpg

sumber gambar-IELSR

sumber gambar diolah via canva-okpri
sumber gambar diolah via canva-okpri

Bagaimanapun optimisme kita pada energi terbarukan sebagai sebuah alternatif harus dimulai sejak sekarang. Mengejar banyak langkah yang tertinggal dalam ketersediaan energi alternatif pengganti  migas. 

Elektrifikasi dari energi terbarukan adalah sebuah optimisme mencerahkan, meskipun hingga saat ini tantangan dan godaannya masih begitu keras untuk tetap tak beralih dari zona nyaman migas.

sumber gambar-IELSR
sumber gambar-IELSR

sumber gambar-IELSR
sumber gambar-IELSR

Karena energi surya, bayu, air, menjadi alternatif energi yang melimpah untuk menopang kehidupan yang harus terus berlangsung di bumi. Kita harus realistis tentang pilihan kita pada optimalisasi elektrifikasi bersumber dari energi terbarukan untuk saat ini, menuju proses menuju zero emisi sejak tahun 2030,2040,2045 dan puncaknya pada 2050.

Kita berharap momentum Indonesia sebagai tuan rumah Prsidensi G20, bisa menjadi stimulan mendorong Pemerintah berkomitmen lebih keras menjadi bagian dari 195 negara -net zero emisi pada 2050 mendatang.

referensi: 1, 2,3,4

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pulih Bersama Selengkapnya
Lihat Pulih Bersama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun