Membaca ulasan sahabat kompasianer Supartono JW soal Citayam Fashion Week, barangkali kita sependapat, karena fenomena CFW memang buah kreativitas dan inovasi positif, yang memanfaatkan kendaraan media sosial untuk mencari keuntungan instan, tapi sayangnya juga masih menabrak rambu-rambu dan liar!.
CFW juga menjadi fenomena menarik yang harus kita kritisi secara positif. Sejak awal kemunculannya, sempat terpikir CFW sebagai sebuah terobosan menarik, tapi ketika dapat kabar di Aceh juga mau di buat momen yang sama, banyak orang was-was juga.Â
Bukan soal budaya "copy-paste-nya", atau soal liar-nya, tapi kuatir tak sejalan dengan pilihan  bersyariat di Aceh. Apalagi jika harus membuat catwalk di ruang publik, semisal di bundaran simpang lima Banda Aceh atau di area car free day yang memang ada di seputaran kota. Riskan juga membayangkan jika ada yang berlenggak-lenggok, di jalanan pula.Â
Sependapat dengan kekuatiran  Supartono JW, bahwa, apakah benar fenomena itu mewakili Kampung Citayam?, Apakah yang berlenggak-lenggok di Duku Atas, mencerminkan Citayam?, Budaya dan tradisi Citayam? Wajah Citayam?, Apakah warga Citayam terima dan setuju dengan hadirnya CFW?. Butuh kajian juga untuk menjawabnya.
Iklan Kelas Bawah
Tapi ada sisi lain yang menarik. Bayangan bahwa CFW akan menjadi 'ruang baru', kesempatan para desainer, pelaku bisnis, orang rumahan berpassion fashion, Â penjahit, punya bisnis jahit kecil-kecilan, punya kreatifitas produk rekaan sendiri. Ruang seperti CFW bisa menjadi ruang pamer setelah didera pandemi berkepanjangan.
Jika selama ini punya karya desain busana, tersimpan di lemari rumah atau selama ini dibuat dan dipakai sendiri, dengan kehadiran ruang seperti CFW bisa menjadi etalase besar. Meskipun produk dan desainernya tidak dikenal, tidak masuk butik dan mall atau toko besar, tapi jika secara kualitas produknya bagus dan bisa bersaing, maka "mata tak akan menipu", pasti akan ada pasarnya.
Dua tahun kemarin kita baru dililit pandemi, dibatasi aturan dan keadaan. Ekonomi terganggu, kemiskinan melonjak. Dan fenomena ini menjadi stimulan kebangkitan ekonomi. Sekali lagi, dalam konteks ini kita tidak hanya memandang dari sisi-aksi catwalk-nya di zebra cross yang fenomenal itu saja, dan masih dianggap menabrak aturan.
Ide kreatif ini mungkin bisa dimofikasi, tetap dengan konsep CFW, menjadi ruang bertemunya begitu banyak UMKM yang berkutat dengan dunia fashion dan butuh ruang pamer. Jadi sekali lagi ini momentum menarik, cuma harus dipikirkan cara lain agar tidak liar, sehingga harus di tertibkan saat acara berlangsung, seperti yang terjadi saat ini.
Soal HAKI
Belakangan, begitu CFW merebak, banyak kalangan yang "merasa" peduli, dan merasa berhak menjadi pemilik CFW sebagai hak cipta kreatifitas dan berinisiatif menjadi-pendaftar mereknya. Padahal, ini bentuk nyata dari pencurian kreatifitas. Menarik untuk kita diskusikan.
Sayang sekali jika 'orang berduit', kemudian datang dan mengambil hak Jeje dan kawan-kawan yang sekalipun idenya spontanitas, tapi kini sudah menjadi bentuk kreatifitas baru yang punya "nilai dan harga".
Jika pada akhirnya akan menjadi sebuah formalitas, memang ada kekuatiran akan terkontaminasi komersialitas. Jeje makin populer sebagai 'artis',-dan CFW bakal berubah tak lagi orisinil. Tapi mungkin begitulah model gagasan yang bergerak dalam kekinian dunia maya yang jadi raja. Sebentara datang, setelahnya pergi dengan begitu cepat.
Tapi, bagi yang paham secara legalitas terkait isu ini, penting terus dikritisi, dan dikawal, agar tak menjadi kebiasaan-pencurian haki dianggap sesuatu yang jamak, padahal merugikan si pencipta kreatifitasnya. Krena jika realitas ini diabaikan, akan menjadi blunder antinya.Â
referensi: 1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H