Meskipun didasari idenya dari sebuah lelucon kata-kata, namun ternyata bisa dimaknai sebagai konten yang menjurus mesum sehingga menjadi pariwara yang buruk dan tidak mendidik.
Industri Dilematis
Ngrokok Matek, Kagak Ngrokok Matek!, begitu sebuah slogan yang berasal dari para petani tembakau di sentra tembakau terkenal di Jawa. Pusatnya industri rokok terbesar di Indonesia, sebut nama-nama besar merek rokok, semuanya ada di sana.
Mereka tak hanya dikenal dengan produk rokoknya, tapi justru juga dikenal dalam dunia olah raga karena mereka konsen melakukan pembinaan. Bola, Bulutangkis adalah dua olahraga yang sejak lama seperti tak bisa dipisahkan dari industri rokok.
Dalam buku Kretek Jawa, Gaya Hidup Lintas Budaya, yang dikompilasi Rudy Badil, diulas secara eksklusif berkisah tentang industri ini, termasuk dari sisi sosial yang selalu menjadi bumerang ketika kita mewacanakan untuk menghilangkan industri rokok dari daftar komoditas ekonomi kita.
Padahal dalam setiap kemasan rokok saat ini, ada kebijakan harus mencantumkan gambar akibat kesehatan dari merokok. Gigi geligi jeblok, paru-paru bolong, nisan kuburan, rokok melengkung tanda impotensi, semua ilustrasinya serba seram. Tapi ternyata sama sekali tak berdampak bagi para pecandu rokok.
Rokok bahkan telah bermetamorfosa dari produk rokok linting jaman Roro Mendut dan Ponocitro dari tahun 1672, hingga jaman tokoh legendaris Djamhari atau Djamahri di Koedoes, antara tahun 1870-1880.Â
Kemudian lahir perusahaan rokok kretek  yang menurut penelitian Van der Rijden, pada tahun 1935  terdapat 165 pabrik. Produksi rokok putih telah mencapai 7.100.000.000 batang per tahun, sedangkan produksi rokok kretek, 6.422.500.000. Itu pada tahun 1931, bagaimana dengan saat ini?.
Bagaimana dampaknya secara sosial-ekonomi?. Untuk daerah Kudus saja yang populasinya mencapai 800.000 orang, 100.000 dari jumlah tersebut adalah para buruh pelinting rokok di pabrik-pabrik besar yang tesebar disana. Dan jumlah pekerja di industri rokok secara nasional, mencapai 7,5 juta orang.
Bisa dibayangkan bagaimana riuhnya aktifitas setiap harinya disemua sentra pabrik rokok tersebut. Dan bayangkan juga, apa jadinya jika industri ini tiba-tiba gulung tikar atau disetop oleh pemerintah?.Â
Dalam situasi adanya tekanan, baik karena gerakan antirokok oleh WHO, persaingan bisnis antara rokok kretek dan rokok putih, kampanye industri lain, kenaikan cukai oleh pemerintah setiap tahun, industi ini tak pernah menyerah.
Inilah realitas industri rokok kita yang sangat dilematis, belum lagi kelakukan kita yang tak pernah disiplin dalam urusan merokok di ruang publik, maupun di rumah disekitaran anak-anak kita. Sikap egoisme, candu dan problematika yang dilematis bercampur menjadi satu seperti campuran tambakau di dalam sebatang rokok.Â
Setiap kali dihisap, seperti hilang seluruh masalah, padahal diam-diam, muncul masalah baru. Bukankah rokok yang habis dihisap, nanti harus dibeli lagi untuk memuaskan candu?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H