Namun esensinya adalah pada perubahan investasi yang lebih positif. Investasi baru, bukan biaya atau beban, namun bagian dari investasi hijau di masa depan. Skemanya bergerak dari BUMN investasi ke infrastruktur fosil ke depan menuju net zero emission.
Ini merupakan bagian dari agenda prioritas, salah satunya Sustainable Finance; Membahas risiko iklim dan risiko transisi menuju ekonomi rendah karbon, dan sustainable finance (keuangan berkelanjutan) dari sudut pandang makroekonomi dan stabilitas keuangan.  Ini bagian dari  peran besar Bank Indonesia (BI), sebagai mandatori tuan rumah  pelaksanaan Presidensi G20.
Apa yang dapat dilakukan sebagai upaya strategis dan rencana bisnis prioritas oleh Pemerintah adalah, diversifikasi basis ekspor atau menjaga cadangan serta memulihkan produksi migas.  Sektor migas menyumbang 35 % anggaran negara, untuk mengantisipasi tekanan atas rupiah. Jika tidak, kita akan menyesali banyak peluang yang tersia-sia dalam sekian dasawarsa sebelumnya.
Namun, optimisme baru yang paling relevan dibangun seperti dalam Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2021, adalah membangun peta jalan baru diversifikasi sistem energi masa depan.Â
Dalam kurun waktu 2030, 2040, 2045 hingga 2050 ketika harus sampai pada tantangan capaian zero emisi. Gagasan utamanya adalah pencapaian dekarbonisasi pada tahun 2050; target, aksi kongkrit pencapaian zero emisi dengan mendorong transisi energi menuju energi terbarukan (green energy) yang lebih masif lagi.
Revolusi Dunia yang Tak Lagi Sama
Sejak Albert Arnold Gore Jr memenangkan Nobel Prize bersama Intergovernmental Panel On Climate Change yang mewacanakan perubahan iklim melalui film dokumenter An Inconvenient Truth (2006), gagasan membangun dan menyebarluaskan pengetahuan tentang perubahan iklim menggelembung menjadi isu baru dunia.
Mengejar target penurunan emisi dan menjaga suhu bumi di bawah 1.5 derajat celcius sesuai Persetujuan Paris 2015, banyak negara sudah mulai memberlakukan carbon pricing (tarif emisi karbon).Â
Pemerintah Indonesia dengan usaha mandiri memasang target menekan emisi 29 % pada 2030 mendatang. Prediksi angkanya akan meningkat menjadi 41 % jika ada sinergisasi bantuan internasional.
Sementara, Indonesia sendiri juga masih merencanakan untuk implementasi pengenaan pajak karbon jangka pendek di tahun 2022.Â
Problemnya, meskipun berimplikasi positif terhadap penerimaan negara yang besar, namun akan berdampak negatif pada kenaikan harga energi, yang akhirnya menekan konsumsi rumah tangga. Sehingga kebijakan penerapan pajak karbon harus  diikuti kebijakan penyerta berupa penguatan daya beli masyarakat untuk mengurangi resistensi dampak yang ditimbulkannya.
Organisasi Kerjasama Ekonomi Dunia (OECD) terus mendesak pemerintah Indonesia menerapkan pajak karbon dengan tarif tinggi, untuk mendorong transisi bahan bakar fosil (brown energy) menjadi energi terbarukan (green energy). Karena sejak 2019 Indonesia berada di peringkat keempat penghasil CO2 terbesar di dunia.