ekonomi bisnis.com
Sebuah notifikasi iklan masuk dalam ruang baca di laman berita bisnis. Sebuah ajakan untuk ikut dalam sebuah game berhadiah, yang diselenggarakan oleh sebuah produk abu-abu.Â
Game itu berisi tantangan dari sebuah karya kreatif anak milenial bertalenta luar biasa yang sedang dilombakan. Game-nya sendiri juga berkaitan dengan budaya membuang sampah dan memilah sampah.Â
Semakin banyak sampah yang dibuang dan ditemukan, kita akan sampai pada bagian atau fase terakhir dengan hadiah utama. Game-nya berbasis waktu, jika gagal harus diulang dari awal.
Namun fokus perhatian saya bukan pada gamenya, tapi pada kampanye membangun kesadaran tentang kebersihan. Dan inilah salah satu daya tarik iklan rokok dan informasi tentang produk yang bercampur aduk dengan kampanye positif.
Disebut abu-abu karena produknya sebenarnya menimbulkan persoalan yang dilematis. Jika dihilangkan akan memberi dampak positif bagi kesehatan dan lingkungan yang besar dan signifikan. Tapi dari sisi sosial dan ekonomi, juga tak kalah besar dampaknya. Iklan yang saya maksudkan adalah produk rokok.
Terlepas dari muatan positif dan negatifnya, namun iklan produk rokok sendiri juga masih penuh dilema. Iklan rokok masih bebas ditayangkan di media penyiaran Indonesia, meskipun dibatasi hanya pada pukul 21.30-05.00, tidak boleh menampilkan produk rokok dan aktifitas berkaitan dengan rokok.
Isu tentang iklan rokok menjadi pembahasan yang krusial dalam pembahasan revisi Undang-Undang No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Menurut naskah RUU yang disusun komisi I DPR, iklan rokok akan sama sekali dilarang di media penyiaran di Indonesia.
Dan rancangan itu ternyata memicu polemik dari kalangan industri penyiaran dan kalangan DPR yang mendukung dan pengusul RUU pertembakauan yang menjadi kontroversi.
Dalam banyak iklan di media, industri rokok merajai iklan-iklan berbiaya besar. Dengan kekatan pendanaannya mereka bisa menciptakan tidak hanya iklan biasa, tapi pariwara ekslusif. Beberapa trend fokusnya kini menyasar kritik sosial, keragaman budaya dan motivasi.
Membangun kesadaran kritis
Belakangan mereka semakin intens menggunakan media iklan sebagai salah satu cara membangun kesadaran kritis untuk "hal lain". Meski produk mereka dianggap berbahaya bagi kesehatan, tapi mereka menggunakan peluang disisi lain, berkampanye tentang, sampah dan kebersihan.
Sebuah iklan, seorang yang sedang berkendara dengan mobil, membuang sampah seenaknya. Sesuatu yang umum dan jamak kita lihat di lingkungan sekitar kita, meskipun itu perbuatan sangat menyakitkan hati.
Kritik atas rendahnya kesadaran itu, tersampaikan dengan baik, meskipun dengan penggambaran yang satir dan simbolisme. Sampah plastik yang dibuang seenaknya, setelah melanglang buana, suatu ketika kembali lagi ke pemiliknya.Â
Pesannya sederhana, jangan buang sampah sembarangan. Atau dalam pesan yang bersifat simbolik, ketika kita melakukan perbuatan buruk, pada suatu saat akibatnya akan kita tunai.
Melakukan kritik sosial
Sebuah iklan terbaru, menggambarkan seorang pemilik rumah yang baru saja membeli mobil, karena berukuran besar, ia menambah pagar pengaman garasinya.Â
Akibatnya luas jalanan menjadi lebih sempit, tetangga yang lain didepannya juga melakukan tindakan yang sama. Dengan tagline mengigit, "Solusi buat lo, masalah buat gue", pesannya jelas. Rendahnya kesadaran orang terhadap lingkungan dalam jaman hidup yang makin nafsi-nafsi.
Eksistensi, Menjadi Diri Sendiri
Dalam jaman ketika begitu banyak pilihan, godaan untuk ber-eksis ria, kita semestinya harus punya prinsip yang kita pegang teguh. Bagaimanapun sebuah prinsip jika itu baik, pada akhirnya ketika menular pada orang lain, juga berdampak baik.Â
Sehingga inisiatif yang kita bangun ketika bersikap, bereksistensi, semestinya didasarkan pada nalar dan prinsip yang positif. Agar bisa menularkan hal positif kepada orang lain.Â
Lagi-lagi dalam iklan yang muncul begitu masif belakangan, juga mendorong tentang kesadaran tentang kebersihan.
Adventure dan Alam Lestari
Iklan petualangan, iklan interaksi sosial juga menjadi pilihan yang banyak digunakan para pemilik industri rokok dalam beriklan. Iklan yang paling umum sering dilihat adalah iklan adventure, melibatkan aktifitas positif berinteraksi dengan alam, menikmatinya, bukan merusak.
Demikian juga dengan iklan yang menggambarkan sikap egois yang kemudian berubah menjadi sikap sosial, dan bersatunya perbedaan.
Kecintaan Pada Negeri dan nasionalisme
Secara rutin, setiap kali diperingati hari besar kemerdekaan, iklan industri rokok selalu tampil eksklusif dan beda. Iklan dengan durasi yang panjang dan eksekusi yang luar biasa selalu menjadi ciri khas mereka.Â
Termasuk ketika menggambarkan nasionalisme dunia olahraga dan para atletnya melalui iklan yang berbiaya besar dan spesial.
Industri besar, bersikap realistis. Mereka jelas memanfaatkan momentumnya, terlepas dari muatan positif yang diusungnya. Bagaimanapun mereka bergerak dalam industri yang diserap pasar begitu besar. Terlepas dari pro kontra yang melatarbelakangi kehadirannya hingga saat ini.
Iklan Miris dan Mesum
Di sebalik itu, juga muncul iklan-iklan yang disadari atau tidak justru menjurus pada konten yang buruk. Sebuah baliho besar memasang konten iklan berbunyi; Mula-mula malu-malu, lama-lama Mau, dengan ilustrasi sepasang muda-mudi yang terlihat saling bermesraan.
Meskipun didasari idenya dari sebuah lelucon kata-kata, namun ternyata bisa dimaknai sebagai konten yang menjurus mesum sehingga menjadi pariwara yang buruk dan tidak mendidik.
Industri Dilematis
Ngrokok Matek, Kagak Ngrokok Matek!, begitu sebuah slogan yang berasal dari para petani tembakau di sentra tembakau terkenal di Jawa. Pusatnya industri rokok terbesar di Indonesia, sebut nama-nama besar merek rokok, semuanya ada di sana.
Mereka tak hanya dikenal dengan produk rokoknya, tapi justru juga dikenal dalam dunia olah raga karena mereka konsen melakukan pembinaan. Bola, Bulutangkis adalah dua olahraga yang sejak lama seperti tak bisa dipisahkan dari industri rokok.
Dalam buku Kretek Jawa, Gaya Hidup Lintas Budaya, yang dikompilasi Rudy Badil, diulas secara eksklusif berkisah tentang industri ini, termasuk dari sisi sosial yang selalu menjadi bumerang ketika kita mewacanakan untuk menghilangkan industri rokok dari daftar komoditas ekonomi kita.
Padahal dalam setiap kemasan rokok saat ini, ada kebijakan harus mencantumkan gambar akibat kesehatan dari merokok. Gigi geligi jeblok, paru-paru bolong, nisan kuburan, rokok melengkung tanda impotensi, semua ilustrasinya serba seram. Tapi ternyata sama sekali tak berdampak bagi para pecandu rokok.
Rokok bahkan telah bermetamorfosa dari produk rokok linting jaman Roro Mendut dan Ponocitro dari tahun 1672, hingga jaman tokoh legendaris Djamhari atau Djamahri di Koedoes, antara tahun 1870-1880.Â
Kemudian lahir perusahaan rokok kretek  yang menurut penelitian Van der Rijden, pada tahun 1935  terdapat 165 pabrik. Produksi rokok putih telah mencapai 7.100.000.000 batang per tahun, sedangkan produksi rokok kretek, 6.422.500.000. Itu pada tahun 1931, bagaimana dengan saat ini?.
Bagaimana dampaknya secara sosial-ekonomi?. Untuk daerah Kudus saja yang populasinya mencapai 800.000 orang, 100.000 dari jumlah tersebut adalah para buruh pelinting rokok di pabrik-pabrik besar yang tesebar disana. Dan jumlah pekerja di industri rokok secara nasional, mencapai 7,5 juta orang.
Bisa dibayangkan bagaimana riuhnya aktifitas setiap harinya disemua sentra pabrik rokok tersebut. Dan bayangkan juga, apa jadinya jika industri ini tiba-tiba gulung tikar atau disetop oleh pemerintah?.Â
Dalam situasi adanya tekanan, baik karena gerakan antirokok oleh WHO, persaingan bisnis antara rokok kretek dan rokok putih, kampanye industri lain, kenaikan cukai oleh pemerintah setiap tahun, industi ini tak pernah menyerah.
Inilah realitas industri rokok kita yang sangat dilematis, belum lagi kelakukan kita yang tak pernah disiplin dalam urusan merokok di ruang publik, maupun di rumah disekitaran anak-anak kita. Sikap egoisme, candu dan problematika yang dilematis bercampur menjadi satu seperti campuran tambakau di dalam sebatang rokok.Â
Setiap kali dihisap, seperti hilang seluruh masalah, padahal diam-diam, muncul masalah baru. Bukankah rokok yang habis dihisap, nanti harus dibeli lagi untuk memuaskan candu?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H