Namun seperti proyeksi IMF, jika Indonesia menerapkan pajak karbon US$5 per ton CO2 saja, maka tarif listrik dan harga bensin akan melonjak hingga 63 % dan 32%.
Bagaimana dampaknya terhadap ekonomi Indonesia secara keseluruhan atau gejolak politik yang bisa terpicu karenanya harus dipertimbangkan secara matang melalui strategi yang matang.Â
Disebalik itu seperti dicantumkan dalam rancangan UU KUP, jika pemerintah menetapkan pajak karbon minimal Rp.75 per kilogram CO2 atau tarif pajak karbon sebesar US$5-US$10 per ton CO2 Â yang mencakup 60% emisi energi, bisa manambah pundi kas negara Rp 26 triliun-Rp 53 triliun per tahun.Â
Tentu saja kita harus serius memikirkan implikasinya pada kenaikan energi migas, sebelum benar-benar tergantikan dengan ketersediaan energi terbarukan sebagai altenatif pengganti. Tanpa itu  justru akan menjadi blunder dan sangat dilematis bagi masa depan sistem energi dan ekonomi kita.
Dilema Menuju Dekarbonisasi
Kekuatiran terbesar sejak terealisasi seperti Perjanjian Paris yang diratifikasi lebih dari 195 negara di tahun 2015 adalah kontrol terhadap emisi karbon.Â
Kesepakatan terbesarnya adalah membatasi kenaikan pemanasan global pada tingkat 1,5-2 derajat celcius pada tahun 2050, melalui upaya dan target mencapai emisi CO2 pada tingkat nol (dekarbonisasi).Â
Sayangnya Indonesia justru menetapkan tahun 2060 sebagai target dekarbonisasinya, karena kebijakan zero emisi itu harus diikuti beragam kebijakan seperti pajak karbon, dan perdagangan karbon sebagai kontrol tingkat emisi karbon ke atmosfer sebagai salah satu prasyaratnya.
Implikasinya energi fosil akan menjulang harganya, namun disebaliknya akan mendorong penggunaan energi terbarukan sebagai alternatifnya. Maka kebutuhan energi berbasis panel surya, angin, minyak nabati dan Batteray Electric Vehicle (BEV)-mobil berbasis baterai sebagai bahan menghasilkan energi.Â
Namun konversi energi juga diikuti peningkatan kebutuhan dalam ketersediaan logam mineral sebagai komponen pendukung dalam menyediakan energi terbarukan. Utamanya untuk mengejar target dekarbonsasi, seperti jenis logam; graphite, lithum, indium, nikel dan vanadium yang harus diperoleh melalui penambangan.
Langkah yang semestinya dapat dihindari jika posisi sirkular ekonomi dapat tercapai sebelum 2050. Namun faktor disrupsi seperti kasus pandemi global tidak bisa dipandang sebagai cateris paribus.
Bagaimana jika pencarian energi terbarukan jusru menciptakan malapetaka baru, karena penambangan masih memainkan peran penting sebagai penyedia material logam sebagai komponen  penting proses dekarbonisasi.
Disisi lain, penyediaan komponen logam melalui daur ulang tanpa membuka tambang baru, masih belum optimal. Kita harus mempertimbangkan kembali gagasan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, mengejar target dekarboniasai 2050 tanpa mengorbankan eksosistem kita.
Tentang Proyeksi Energi Dan Komitmen
Dalam rilis keputusan Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tentang Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional tahun 2019 sampai dengan tahun 2038, proyeksi rata-rata pertumbuhan kebutuhan energi listrik nasional sekitar 6,9 persen per tahun.Â
Namun target pada tahun 2018 penjualan listrik yang diperkirakan mencapai 6,5 %, namun hanya terealisasi 5,14 persen dibanding tahun sebelumnya.Â
Namun selain soal pertumbuhan listrik dan konsumsi, proyeksi rata-rata kebutuhan tambahan kapasitas pembangkit listrik sekitar 8,5 gigawatt per tahun dan totalnya diperkirakan mencapai 170 gigawatt, termasuk PLT EBT 10 gigawatt, yang terdiri dari variable renewable energy (VRE) sekitar 6 Gigawatt dan PLT bio sekitar 4 Gigawatt.
Dan energi terpasang terbarukan direncanakan akan meningkat menjadi 48% pada Rancangan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 menjadi lebih dari 6 GW dari PLTS.Â
Dampaknya proses pengadaan PLTS berskala besar menjadi semakin penting untuk mendapatkan harga dan teknologi terbaik. Tentu saja ini menjadi berita baik bagi rencana jangka panjang pengembangan energi terbarukan dalam pencarian alternatif energi penganti energi fosil.