Begitupun, kompleksitas masalahnya tak hanya berhenti disana, karena target capaian proyeksi ketenagalistrikan nasional hanya dimungkinkan jika diikuti dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional sekitar 6 persen. Â
Meskipun menghadapi tantangan disrupsi akibat pandemi yang cukup ekstrim, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2021 berhasil tumbuh sebesar 7.07 (yoy), tertinggi dalam 16 tahun terakhir.Â
Rekor tertinggi sejak krisis Subprime Mortgage, bahkan lebih tinggi dari negera peers. Bahkan pertumbuhan itu dicapai saat kasus aktif covid-19 mencapai 113.218 kasus dalam kerangka Penanganan Covid-19 Dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN), sehingga satu kekuatiran kita terlewati.
Faktor pendukung proyeksi  kebutuhan energi listrik nasional juga harus didukung rata-rata inflasi sekitar 3,5 persen, rata-rata pertumbuhan penduduk sekitar 0,8 persen, target rasio elektrifikasi sekitar 99,9 persen pada tahun 2019 dan 100 persen pada tahun 2020.Â
Termasuk mengakomodasi potensi demand untuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), kawasan industri, smelter, dan kendaraan listrik.
Berbagai model energi alternatif yang tersedia masih menjadi pertimbangan serius, termasuk CCS/CCUS (carbon capture, utilization, and storage).
Merupakan teknologi yang digunakan pada PLTU untuk menangkap dan menyimpan  karbon yang akan menjadi salah satu opsi yang dipersiapkan pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) atau gas rumah kaca.Â
Meskipun masih berbiaya tinggi, sehingga opsi terbaik masih melalui akselerasi pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) yang makin kompetitif.
sumber gambar-IELSR
Bagaimanapun optimisme kita pada energi terbarukan sebagai sebuah alternatif harus dimulai sejak sekarang. Mengejar banyak langkah yang tertinggal dalam ketersediaan energi alternatif pengganti  migas.Â
Elektrifikasi dari energi terbarukan adalah sebuah optimisme mencerahkan, meskipun hingga saat ini tantangan dan godaannya masih begitu keras untuk tetap tak beralih dari zona nyaman migas.