Tinggal di perumahan yang berbatas dengan kampung asli penduduk tempatan, tak hanya membuat kita harus beradaptasi, tapi juga membangun persaudaraan baru.Â
Untuk keperluan pindahan rumah dan membereskan banyak keperluan kami menggunakan jasa seorang tetangga. Ia biasa di panggil Mak Neh. Pada akhirnya, kami menjadi saudara baru, karena ia juga membantu menjaga anak-anak ketika kami sibuk bekerja di kantor.
Di saat-saat spesial khanduri, atau sekedar arisan, tanpa diundang beliau hadir ke rumah, membantu sebisanya. Jadi setiap kali hadir Ramadhan, kami saling bertukar hantaran makanan. Apalagi Mak Neh jagoan memasak "kuah pliek u".
Ada makanan tradisional kegemaran kami di Aceh, kami menyebutnya, "Kuah Pliek U". Masakan sejenis lodeh yang kental dengan tambahan rempah, beberapa jenis sayuran, seperti melinjo, buah melinjo, daun ubi, nangka muda dan lainnya. Bahkan versi asli dari makanan tradisional ini menggunakan campuran rempah dan sayur hingga 40 macam jenisnya.
Melibatkan Anak-anak
Setiap kali di saat menjelang berbuka, ketika mengantar makanan ke rumah Mak Neh, saya selalu mengajak anak-anak turut serta. Bahkan mereka yang harus menjinjing makanan antaran itu dan menyerahkannya. Meski awalnya malu-malu, tapi pada akhirnya mereka menjadi terbiasa.
Kami mencoba membangun kepedulian, rasa persaudaraan melalui ritual antaran makanan itu. Meski sederhana dan terlihat biasa saja, bisa menjadi cara pembelajaran sosial dan membangun persaudaraan.
Saya teringat dulu juga sering ikut dengan orang tua dalam acara silaturahmi antar tetangga, atau acara khusus di kampus. Meskipun bukan acara untuk anak-anak, tapi orang tua membiasakan saya ikut serta.Â
Di sana saya diperkenalkan dengan para tamu lainnya, berkenalan dengan anak-anak lain yang juga dibawa orang tuanya.
Ternyata kebiasaan itu, membuat saya juga jadi mudah bersosialisasi, tidak penakut dengan situasi baru dan tidak merasa canggung, apalagi jika sudah bertemu dengan orang yang sama beberapa kali.
Dan jika kita berkunjung ketika lebaran, pasti ada "angpau" alias amplop yang biasanya diselipkan ketika bersalaman. Jumlahnya bahkan cukup fantastis untuk ukuran anak-anak. Tapi kata orang tua itu hanyalah "efek" dari silaturahmi yang kita bangun dengan saudara dan tetangga.
Sampai dengan sekarang, para tetangga yang "super senior" masih menjalin persaudaraan yang baik, meskipun kami telah tinggal di rumah sendiri, tidak lagi di komplek perumahan Universitas. Beberapa bahkan empat diantaran telah menjadi Rektor, dan tetap menjadi tetangga yang akrab
Di lain kesempatan, saya juga ingat setiap kali mengunjungi kantor pos, orang tua juga selalu mengajak serta. Saya punya tabungan disana, dan dibiasakan mengurus tabungan itu sendiri, menyerahkan buku dan uang simpanan, menunggu antrian di depan petugas pos (teller), dan berkomunikasi, sampai akhirnya buku tabungan distempel dan dikembalikan. Semuanya saya urus sendiri.
Kebiasaan itu terbawa hingga sekarang.Â
Membayar Zakat Fitrah
Salah satu kebiasaan yang tidak pernah kami tinggalkan adalah kewajiban membayar zakat fitrah. Kewajiban bagi mereka yang mampu untuk memberikan kewajibannya membayar semacam "sedekah" kepada orang yang membutuhkan. Hanya saja zakat ini, berbeda dengan sedekah atau amal jariah biasa, karena  hanya berlangsung selama bulan Ramadhan menjelang Hari raya Idul Fitri.
Kewajiban itu dihitung per jiwa-maksudnya setiap anggota keluarga di wajibkan membayar zakat. Jika di rumah ada seorang kepala keluarga dengan 4 anggota keluarga lainnya, maka kewajiban zakat yang harus dibayarkan adalah sejumlah 5 orang di kali dengan standar zakat yang harus dibayarkan.
Seperti biasanya, saya selalu mengajak anak-anak yang laki-laki untuk ikut serta, meskipun saya yang akan menemui amil-atau orang yang menerima pemberian zakat kita, tapi prosesinya anak-anak ikut menyaksikan.Â
Dari sejak membawa beras dari rumah, menemui amil, hingga prosesi serah terima zakat yang disertai ijab-kabul dan doa.
Dengan kebiasaan yang sejak lama di tularkan orang tua, kemudian juga saya tularkan kepada anak-anak, ternyata anak-anak sudah hafal doa dan prosesinya.
Jadi setiap kali ada kesempatan, diskusinya dengan anak-anak biasanya tentang, mengapa zakat harus dibayarkan, siapa saja mereka yang berhak menerima (mustahiq) dan mengapa amil-si panitia zakat juga berhak menerima pemberian, apa dampaknya secara sosial dan ekonomi jika skema zakat ini dijalankan secara serius dan baik.
Anak-anak bahkan lebih tahu soal sistem zakat modern, karena sumber bacaan mereka dari internet, jadi saya juga belajar dari mereka.
Ternyata begitulah sebuah ilmu berpindah dari satu orang ke orang lain. Ada kalanya melalui pembelajaran di sekolah, melalui rumah atau pembelajaran langsung dengan apa saja yang bisa menjadi "ilmu baru" bagi kita dan anak-anak kita.
Kepedulian selama Ramadhan melalui antaran saja menjadi ilmu yang luar biasa bagi anak-anak. Apalagi ketika mereka juga tahu bahwa memberi sedekah bagi orang berpuasa dan bersahur mendapat pahala yang luar biasa.Â
Sampai-sampai mereka merencanakan sebuah gagasan besar, tahun depan akan menyiapkan sedekah khusus takjil dan berbuka di jalanan dan di masjid.
Semoga hikmah itu terus menular kepada mereka, keluarga mereka dan orang-orang di sekitarnya. Sebuah kebaikan bahkan jika hanya sebesar "zarrah-atom" juga akan mendapat balasan dan ganjaran yang sama, atau bahkan lebih besar jika dipenuhi rasa ikhlas untuk berbagi dan peduli dengan sesama, seperti di Ramadhan saat ini.
Anak-anak bahkan sekarang mendapat saudara baru, ketika kembali bertemu Mak Neh dan bernostalgia, ketika mereka dirawat, maupun ketika mereka mengantar makanan selama bulan-bulan Ramadhan yang sudah kami lewati.Â
Ketika kami akhirnya pindah di rumah baru-pun, silaturahmi itu tidak pernah putus, sebagai bagian dari hikmah-kepedulian, meskipun dari sesuatu yang sangat sederhana. bahkan setelah beberapa tahun kisah-kisah itu berlalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H